Tak Perlu Kuasai Hulu-Hilir Untuk Bangun Masyarakat Tani Indonesia, Benarkah?
Hijau. Mungkin kesan itu yang muncul di benak Anda ketika memasuki suatu kawasan pertanian. Semilir angin di antara tetumbuhan dan suasana tentram semakin masuk ke dalam sisi purbawi Anda. Alam menyuguhi pemandangan eksotik sementara pertanian sendiri merupakan salah satu kuda penarik perekonomian.
Namun sayangnya pertanian kita jauh tertinggal jika dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya.
Indonesia selalu mengharapkan perubahan besar pada petani-petaninya, sedang jamak kita ketahui sebagian besarnya bertani secara turun-temurun dan minim pendidikan sehingga banyak petani di Indonesia yang sengsara, kalau tak boleh dikata miskin. Ditambah, sedikit pula petani muda yang mau melanjutkan bertani. Pada akhirnya, banyak sekali program pemerintah yang gagal karena perkara SDM (Sumber Daya Manusia).
Demikian Wijayandaru, founder DAB Subur menatap persoalan pertanian di Indonesia. “Ketertinggalan petani-petani kita harus bisa segera memiliki solusi untuk mengejarnya,” begitu kata dia.
Menurut Daru, begitu Ia kerap disapa, petani naik kelas tidak sekadar diukur dari perubahan fisik aset atau perubahan pendapatan belaka, tapi juga kemampuan dalam membukukan laporan kerja dan keuangan.
Mudahnya, petani ke depan harus mampu berhitung HPP (Harga Pokok Penjualan), sehingga banyak LJK (Lembaga Jasa Keuangan) kelak tidak melihat petani dengan sebelah mata.
Pada tahun 2008, Daru memulai usaha keripik singkong dan sereh wangi lewat modal yang ayahnya berikan di bawah tajuk DAB Subur. DAB Subur adalah perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis. DAB Subur merupakan gabungan nama keluarga, Daru — Aryo Bimo (DAB) — Supriyanto BersaUdaRa (Subur).
Di tahun itu, perusahaan masih belum legal berbadan hukum. Sehingga ini menjadi salah satu kendala mengekspor dua komoditasnya, keripik singkong dan sereh wangi, di samping kendala-kendala lain. Hingga akhirnya ia bekerja sama dengan eksportir.
Tahun 2012, Daru mulai melegalkan usahanya dengan harapan perusahaan bisa tumbuh lebih besar dan bekerja sama dengan berbagai pihak yang meminta perlegalan. Kemudian di 2014 bermodal dari tabungan usaha keripik, Ia coba kembangkan diferensiasi usaha. Masih Ia ingat bagaimana sebuah pelatihan penyulingan sereh wangi memantik semangatnya berkembang.
“Waktu itu dapat informasi pelatihan dari Dewan Atsiri Indonesia tentang penyulingan sereh wangi. Setelah mengikuti pelatihan tersebut ternyata dari sisi bisnis sangat menguntungkan,” ujar Daru.
Tapi, perjalanan usaha Daru tidak lempang. Di awal bisnis ia sempat tertipu oleh penjual bibit. Bibit mahal yang dibelinya, ternyata malah membuat minyaknya tak laku di pasar. Lantas Ia bongkar seluruh bibit dan tanam ulang dengan bibit yang justru direkomendasikan oleh eksportir.
Kendala lain, ia sempat terbentur luasan lahan. Semula Ia menyewa tanah di PPTK Gambung, karena akses jalan yang tidak ramah dan lokasinya jauh, menyebabkan overhead cost bengkak, otomatis profit tidak bisa menutupi.
Tak kehilangan akal, Daru mencoba mencari tanah yang murah dengan akses jalan yang bagus. Ternyata hambatannya hadir di luar dugaan, yakni perizinan yang terkesan dipersulit hingga bentrok dengan masyarakat. Berdasarkan pengalaman ini, Daru mulai memikirkan strategi lain.
“Akhirnya kami putuskan menyesuaikan dengan modal untuk membina masyarakat menjadi petani sereh wangi. Dari sisi contigency plan-nya pun banyak risiko yang bisa dimitigasi dengan cara kerja sama budidaya bersama petani dan mitra-mitra. Ini karena tujuan DAB Subur ingin memberikan banyak manfaat ke masyarakat, sehingga kami tidak menguasai hulu sampai hilirnya sendiri. Kami bina petani untuk supply bahan baku utama dan kami juga membina offtakers kecil untuk memasok bahan baku pendukung,” jelas Daru.
Sehari-hari, Ia sendiri melakukan kontrol pegawai secara langsung, membina petani dan menjalin relasi. Pembinaan yang Ia lakukan adalah memberi pemahanan pegawai, dalam hal ini Field Assistance (FA), agar mampu memberi dorongan kepada petani untuk bisa berkinerja baik.
Sejak kuliah di SBM ITB, Daru memang memiliki cita-cita sebagai pengusaha. “Tujuan saya ingin memberikan impact yang besar ke masyarakat, selain bisa mendapatkan profit yang tumbuh seiring usaha yang saya kerahkan,” ujarnya.
Seperti di paparkan di atas, pertumbuhan DAB Subur dalam membina petani terkendala banyak hal, terutama kekurangan tim lapangan dalam mengumpulkan petani untuk dibina. Juga kontrol petani yang sudah dibina dan permodalan untuk memodali petani, sedangkan keluar pasar yang DAB Subur miliki sangatlah besar.
Daru paham betul bahwa berkolaborasi bisa menjadi solusi. Maka Ia pun memilih Agree.
Agree adalah platform kolaborasi antara pelaku, pembeli, pemodal, dan entitas pendukung ekosistem pertanian di bawah payung Leap-Telkom Digital.
“Sebelum kami bertemu Agree, penambahan petani binaan dalam satu tahun mungkin hanya sekitar 10 sampai 20 petani saja. Namun dalam kerja sama dengan Agree yang belum genap setahun ini, total calon petani binaan sudah mencapai ratusan orang dan sudah terbina separuhnya,” papar Daru.
Lebih lanjut, Daru menerangkan jika aplikasi monitoring petani yang dibantu oleh FA di lapangan menjadi keunggulan Agree. Ia dapat lebih leluasa memonitor kerja petani agar tidak ‘nakal’. Sedang di sisi Agree modal sendiri, Daru merasa jadi memiliki tim untuk mencarikan sumber permodalan petani. Sehingga DAB Subur bisa berfokus memastikan kekuksesan petani dalam bertani dan Agree Modal mencari jaringan untuk memodali petani.
“Yang jelas, manfaat Agree yang terbesar dan sering saya sounding-kan kepada seluruh FA adalah membawa perubahan signifikan kepada petani, yakni petani naik kelas, bukan hanya sekedar melek digital akan tetapi dari sisi keilmu-an, petani pun ter-upgrade,” tutur Daru.
“Bersama Agree, ke depannya petani yang awalnya tidak mampu menggapai LJK secara mandiri, hanya berharap dengan program pemerintah (baik pupuk gratis ataupun KUR), bisa mengakses permodalan hanya via HP dan LJK pun mampu mengakses segala data petani yang menjadi kebutuhan LJK via Agree,” imbuhnya.
Begitu pun petani yang tadinya tidak terbayang untuk berstrategi, menurut Daru, mulai bisa menyusun rencana dengan mengetahui unsur hara tanah dan pembacaan cuaca yang mana Agree banyak melakukan kolaborasi dengan berbagai aplikasi. Sehingga petani bisa memiliki “Laboratorium Tanah dan Cuaca” on the spot dalam ponsel.
Terlebih, petani yang awalnya tidak mampu menggapai pasar dengan harga sesuai HPP mereka, kini dengan Agree, mereka memiliki potensi bekerja sama dengan pasar manapun. Sehingga perencanaan kegiatan bertani bukan hal yang mustahil.
“Sedang dari sisi offtaker seperti saya tentunya, memiliki kepastian barang untuk berjualan,” tambah Daru.
Menanggapi mengenai digitalisasi ekosistem pertanian Indonesia yang sedang diupayakan Telkom Indonesia, Daru berharap suatu saat ini benar-benar terjadi dan bukan sekedar gimmick semata.
Ia berharap Agree dapat menjadi tools yang digunakan sebagai source decision making para stakeholder. Terkhusus untuk peran Agree Modal yang diharapkan bisa menjadi agregator antara petani dengan LJK dan menjadi pengaman bagi LJK dalam menggelontorkan permodalan ke petani.
“Saya melihat jika kedaulatan ini terjadi, betul-betul pada sektor pertanian luas dan umum, bukan khusus, maka ketertinggalan petani-petani kita bisa segera memiliki solusi untuk mengejar ketertinggalannya,” pungkas Daru.
Selain Agree, masih banyak produk digital lain dari Leap yang membantu digitalisasi di segala aspek kehidupan masyarakat. Dan Leaper bisa mengambil peran! (hzr)
Segera temukan peran yang sesuai dengan passion Leapers dan daftarkan diri di sini (link)!.