Tiffany Krisnandya: Innovator OCA yang Ingin Bangun Indonesia lewat Komunikasi Digital

Leap
Leap Telkom
Published in
6 min readSep 10, 2022
Tiffany, Chief Marketing Officer OCA

Membangun tim dan kultur kerja sebuah perusahaan korporat ke arah Startup teranglah sebuah tantangan. Hal pertama yang perlu disiapkan adalah mindset! Demikian ungkap Tiffany Krisnandya, Chief Marketing Officer at Omni Communication Assistant (OCA).

“Salah satu ciri adalah kita bisa growth mindset dan itu harus banyak di-internalisasi, apalagi kita tahu mengelola produk digital yang Startup Like pasti menghadapi banyak tantangan. Baik itu dari sisi produk, kompetitor, juga internal butuh proses karena Telkom pasti ada birokrasi dan sebagainya. Jadi, membangun tim, kultur kerja perlu membangun mindset terlebih dahulu,” kata Tiffany.

Perjalanan Karir di Telkom

Tahun 2008 persis di bulan Oktober adalah mula bagi Tiffany bergabung di Telkom. Pertama kali, Ia yang lulusan Teknik Industri ditempatkan di sebuah unit bisnis bernama Flexi di Regional Makassar selama setahun. Di sini ia mengurusi general affair yang berkaitan denga kesekretariatan dan keuangan. Lepas dari Makassar, Ia mengajukan pindah mengikuti suami ke Jakarta dan masih di Flexi Regional III mengurusi hal yang sama pula.

Menurut Tiffany, ketika di Jakarta inilah Ia mulai belajar hal baru, yakni mengenai procurement, “setelah Flexi transformasi organisasi dan direbahkan ke Witel Jakarta, dari situ saya mempelajari logistic and procurement dan itu cukup lama sih sampai level Assistant Manager atau Asman.”

Berkat keuletannya ini, Ia berhasil mencetak beberapa penghargaan dan dijadikan percontohan untuk Witel lain terkait sistem procurement-nya. Lantas, Ia dipanggil oleh General Manager untuk mendapat tantangan lain. Ia pun memegang posisi sebagai Manager Digital Service & WIFI. Tiffany sempat merasa ragu, karena biasanya ia lebih banyak mengurusi paper dan jarang bertemu orang, tiba-tiba mendapat tanggung jawab yang mengharuskan Ia berkolaborasi dengan banyak pihak.

Alih-alih menyerah, Ia justru bertumbuh dan tampil menjadi striker! Unit terdepan sebagai revenue generator yang salah satunya saat itu adalah Digital Service & Wifi. “Tiba-tiba saya di-challange, promosi ke tempat yang benar-benar 360 derajat berbeda dari sebelumnya, biasanya cuma mengurusi compliance, berkas-berkas, tiba-tiba saya harus jualan yang berarti harus ketemu banyak orang. Sudahlah itu sesuatu yang baru, saya juga harus me-manage orang-orang Telkom yang mungkin experience-nya sudah banyak tetapi perlu ditingkatkan lagi motivasinya. Di sinilah titik balik bagi saya untuk keluar dari zona nyaman sebelumnya”.

Manusiawi ketika orang merasa ragu dengan diri sendiri, termasuk merasa bingung apa yang harus dilakukan di awal-awal. Tetapi Tiffany dengan cepat menempatkan diri. Caranya adalah ‘bertemu di tengah’, mempelajari bagaimana seseorang ketika sudah senior atau sudah memiliki experience yang lebih banyak, tetapi dari sisi skill yang lain tentu ada yang lebih unggul yang dimiliki Tiffany sehingga ia dipercaya di posisi tersebut. Hal tersebut cukup membangun kepercayaan dirinya. Tiffany pun membangun motivasi kepada mereka untuk memanfaatkan skill yang mereka sudah kuasai.

“Jadi, yang menjadi highlight saya adalah dari sisi motivasinya, karena kalau dari sisi skill, saya yakin mereka sudah capable dengan experience mereka. Ternyata skill yang sangat dibutuhkan ketika kita memanage orang-orang yang kompetensinya sudah tinggi tetapi motivasinya turun adalah Listening Skill. Jadi kita harus banyak mendengar dan mengelaborasi. Misalnya mereka punya experience dan saya punya skill ya sudah kita bertemu di tengah-tengah. Yang penting goals kita sebenarnya sama,” ungkap Tiffany.

Omni Communication Assistant (OCA)

Tiffany mengenang saat di awal pertama kali OCA hadir.

“Waktu itu Gen Y masih sedikit, karena digadang-gadang inovasi jadi kita diminta untuk membuat inovasi, menggelorakan inovasi di level terbawah. Salah satu case-nya adalah cikal bakal OCA itu sendiri. Jadi, waktu itu kita menghadapi problem bagaimana mendeteksi ratusan bahkan ribuan tiket, saat itu ada 4000 tiket aduan kalau tidak salah dan tiket itu harus close agar bisa menjalankan customer experience yang baik, nah cara nge-close-nya adalah kita harus memastikan ke pelanggan kalau memang pelayanannya baik, yaitu dengan menghubungi ke-empat ribu orang tersebut dan harus selesai dalam waktu satu hari. Kejadian itu tidak cuma sekali, ada yang sifatnya repetitif mesti tidak setiap hari, tentu saja ini perlu di-solve. Akhirnya kita bikin sistem yang bisa melakukan telepon dan konfirmasi massal, mengecek layanan, apakah masih terjadi gangguan atau sudah normal. Misalkan kita hubungi dan telepon yang bersangkutan diangkat, berarti layanan sudah bagus, jadi asumsinya bisa di-close,” papar Tiffany.

Lalu Tiffany dan tim membuat OCA, submit acara inovasi dan berhasil menang dari TReg II. Inovasi tadi membuatnya puas karena sudah berhasil membantu kinerja di unit-nya. Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan OCA juga ternyata dibutuhkan oleh Witel lainnya, akhirnya dipakailah oleh 9 Witel dalam satu regional.

Hadirnya program Amoeba dan OCA dimasukkan ke dalamnya membuat Tiffany dan partner, Rizky, belajar lebih banyak lagi mengenai produk, pengelolaan, validasi, dan lain-lain. Di situ jua ia mendapat challenge (lagi) untuk membuat validasi ke TReg lain.

Challenge-nya begini, kamu bikin manfaat untuk satu Witel, lantas kalau satu TReg bagaimana? Jadi di-challenge gitu loh validasi dari ini ke TReg lain, terus dari TReg lain apalagi yang bisa dikembangkan. Lalu ditambah channel sampai pada akhirnya kita mengeluarkan beberapa version dari OCA. Awalnya ya dari Program Amoeba itu sampai akhirnya sekarang saya sudah 100% di Digital Business & Technology atau DBT. Jadi sudah seratus persen innovator dan menggeluti bagian sales,” tambah ia.

Tiffany juga menjelaskan, pemberian nama OCA bukan tanpa landasan. Teorinya, nama teknologi yang digunakan adalah communication platform as a service (CPAS), jadi manakala melakukan digitalisasi komunikasi yang semula konvensional dan terpisah-pisah, baik berupa sms saja, atau telepon saja dan tidak ada install fisiknya, maka dengan teknologi ini semuanya beralih cloud base.

Perkembangan CPAS bermacam-macam. Berangkat dari generasi pertama, kedua, ketiga bahkan yang terakhir adalah generasi keempat dengan ragam spesifikasinya. Dan arah OCA juga demikian. OCA meng-enable channel komunikasi supaya bisa digital dan cloud base dan berintegrasi baik vertikal maupun horizontal.

Pengguna OCA berasal dari beragam kalangan, baik Government, enterprise besar dan medium, dan ada pula enterprise kecil, sebutlah UMKM, “jadi, dari basic platform komunikasi jadi komunikasi suppose to be memang tidak hanya dibutuhkan di lini bisnis tertentu tetap supportly di seluruh bisnis baik itu B2B maupun B2C”.

Digital Talent OCA

Tim OCA

Bekerja di OCA, artinya bersedia membangun sebuah produk digital sembari membangun kapasitas diri pula. Seperti yang dikatakan Tiffany bahwa OCA itu require a person supaya skill-nya bertambah dengan meng-encourage mereka untuk belajar. Belajar di sini tidak mungkin hanya learning on the job tetapi juga belajar dari tempat lain seperti mengambil sertifikasi atau short course. Sementara di dalam tim sendiri senantiasa melakukan sprint planning sehingga feedback itu akan mengalir baik dari individu maupun sebagai pekerjaan.

“Kalau di OCA kultur kerja kami ‘bebas bertanggung jawab’, artinya digital talent diberi kebebasan apakah mau work from home (WFH) abadi seperti teman-teman developer, tidak masalah asalkan task-task-nya done. Nah, kalau di bisnis mungkin berbeda ya, ga bisa WFH abadi, harus hybrid karena di sini ada sales activity jadi harus ada real engagement. Yang jelas ada waktu di hari-hari tertentu dalam satu minggu kita ketemu bareng untuk evaluasi, tukar pikiran, bangun engagement, dan lainnya yang sudah dilakukan online,” jelas Tiffany.

Tak jarang juga Tiffany dan tim hangout bareng atau olahraga bersama seperti bulutangkis, basket, juga lari di Gelora Bung Karno (GBK), atau mengadakan mini workshop di luar kota yang biasanya dilakukan triwulan.

“Environment Telkom sangat mendukung untuk kita berkembang, termasuk di OCA. banyak fasilitas dan prasarana yang disiapkan Telkom untuk mengembangkan talent-talent-nya. Trus, untuk saya pribadi, purpose nya sama yaitu ingin bermanfaat untuk masyarakat Indonesia. Nah, kalau teman-teman ingin ikut membangun produk digital Telkom, khususnya di OCA, dan ingin mengembangkan diri di lingkungan yang bagus, OCA sedang open recruitment di beberapa posisi. Seperti account manager, front-end developer, product researcher, product owner, dan lain-lain yang bisa dicek di Instagram atau LinkedIn. Siapa tahu purpose kita savisi, membangun Indonesia dalam scoop of work dari salah satu BUMN terbesar di negeri ini,” pungkas Tiffany.

Mau ikut mengelola produk OCA atau produk digital lain di Telkom seperti Tiffany? Yuk, cek lowongan yang tersedia di website Careers Telkom!

--

--

Leap
Leap Telkom

Telkom Indonesia kembangkan banyak produk digital di bawah Leap. Temukan rangkaian cerita mendigitalisasi bangsa lewat solusi digital yang Kami hadirkan!