Diseminasi Riset #1 “Bisakah Millennials Punya Rumah?”

Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Diseminasi Riset Shirvano Consulting di Yogyakarta (3/12/19)

Shirvano Consulting
Life at Shirvano
5 min readDec 15, 2019

--

Kita semua tahu, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat bertahan hidup. Namun, rumah memiliki arti lebih dari sekadar tempat berlindung dari teriknya panas matahari dan guyuran air hujan. Lebih dari tempat bernaung untuk beristirahat malam maupun berkumpul bersama keluarga. Pilihan atas rumah memengaruhi bagaimana seseorang dapat memiliki akses terhadap kesempatan bekerja, layanan pendidikan, kesehatan, pinjaman, dll. Hal-hal tersebut memengaruhi kualitas kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya. Negara bahkan mengatur kebutuhan rumah sebagai salah satu hak asasi manusia yang terjamin untuk setiap warga negara seperti yang dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini pun dikuatkan lagi melalui pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Senada dengan itu, Universal Declaration of Human Rights (1948) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966) juga mengatur bagaimana rumah layak huni menjadi salah satu Hak Asasi Manusia yang diakui dunia. Dalam The UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights’ general comments no 4 (1991), diatur lebih lanjut mengenai persyaratan rumah layak huni yang mencakup aspek-aspek (1) security of tenure; (2) availability of services, materials, facilities and infrastructure; (3) affordability; (4) habitability; (5) accessibility; (6) location; (7) cultural adequacy.

Akan tetapi, permasalahan ketersediaan perumahan yang terjangkau bagi semua orang masih belum terselesaikan. Data Kementerian PUPR menyebutkan bahwa backlog penghunian rumah pada tahun 2019 masih ada di angka 7,6 juta unit rumah. Sementara itu, generasi millennials yang saat ini mendominasi angkatan kerja Indonesia dan menjadi pangsa pasar utama bisnis properti Indonesia hingga 10 tahun ke depan (propertyinside.id) dinarasikan oleh berbagai media sebagai generasi yang kesulitan memiliki rumah. Lalu, bagaimanakah sebaiknya persoalan ketersediaan perumahan ini dijawab?

Pada hari Selasa (3/12/19) lalu, Shirvano Consulting bersama dengan HMT PWK UGM mengadakan kegiatan diseminasi riset dengan tajuk “Bisakah Millennials Punya Rumah?” di Ruang Seminar lt. 2 Perpustakaan UGM. Pada kesempatan tersebut, Shirvano yang diwakili oleh salah satu penelitinya, Fadhila Nur Latifah Sani, memaparkan temuan-temuan yang didapatkan dari kegiatan risetnya tentang hunian millennials. Selanjutnya, temuan tersebut dibahas bersama beberapa pakar, diantaranya yaitu Endah Dwi Wardhani, tenaga ahli dan peneliti terkait perumahan dari Housing Resource Center (HRC) Caritra Yogyakarta. Selain itu juga ada Jasri Mulia dari Architects Community atau Arkom Jogja dan juga Achie Mahfudloh, financial planner sekaligus founder Stocksgrow Community.

Dalam risetnya yang berjudul “Preferensi dan Tantangan Kepemilikan Hunian bagi Generasi Millennials”, tim peneliti dari Shirvano Consulting mencoba untuk melihat bagaimanakah preferensi hunian serta tantangan yang berkaitan dengan kemampuan finansial generasi millennials untuk dapat mengakses hunian. Hasil awal penelitian ini yang melibatkan 278 responden yang bertempat tinggal di DIY dan terbagi sebagai generasi millennials pekerja dan mahasiswa, menunjukkan bahwa kepemilikan hunian masih menjadi sesuatu hal yang penting bagi generasi millennials sebagai bentuk investasi jangka panjang dan pemenuh kebutuhan primer. Di samping itu, pilihan hunian yang diinginkan masih didominasi oleh hunian tapak yang berlokasi di kawasan pinggiran kota. Fungsi-fungsi yang diinginkan untuk ada di hunian pun bervariasi, dari fungsi primer yang harus dipenuhi hingga fungsi tersier yang sangat personal, menunjukkan bagaimana hunian dianggap juga sebagai sebuah bentuk aktualisasi diri.

Hanya saja, pilihan hunian tersebut belum diimbangi dengan kemampuan finansial dan kesadaran akan pentingnya menabung untuk hunian. Bahkan dengan cara membeli tanah dan membangun hunian secara bertahap yang dianggap oleh sebagian besar sebagai cara yang paling ideal untuk mendapatkan hunian, masih terdapat gap yang cukup besar antara kemampuan finansial yang dimiliki saat ini dengan nilai yang dibutuhkan untuk mendapatkan rumah yang diinginkan.

Menanggapi preferensi tersebut, Endah Dwi Wardhani (HRC Caritra) mengingatkan bahwa dengan nilai properti yang semakin meningkat, akan semakin susah bagi millennials untuk memiliki hunian yang sesuai dengan preferensi tersebut. Secara ketersediaan lahan pun, hal ini tidak memungkinkan karena lahan di pinggir kota (misal: daerah Kabupaten Sleman) banyak yang sudah ditetapkan sebagai lahan LP2B (Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan) dalam aturan tata ruang yang baru.

Oleh karenanya, sudah saatnya millennials beralih melirik hunian vertikal (rumah susun) sebagai hunian masa depan. Perlu dicatat pula, bahwa alih-alih berfokus pada kemampuan untuk memiliki, yang lebih penting adalah kemampuan untuk menghuni. Dengan skema huni ini, millennials lebih mudah untuk bisa menjangkau rumah dan memenuhi kebutuhan papan mereka, dengan kepemilikan hak guna bangunan. Karena, angka backlog hunian tinggi, akan tetapi angka kekosongan hunian juga tinggi, sehingga sebenarnya supply hunian bisa mencukupi.

Sementara itu, Jasri Mulia (Arkom Jogja) berpendapat bahwa mimpi untuk mempunyai rumah bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, asalkan kita tahu caranya. Diakuinya, kemungkinan untuk membeli tanah dan rumah memang semakin susah, namun seperti yang sudah dipraktikkan Arkom di komunitas binaannya di sepanjang bantaran kali di Yogyakarta, penyediaan rumah dengan cara alternatif masih memungkinkan.

Pada prinsipnya, untuk memiliki rumah secara swadaya dibutuhkan tanah, rumah dan prasarana utilitas seperti saluran drainase, sanitasi, air bersih, dll. Agar bisa memangkas pengeluaran, maka komunitas memerlukan pengetahuan tentang program pemerintah terkait perumahan yang bisa mereka akses.

Dipenghujung acara, Achie Mahfudloh (Stocksgrow Community) yang didapuk sebagai pembahas pamungkas, memberi pemaparan terkait cara generasi millennials dapat mengakses hunian. Menurutnya ada beberapa hal yang perlu millennials perhatikan utamanya terkait pola konsumsinya sehari-hari. Berdasarkan riset IDN times yang disampaikannya, millennials hanya menyisihkan 10,7% pendapatannya untuk tabungan dan 2,0% untuk investasi.

Maka dari itu, untuk dapat mengakses hunian, Achie menekankan tiga hal yang perlu dilakukan oleh millennials. Pertama, menambah penghasilan, lalu melakukan investasi pada produk keuangan serta menambah pengetahuan literasi keuangan.

Pada akhirnya, pemenuhan hak asasi manusia atas hunian dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari kebijakan, penyediaan, hingga kemampuan pembeli untuk mengakses hunian. Untuk itu, millennials perlu semakin bijak dalam menentukan pilihan atas hunian serta menyadari bagaimana pilihan tersebut memberikan pengaruh tidak hanya pada kehidupannya tetapi juga pada lingkungan yang lebih luas.

Nantikan rangkaian diseminasi dan diskusi tentang hunian selanjutnya, di kotamu!

Presentasi Pembahas dapat diakses di sini.

Sumber:
https://properti.kompas.com/read/2019/03/11/104252821/per-8-maret-2019-backlog-rumah-76-juta-unit?page=all (diakses 10 Desember 2019)
https://www.propertyinside.id/2018/09/05/milenial-potensi-besar-pasar-properti/
UN Habitat. 2009. The Right to Adequate Housing, Fact Sheet no 21 (rev 1). Geneva: United Nations.
Undang-undang Dasar 1945 versi amandemen.

Laporan & Dokumentasi:
Tim Shirvano Consulting

--

--