Ensuring Our Future Housing? — A Report on Housing for Millennials’ Research Dissemination

Sabtu, 28 Maret 2020, Shirvano Consulting mengadakan kegiatan diseminasi riset Housing for Millennials yang diadakan secara daring, menghadirkan Fadhila Nur Latifah Sani (Shirvano Consulting), Yu Sing (Akanoma Studio) dan Dira Illanoor (Halofina).

Shirvano Consulting
Life at Shirvano
4 min readApr 18, 2020

--

Ada yang berbeda dari penyelenggaraan diseminasi riset Housing for Millennials kali ini. Agenda yang mulanya direncanakan untuk dihelat secara offline di Kota Bandung, Jawa Barat, akhirnya dilaksanakan secara daring. Hal ini adalah salah satu bentuk usaha Shirvano Consulting sebagai penyelenggara untuk menghormati restriksi kegiatan di ruang publik dan pembatasan pergerakan warga untuk mencegah penyebaran Covid19. Rupanya, niat ini disambut baik oleh publik sehingga ruang Zoom Meetings yang dibuka pada Sabtu pagi(28/03) lalu, dipenuhi tidak kurang dari 250 peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Acara dimulai dengan pemaparan hasil riset mengenai “Preferensi dan Tantangan Generasi Millennials terhadap Kepemilikan Rumah” oleh Fadhila Nur Latifah Sani (Shirvano Consulting). Riset tersebut digagas oleh Shirvano dalam kerangka riset mengenai “Future Cities”. Dalam penelitian yang melibatkan lebih dari 1000 responden dan mengolah data dari 475 millennials dari 6 Provinsi di Pulau Jawa, Shirvano berusaha untuk mengetahui bagaimanakah preferensi hunian bagi generasi millennials dan bagaimana kesiapan finansial untuk menjangkaunya.

Secara umum, generasi millennials masih memiliki imaji rumah ideal yang memenuhi fungsi bukan hanya sebagai pemenuh kebutuhan dasar primer maupun investasi jangka panjang, namun juga sebagai tempat di mana mereka dapat memiliki kebebasan beraktivitas serta privasi dan kenyamanan. Inilah mengapa rumah tapak tipe 70 dengan beragam kelengkapan fungsi ruang di dalamnya, mulai dari ruang primer, ruang sekunder hingga ruang tersier, menjadi pilihan.

Apabila dihitung-hitung dengan skema kepemilikan rumah dan tanah berSHM, maka, untuk menjangkau hunian dengan spesifikasi tersebut dibutuhkan dana hingga milyaran rupiah (dengan variasi yang bergantung pada lokasi hunian tersebut). Hanya saja, berdasarkan hasil riset yang dilakukan, mayoritas Millennials belum mengimbangi preferensi tersebut dengan kemampuan finansial yang cukup, dengan penghasilan yang masih pas-pasan (0–6 juta rupiah/bulan) dan tabungan yang terbatas (0–__%). Tentunya, pun dengan beragam skema pembiayaan yang tersedia, keputusan untuk memiliki hunian akan memengaruhi beragam keputusan lainnya bagi Millennials.

Namun, selain daripada dampak kepada individu yang bersangkutan, perlu diingat bahwa setiap keputusan tersebut juga akan memberikan dampak lingkungan dan dampak sosial. Masalah keterbatasan lahan di kota sekarang semakin meningkat diiringi dengan permasalahan turunnya keterjangkauan biaya untuk membangun rumah. Saat ini, pusat pembangunan rumah tertinggi berada di Pulau Jawa, dengan bertambah tingginya kepadatan penduduk di perkotaan, diperlukan siasat untuk menemukan solusi agar bisa hidup di kota. Tentunya, siasat ini perlu didatangkan dari kesadaran untuk berpikir dari masa depan, bukan hanya untuk masalah hari ini (Yu Sing).

Belajar dari kampung kota yang padat, Kang Yu Sing kemudian mempertanyakan standar ruang hidup manusia. Di kampung kota, fungsi rumah adalah sebagai rumah produktif, bukan hanya ruang tinggal. Maka, seberapa kecil rumah dapat dianggap cukup? Karena rumah bisa sekecil mungkin, tapi ruang hidup manusia tidak hanya di rumah. Standar pemerintah yang 9m2/orang itu termasuk rumah kecil, tetapi dengan keterbatasan lahan, standar tersebut bisa diperkecil, seperti yang termanifestasi dalam desain rumah mikro.

Uji coba pembangunan rumah mikro dimulai dari tahun 2017 hingga 2020. Pada tahun 2019, tim Akanoma Studio berhasil membangun rumah mikro dengan fungsi yang lengkap sebagai satu rumah (dilengkapi dengan kamar mandi, ruang makan, ruang keluarga, dan masih cukup untuk mobilitas dan ruang kerja penghuni). Sehingga pada tahun 2020, munculah ide untuk intervensi rumah mikro dalam permasalahan kampung kota yang kumuh. Pengembangan kampung secara susun bisa dijadikan alternatif yang memberikan fleksibilitas dan identitas sosial, serta bersifat inkremental dan menciptakan kebersamaan.

Selain menawarkan solusi hunian di lahan kota yang terbatas, rumah mikro juga bisa menjadi solusi hunian terjangkau. Kang Yu Sing memperkirakan bahwa mahasiswa saja bisa punya rumah. Dengan perhitungan kemampuan membayar kos 500ribu/bulan yang terakumulasi selama masa kuliah (4 tahun), dua orang mahasiswa secara kolektif sudah bisa membangun satu rumah mikro dengan 2 tempat tidur dan 1 kamar mandi (belum termasuk harga lahan).

Menanggapi keterjangkauan hunian ini, Kang Dira Ilanoor dari Halofina juga menambahkan, dengan tren kenaikan harga rumah yang semakin meningkat, millennials perlu untuk melakukan perencanaan keuangan yang baik sebagai fondasi utama dalam menunjang tujuan utama di masa depan. Berdasarkan penelitian dari IDN Research Institute dan Alvara Research, Millennials lebih cenderung memilih menghabiskan uang untuk experience buying, menghabiskan uang dalam waktu cepat daripada menabung untuk masa depan.

Hal ini bisa dihindari dengan cara memastikan adanya positive cash flow (income>expense) dalam manajemen budget. Selain itu, apabila memutuskan untuk memiliki rumah, maka perlu dirincikan kebutuhan tersebut menjadi tujuan yang jelas (how much, how to, how long?). Setelah itu, barulah disesuaikan jumlah income yang diperlukan, alat investasi, dan skema pembelian rumah yang sesuai dengan profil keuangan kita.

Pada akhirnya, memiliki hunian bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Tapi, inikan baru dari sisi Millennials sebagai customer, bahas lagi yuk, memangnya penyediaan hunian layak huni dan terjangkau di Indonesia, bagaimana?

Sampai bertemu di bahasan selanjutnya!

--

--