Sharing Session #2 oleh Arbi Ali Farmadi

Sharing Session #2 bersama Arbi Ali Farmadi (Chief Product Officer, Shirvano Consulting)

Shirvano Consulting
Life at Shirvano
3 min readMay 4, 2020

--

Setiap anak dilahirkan dalam keadaaan suci bersih, maka kedua ibu bapaklah yang akan menyebabkan anak ini menjadi Yahudi, Nasrani maupun Majusi.’ [Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir]”

Jangan Takut Menjadi Ayah

Tidak perlu ada ketakutan untuk menjadi seorang ayah karena masing — masing anak membawa rizkinya sendiri, anak juga menjadi pemacu untuk terus belajar menjadi lebih bijaksana, anak juga menjadi ladang pahala untuk orangtua, hadirnya anak dapat menguatkan cinta pasangan suami istri. Selain itu, anak dapat menjadi penghias rumah sekaligus ujian bagi orangtua ketika pendidikan anak tidak diperhatikan dengan baik.

Pendidikan Anak di Berbagai Fase Usia

Ada beberapa tahapan dalam mendidik anak, semuanya dimulai dari masa sejak kelahiran anak (0 tahun) hingga mereka memasuki masa dewasa awal (21 tahun). Pada usia 0 hingga 2 tahun, pendidikan anak harus didampingi oleh ibunya karena pada usia ini juga anak harus mendapat asupan nutrisi yang cukup dari Air Susu Ibu (ASI).

Pada usia 3 hingga 6 tahun, pendidikan anak harus didampingi kedua orangtuanya dengan memperbanyak aktivitas bersama. Pada usia 7 hingga 14 tahun, anak dapat diperlakukan sebagai ‘pembantu’ yang dapat diatur dan minta pertolongan, untuk menilai baik buruk anak. Selain itu, pada usia ini hendaknya orangtua mendekatkan anak sesuai gender-nya. Misalnya, anak laki-laki didekatkan dengan ayahnya dengan memperbanyak melakukan aktivitas maskulin atau aktivitas yang umumnya dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan didekatkan dengan ibunya dengan aktivitas yang sifatnya lebih feminim selain itu pada masa ini merupakan masa yang tepat bagi orangtua untuk menanamkan kebiasaan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT serta menanamkan rasa kemandirian dan tanggungjawab.

Pada usia 11 hingga 14 tahun yang merupakan masa pre-aqil baligh, anak laki-laki dapat didekatkan dengan ibunya dan anak perempuan dapat didekatkan dengan ayahnya agar mendapatkan perspektif lain terkait bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis. Pada usia 15 hingga 21 tahun anak dapat diperlakukan seperti wazir (menteri) karena pada usia ini anak telah dapat berpikir kritis, memiliki perasaan yang dominan dan peka, memiliki kebutuhan untuk didengar pendapatnya, sehingga dapat terlibat dalam kepentingan sosial bersama masyarakat selain itu anak telah dapat diajak berdiskusi untuk membuat keputusan.

Lalu, Bagaimana Cara Memperlakukan Anak?

Pada usia 0 hingga 7 tahun anak dapat diperlakukan sebagai raja yang harus dipenuhi permintaannya, karakter si raja kecil pada diri anak misalnya anak suka menangis, anak kecil suka main tanah/pasir, anak kecil tidak punya rasa dendam, tidak menyimpan sesuatu untuk esok hari, anak kecil cepat membuat sesuatu namun di sisi lain anak juga cepat merusak sesuatu. Selain itu, anak mudah tertarik dan mudah bosan. Namun ada beberapa keajaiban yang dapat ditemukan ketika orangtua bisa melayani anak usia 0 hingga 7 tahun layaknya si raja kecil, keajaiban tersebut seperti munculnya bakat terpendam dari anak, kepercayaan anak kepada orangtua tumbuh subur, kesiapan anak dalam menghadapi masa ketaatan, anak lebih tenang dan penyabar saat remaja maupun dewasa.

Anak yang energik ketika kecilnya adalah pertanda ia akan menjadi orang yang cerdas ketika dewasa’. [HR. At- Tirmidzi]

Sesi Tanya-Jawab

  1. Bagaimana memperlakukan anak pada masa transisi? (Emirald)

Pada usia ini sifat anak memang rentan secara emosional, maka dari itu sebagai seorang ayah harus mampu memberikan suri tauladan yang baik dalam bertingkah laku dan berpikir. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) pilihan dalam melakukan pendekatan terhadap anak yaitu pertama, ayah bersikap menjadi seorang sahabat si anak,dimana sikap seorang ayah terhadap anak lebih luwes, lebih mengerti karakter, dan sering mengajak diskusi hingga bercanda dengan harapan anak tidak ada rasa takut mengungkap semua hal yang ia rasakan dan ia alami. Sedangkan yang kedua, melalui pendekatan secara otoriter dimana ayah dengan tegas memperlakukan si anak dengan harapan anak selalu berada dalam jalur-jalur kebaikan.

Sekian, Terimakasih.

Ditulis oleh: Dini Norma Perwirasari, Dwiani Kartikasari

--

--