Penataan Ruang: Partisipasi Desa dalam Indonesia

dhiya sholiha
Life at Shirvano
Published in
6 min readOct 12, 2020
Ilustrasi Desa (sumber: insandesainstitute)

Pendahuluan

Kritik terbesar dari pelaksanaan kebijakan-kebijakan di bidang agraria adalah kerakusan pihak-pihak tertentu dalam menguasai sumber daya. Peruntukan ruang Indonesia sebagai salah satu sumber daya, pada hakikatnya adalah: mampu menjadi wadah bagi keberlanjutan dan pemenuhan kebutuhan dari seluruh makhluk hidup yang ada di wilayah Indonesia. Namun arah dari penataan ruang seringkali cenderung mengakomodasi kepentingan investasi ataupun kepentingan ekonomi sebagian pihak saja.

Sebagai sebuah negara dengan masyarakat yang beragam dan kondisi geografis yang bervariasi serta memiliki bentuk wilayah kepulauan, Indonesia mempunyai dinamika tersendiri dalam penataan ruangnya. Gagasan mengenai penataan ruang di Indonesia merupakan salah satu aspek yang menarik, mengingat ruang di Indonesia memiliki dimensi penataan yang berbeda karena variasi geografis serta kondisi sosial yang ada. Akibatnya, diperlukan sebuah kebijakan tata ruang yang komprehensif agar dapat mewujudkan tujuan yang telah disampaikan pada konsiderans: terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Penataan Ruang Indonesia

Kewenangan dari penataan ruang di Indonesia saat ini dilakukan oleh pemerintah.[1] Pelaksanaan kewenangan penataan ruang bermula pada skala nasional. Kemudian pelaksanaan dengan skala lebih detail dilakukan oleh pemerintah daerah. Gambaran kebijakan pelaksanaan kewenangan idealnya dibuat terpadu dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur lain dalam penataan ruang : fisik, sosial, budaya, dan aspek-aspek lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Booth yang mengatakan, “Sistem perencanaan ruang bukan merupakan suatu bidang yang independen. Namun lebih sebagai ‘produk kekuatan budaya’.”

Perkembangan perencanaan ruang tidak dapat dipahami tanpa merefleksikan konteks pembangunan masyarakat yang lebih luas.[2] Dengan tujuan tersebut, maka partisipasi masyarakat dalam penataan ruang menjadi sangat penting. Tidak hanya meningkatkan kesadaran akan penataan ruang, masyarakat juga dapat menjadi salah satu stakeholder pada proses tata ruang, sehingga masyarakat dapat memiliki komitmen yang lebih baik untuk menjaga tata ruangnya. Lebih jauh, keterlibatan masyarakat pada penataan ruang juga dapat menjadi indikator dari kualitas hidup masyarakat sebagai salah satu objek dari penataan ruang serta meningkatkan efektifitas.

Pada bagan di bawah, dapat dilihat bahwa dalam Undang-Undang Penataan Ruang saat ini, pengaturan sistem penataan ruang dilakukan melalui pendekatan top down. Artinya, kebijakan penataan ruang bermula dari pusat untuk kemudian dilaksanakan di daerah. Pendekatan top down pada regulasi penataan ruang memiliki tujuan untuk menghasilkan keselarasan pembangunan sesuai dengan desain awal dari pemerintah.

Socioeconomic Planning System

Bagan Sistem Perencanaan Sosial Ekonomi di Indonesia (sumber: www.mlit.go.jp)

Ruang untuk Desa

Saat ini, sistem penataan ruang dengan pendekatan top down merupakan sistem yang digunakan untuk pembangunan di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Penataan Ruang. Akibat dari pendekatan top down, sebagian pembangunan saat ini cenderung berpusat pada daerah-daerah sekitar wilayah perkotaan yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan. Hal ini memicu perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan yang akan menimbulkan beberapa dampak sosio-ekonomi baru pada daerah yang ditinggalkan, maupun perkotaan yang didatangi. Selanjutnya, penambahan jumlah penduduk pada wilayah perkotaan akan memicu pertumbuhan ekonomi, yang akan dijadikan alasan bagi industri untuk cenderung melakukan perluasan wilayah ke arah perdesaan. Hal ini akan menimbulkan banyak permasalah baru, mulai dari lingkungan sampai dengan ekonomi. Seluruh fenomena di atas menjadi salah satu alasan kuat; mengapa penataan ruang dengan tingkat partisipasi masyarakat perdesaan yang lebih tinggi begitu diperlukan.

Pertimbangan lain untuk menambah partisipasi masyarakat dalam kewenangan penataan ruang bagi desa adalah perlunya mekanisme preventif untuk mencegah adanya kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah-wilayah desa karena eksploitasi sumber daya alam yang ada di desa.

Sebuah kasus yang terjadi di beberapa desa di Jambi pada tahun 2002 menyebutkan bahwa sebuah perusahaan datang ke Desa Rukam dengan mengantongi izin lokasi yang diberikan dari pemerintah kabupaten untuk lahan seluas 4000 lebih hektar di wilayah desa. Akhirnya, secara terpaksa lahan itu ‘dilepaskan’ oleh kepala Desa Rukam. Dampak dari pengalihan lahan tersebut pun terlihat sepuluh tahun kemudian. Banjir setiap tahun, serta lenyapnya potensi kekayaan alam yang berasal dari sungai maupun sawah milik warga di wilayah Desa Rukam. Hilangnya potensi kekayaan alam mengakibatkan warga kehilangan mata pencahariannya. Padahal pada awalnya potensi alam itu diprediksi berpotensi untuk menghasilkan kurang lebih Rp230.000,00 (dua ratus tiga puluh ribu rupiah) setiap harinya.[3]

Pengendalian izin penggunaan lahan untuk industri-industri yang dapat mengakibatkan kerusakan maupun pencemaran lingkungan di wilayah perdesaan saat ini sangat diperlukan. Keterlibatan desa dalam mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan di wilayahnya pada masa yang akan datang dapat dilakukan dengan kewenangan penataan ruang yang telah disebut dalam Undang-Undang Desa.

Sebenarnya, Undang-Undang Penataan Ruang sudah mengatur penataan ruang mengenai kawasan perdesaan. Akan tetapi, pada aturan tersebut desa sebatas dianggap sebagai bagian dari wilayah kabupaten. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pemegang kewenangan penataan ruang yang masih dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menjadi angin segar bagi desa, yaitu dengan otonomi masing-masing dalam ruang lingkup pemerintahan di Indonesia. Desa yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah pemerintahan semu, melalui Undang-Undang Desa akhirnya mampu berkembang menjadi salah satu stakeholder dalam pengelolaan wilayahnya sendiri. Salah satu tujuan dari hadirnya Undang-Undang Desa adalah untuk mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama.[4]

Tantangan Mendatang

Tantangan bagi sistem perundang-undangan saat ini yang mengatur mengenai penataan ruang adalah bagaimana mengakomodir pendapat dari desa untuk dapat diintegrasikan secara nasional. Terdapat beberapa ‘jalur’ bagi desa untuk dapat menyampaikan pendapat atas wilayahnya, salah satunya melalui Musrenbang yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Harapannya melalui kewenangan penataan ruang desa, akan ada keputusan-keputusan tingkat desa yang dapat dieksekusi dengan pertimbangan masyarakatnya dan integrasinya dengan pemerintah daerah. Melalui penataan ruang tingkat desa, partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dan komitmen serta kesadaran masyarakat atas keberlanjutan ruang hidup (baik untuk masyarakat, maupun makhluk hidup lainnya) dapat terjaga.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 7)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104)

Buku

Hasni, 2008, Edisi Ketiga : Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam konteks UUPA-UUPR-UUPPLH, Rajawali Pers, Jakarta.

Yasin Muhammad, dkk., 2015, Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)

Hudalah, Delik dan Johan Woltjer, “Spatial Planning System in Transitional Indonesia”, International Planning Studies, Volume 12, №3, 2007 DOI: 10.1080/13563470701640176

Tjiptoherijanto, Prijono, “Urbanisasi dan Pengembangan Kota di Indonesia” Populasi, Volume 10, №2, 1999

Naskah Akademik RUU Desa, diakses melalui Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

Riza, Faisal, 2016, Tinjauan Hukum tentang Urgensi Pengaturan Tata Ruang Desa, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lin, Diaan-Yi, McKinsey&Company, Can Public Private Partnership Solve Indonesia’s Infrastructure Needs?, https://www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/can-ppps-solve-indonesias-infrastructure-needs, diakses pada 10 November 2019

BPS, Jumlah Desa Menurut Provinsi dan Topografi Wilayah 2013–2018, https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/907 diakses pada 5 November 2019

Marguerite Afra, Jakarta Post, Indonesia to Promote Inclusive Urban Planning in Rural Areas, Oktober 2015 https://www.thejakartapost.com/news/2015/10/22/indonesia-promote-inclusive-urban-planning-rural-areas.html diakses pada 9 November 2019

Suprapto, Yitno, 2019, Ketika Desa-Desa di Jambi ini Kedatangan Sawit, Hidup Warga Makin Sulit https://www.mongabay.co.id/2019/07/06/ketika-desa-desa-di-jambi-ini-kedatangan-sawit-hidup-warga-makin-sulit/ diakses pada 11 November 2019

Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism (MLIT) Japan, An Overview of Spatial Policy in Asian and European Countries https://www.mlit.go.jp/kokudokeikaku/international/spw/general/indonesia/index_e.html, diakses pada 9 November 2019

[1] Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

[2] “ Booth (2005: 259) Planning system is not an independent phenomenon but more as a ‘product of cultural forces’. Its development cannot be understood without reflecting on a broader societal development context” dikutip dari Delik Hudalah dan Johan Woltjer, “Spatial Planning System in Transitional Indonesia”, International Planning Studies, Volume 12, №3, 2007, hlm 291

[3] Suprapto, Yitno, 2019, Ketika Desa-Desa di Jambi ini Kedatangan Sawit, Hidup Warga Makin Sulit https://www.mongabay.co.id/2019/07/06/ketika-desa-desa-di-jambi-ini-kedatangan-sawit-hidup-warga-makin-sulit/ diakses pada 11 November 2019

[4] Pengantar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia pada Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, hlm vi

--

--