Rembug Bareng #1 ‘Tanah Kita, Tanah Siapa?’
Laporan diskusi RUU Pertanahan, Senin (30/9) di Nitikusala
Beberapa waktu belakangan, masyarakat dibuat gelisah dan geram dengan adanya berbagai produk legislatif yang dinilai tidak memihak pada rakyat dan lebih menguntungkan penguasa. Merespon kondisi tersebut, mahasiswa dan masyarakat menghimpun diri bersama turun ke jalan dan melakukan demonstrasi di berbagai titik di tanah air. Diantaranya seperti Aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta, aksi Semarang Melawan, aksi Gabungan BEM se-Surabaya, hingga aksi Aliansi Mahasiswa Indoneisa di Jakarta dan tempat-tempat lainnya. Melihat kondisi akar rumput yang bergejolak, berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai janggal tersebut kemudian diinstruksikan oleh presiden untuk ditunda terlebih dahulu pengesahannya di periode selanjutnya.
RUU yang mendapat perhatian oleh massa aksi diantaranya; RUU KPK, RUU Pertanahan, RUU PKS, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU Ketenagakerjaan dan RUU Minerba. Namun disadari atau tidak diskusi yang mengemuka di pulik lebih didominasi hanya pada satu isu saja. Isu-isu yang lain seperti RUU Pertanahan misal, masih belum banyak didiskusikan. Padahal isu terkait tanah adalah isu yang beririsan langsung dengan kehidupan manusia secara langsung. Mengingat tanah (Papan) adalah kebutuhan primer manusia. Oleh sebab itu, Shirvano Consulting melalui diskusi Rembug Bareng mengajak mahasiswa dan khalayak umum untuk membedah RUU Pertanahan yang diundur pengesahannya oleh DPR RI. Berlokasi di Nitikusala (30/9), diskusi ini mengundang Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, dan juga dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Negara, M Nazir Salim.
Menurut M Nazir Salim, mahasiswa dan publik terkesan kurang konsen terhadap isu pertanahan dikarenakan informasi yang saat ini tersedia masih kurang. Selain itu, perundangannya juga tidak pernah dibahas dengan publik secara luas dan terkesan hanya dirumuskan dengan beberapa pihak terbatas.
“Tidak pernah muncul naskah akademik yang bisa dibaca secara umum, biar publik juga tahu apa yang dimau negara dan masyarakat terhadap isu pertanahan,” terang Nazir. Ia juga menambahkankan bahwa Rancangan Undang-Undang Pertanahan perlu dikaji lebih serius dan masuk dalam penelitian secara akademis di kampus dan juga didiskusikan lebih lanjut.
Ketiadaan informasi dan minimnya partisipasi masyarakat dalam formulasi kebijakan rancangan UU Pertanahan semakin meminggirkan suara masyarakat untuk menentukan masa depan pertanahan di Indonesia. Padahal kebijakan pemerintah sepatutnya memang mengikut sertakan banyak stakeholder agar semua kepentingan bisa diwadahi dalam satu aturan.
Jika melihat draft RUU Pertanahan per 9 September lalu, menurut Nazir, aturan yang akan disahkan tersebut tumpang tindih dengan Undang-Undang Pokok Agraria(UU PA) 1960. Mengingat, napas dari UU PA adalah pemerataan tanah untuk semua kelompok sedangkan untuk RUU Pertanahan justru memudahkan penguasaan tanah hanya untuk beberapa kelompok saja.
“Kontrak tanah antara perusahaan dengan perusahaan lain banyak dikritik karena dianggap akan melanggengkan kekuasaan. Hak Pengelolaan ini menjadi poin kritis karena diduga akan menguntungkan beberapa kelompok tertentu,” papar Nazir.
Selain itu, RUU Pertanahan juga dinilai kurang akomodatif terhadap isu reformasi agraria, padahal harusnya pembahasan ini ada di RUU tersebut untuk mengakomodasi kekurangan dari UU PA 1960. Tak hanya itu, RUU Pertanahan ini juga kurang solutif terhadap konflik-konflik agraria yang masih banyak menjadi permasalahan diberbagai daerah. Dulunya, pernah ada lembaga penyelesaian konflik lintas sektor dalam kasus agraria pada era Megawati. Namun hal ini tidak berlanjut, bahkan RUU Pertanahan yang baru tidak merespon permasalahan ini. Padahal, negara belum dapat menyelesaikan persoalan tanah terkait reforma agraria, bukan hanya distribusi tanah bagi rakyat miskin saja tapi juga terkait tanah bagi kedaulatan pangan. Isu lain sepert kesenjangan kepemilikan tanah antara mereka yang dapat akses dan tidak memiliki akses terhadap tanah masih sangat timpang dan belum ada mekanisme untuk membaginya.
Hal tersebut juga diamini oleh Yogi Zul Fadli, Direktur LBH Yogyakarta. Menurutnya Permasalahan-permasalahan terkait isu agraria yang masuk ke dalam Lembaga Bantuan Hukum yang ia naungi memperlihatkan betapa UU yang ada sangat tidak akomodatif terhadap permasalahan pertanahan yang ada saat ini. Alih-alih melindungi masyarakat, RUU Pertanahan malah menimbulkan potensi kriminalisasi karena tidak mengizinkan adanya pembukaan lahan dan menyiapkan delik pidana untuk itu. “RUU pertanahan merupakan suatu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan pasar. Bahasa di media, RUU PA menguatkan UU PA. namun jika dibedah, justru banyak pasal yang jauh dari norma-norma dalam UU Pokok Agraria,” tambah Yogi.
Pada draft RUU pertanahan ada istilah baru yang dimunculkan, seperti bank tanah. Jika dibedah lagi, tujuan dari adanya bank tanah ini lebih pada melakukan invetarisasi tanah-tanah yang dimiliki badan hukum. Namun konsep yang akan digunakan masih belum jelas, hal ini akan membahayakan bagi masyarakat. Data dalam bank tanah dapat dijadikan letigimasi untuk melakukan kriminalisasi dengan serampangan karena pemilik data ialah pemerintah yang saat ini cukup berpihak pada pemodal.
Bagi Yogi, kita patut skeptis dengan adanya Bank tanah ini, mengingat secara spesifik dalam RUU pertanahan mengatur tentang pengadaan tanah untuk investasi. Pengadaan tanah bagi investasi diatur dalam peraturan presiden. Hal ini semakin memperlihatkan keperpihakan negara terhadap kepentingan pasar. Aturan pengadaan tanah memiliki semangat untuk merampas tanah warga, sedang warga tidak diberikan ruang-ruang partisipasi. “ Contoh kasus terkait seperti pembangunan bandara. Tata ruang menjadi jantung pembangunan yang katanya sebagai kepentingan umum bisa diabaikan,” terangnya. Menurutnya, rencana tata ruang menjadi peraturan tertinggi bagaimana ruang dimanfaatkan, namun dapat ditabrak. Contoh pembangunan New Yogyakarta International Airport dan kereta cepat Indonesia Cina Jakarta-Bandung yang sampai harus mengubah 5 RTRW.
Jadi, sebenarnya Tanah Kita, Tanah Siapa?
ditulis oleh Rosalina WS
dokumentasi oleh Reza Altamaha, Irsyad Abdul Aziz