Terus, Kenapa Nuklir?

Sebuah Perspektif non-Politik dan Argumentasinya (Bagian 1)

Zafitra Emirald
Life at Shirvano
3 min readApr 20, 2020

--

Energi nuklir selalu seksi jika diperbincangkan terutama di kalangan penggiat lingkungan dan energi terbarukan, baik setuju terhadap mosinya, maupun tidak. Kedua pendapat tersebut tentunya tidak salah karena disertai dengan alasan kuat. Protes keras terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terus dilancarkan masyarakat yang dimotori penggiat-penggiat lingkungan, sementara jargon “energi nuklir adalah energi masa depan” terus digencarkan oleh penggiat energi bersih dan energi nuklir.

Lalu, bagaimana perspektif negara terhadap masalah keenergian ini? Tentu saja yang menjadi topik utama adalah bagaimana kesejahteraan masyarakat karena energi bisa dicapai dengan cara yang efektif serta efisien tanpa penggelontoran dana yang sia-sia. Sudah seharusnya rumah di tanah air disentuh listrik dengan biaya pembangkit dan distribusi yang sudah diperhitungkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana pemerintah mengeksekusinya.

Tentunya berbicara mengenai pembangkitan energi, tak lepas dari hiruk pikuk kebersihannya. Planet ini sampai pada masa krisisnya. Al Gore — Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat — menyatakan Kutub Utara selama 3 juta tahun adalah seluas Benua Amerika, tetapi perubahan iklim mengikis habis 40% darinya. Ia pun berkata soal bagaimana manusia telah membuang 70 juta ton sampah dan terus bertambah hingga hari ini dan perubahan iklim di masa depan menjadi salah satu alasan manusia akan terbunuh. Tak hanya Al Gore, begitu banyak komunitas dan gerakan-gerakan yang berusaha menyelesaikan permasalahan lingkungan. Melalui perjanjian internasional, United Nation menetapkan kesepakatan yang mengatur segala bentuk kotoran yang dihempaskan ke udara.

Maka kemudian terdapat tiga elemen utama soal pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia: Keadaan Energi Saat Ini, Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan — dalam pembangkitan energi, serta Harga Pembangkitannya — sampai distribusi ke rumah maupun industri di seluruh tanah air.

Keadaan Energi Saat Ini

Faktanya kebutuhan listrik di Indonesia pada tahun 2017 diampu hanya oleh 22.81% dari total seluruh produksi batu bara yang ada di Indonesia. Artinya, hampir 80% batu bara yang dihasilkan negara dimanfaatkan untuk ekspor dan sebagai tambahan devisa negara. Cukup ironis apabila dibandingkan dengan data menurut Statistik Ketenagalistrikan Indonesia tahun anggaran 2018 yang menyatakan bahwa terdapat 8 provinsi di Indonesia yang desanya belum teraliri listrik seratus persen. Dari 8 provinsi tersebut 2 di antraranya masih memiliki persentase desa teraliri listrik di bawah 85% yaitu dua provinsi paling timur Indonesia, Papua Barat dan Papua. Apabila menelisik soal rasio elektrifikasi — perbandingan jumlah rumah tangga teraliri listrik dengan jumlah rumah tangganya — menurut sumber yang sama terdapat 8 provinsi yang memiliki rasio terelektrifikasi di bawah 85% dan 2 di antaranya masih di bawah 65% yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Papua.

Tidak terbayang ternyata di tahun 2019 ini di saat segala hal tentang kebutuhan manusia sudah berbasis teknologi kompleks — big data, internet of things, dan bahkan artificial intelligence — masih ada rumah yang belum mendapatkan listrik sama sekali. Maka, sudah seharusnya pembangkitan listrik negara menjadi lebih efektif dan menaikkan prioritas pemenuhan listrik negara.

Itikad negara dalam terus mengusahakan rasio elektrifikasi memang sudah terlihat sangat serius. Terbukti dengan tercantumnya angka rasio elektrifikasi 96,60% se-Indonesia pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) RI tahun 2015–2019. Fakta bahwa terus meningkatnya rasio elektrifikasi negara dengan peningkatan mencapai 4,19% hingga pada 2017 mencapai 95,35% secara keseluruhan menjadi bukti pendukung premis tentang itikad negara ini. Akan tetapi, fakta sering terjadinya pemadaman listrik dikarenakan kendala kondisi pembangkit juga tidak sedikit, khususnya pada PLTA di Sumatera.

Melihat keadaan ini, jelas harus ada pembaharuan dalam pengolahan energi dari hulu hingga hilirnya. Potensi tanah air dalam sektor energi harus sepenuhnya dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk kepentingan energi rakyat. Maka dari itu, memang dibutuhkan sumber energi nasional yang dapat secara efektif menerangi setiap jengkal tanah Indonesia. Sumber energi ini harus stabil dalam pengolahan dan secara efektif memberikan daya yang besar bagi masyarakat.

Referensi

[1] BAPPENAS, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015–2019, DKI Jakarta, 2014.

[2] C. A. Tanjung, “Detik.com,” 19 November 2016. [Online]. Available: https://news.detik.com/berita/d-3349536/kurang-pasokan-daya-dari-plta-singkarak-listrik-di-pekanbaru-sempat-padam. [Accessed 28 2 2019].

[3] D. K. K. ESDM, Statistik Ketenagalistrikan 2017, DKI Jakarta, 2018.

[4] H. Tantan, “Dunia Energi,” 8 October 2013. [Online]. Available: https://www.dunia-energi.com/dilema-plta-murah-dan-ramah-namun-saat-kemarau-banyak-kendala/. [Accessed 28 February 2019].

--

--