Mengokohkan Identitas Diri Sebagai Anak Bangsa dengan Sejarah

Di malam gelap-gulita, segerombolan tentara mengetuk pintu, masuk secara tak sopan, lantas memuntahkan peluru. Kemudian jasad yang sudah meninggal dimasukan ke dalam sebuah sumur di Lubang Buaya secara bertumpuk. Begitulah gambaran peristiwa 30 S 1965.

Noor Hafidz Priatna
danget_on
5 min readOct 2, 2020

--

Terlepas dari berbagai versi soal peristiwa 30 September, setidaknya fakta terbunuhnya 7 pahlawan revolusi pada masa tersebut sudah kita sepakati bersama. Soal siapa dalang sebenarnya, telah lama mengendap di benak masyarakat, terutama yang hidup di alam orba, PKI-lah dalangnya. Namun, alam reformasi membuka celah bagi alternatif data juga informasi 'yang sebenarnya’. Terlepas dari berbagai varian soal komposisi cerita yang sebenarnya, setidaknya hari ini kita peringati sebagai hari kesaktian Pancasila, hari peneguhan identitas Pancasila.

Yang juga sudah pasti adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjend DI Pandjaitan, Brigjen Sutoyo Siswodiharjo, juga Lettu Andrea Tendean kini telah tiada dan mereka menjadi 'tumbal' agar anak bangsa penerus mereka dapat belajar dari apa yang terjadi pada mereka.

Soal perlakuan kejam pelaku pembunuhan pun dapat kita dengar dari penuturan Soekitman, saksi pembantaian di Lubang Buaya, Polisi asal Sukabumi. Ia turut dibawa dengan mobil yang membawa jasad para Jenderal yang sudah terbunuh pada 30 September malam hari. Dalam keremangan keremangan subuh, ia sempat menyaksikan salah satu korban yang disiksa sebelum dibunuh, lantas jasadnya dimasukkan lubang buaya. Ia hampir saja turut dibunuh namun tak jadi berkat pembelaan dirinya.

32 tahun, kita disuguhi hanya 'satu menu hidangan' sejarah yang bermerk 30 S PKI. Mengikat sepaket cerita pengkhianatan PKI atas negara dengan membunuh salah satu pilar negara, yakni militer. Tanpa alternatif, PKI lah dalang semuanya. Dirangkai dengan berbagai kerusuhan dan pembantaian yang generasi pendahulunya lakukan; di Madiun, Sumatera, dan berbagai daerah lainnya.

Kurang lebih narasinya seperti ini, dengan menyebar isu adanya Dewan Jendral yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno, PKI berhasil membujuk para perwira menengah dalam TNI AD yang dinilai “kiri” untuk menculik para jendral. Dengan cara seperti itu, PKI bisa berbuat “lempar batu sembunyi tangan”. Walhasil, PKI dapat menguasai Indonesia dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme.

"Bahwa PKI merupakan dalang utama dibalik peristiwa G30S 1965 itu, jelas merupakan versi pemerintah Orde Baru yang disosialisasikan sedemikian rupa kepada masyarakat – termasuk kepada dunia pendidikan – baik melalui pidato resmi pejabat, bukubuku, film, dan media massa lainnya," tulis Andi Suwirta dalam salah satu tulisannya di Jurnal Historia pada tahun 2000.

Merespon tafsir tunggal tersebut, komunitas sejarawan akademis dan ilmuwan sosial lainnya yang kritis, sebagai bagian dari masyarakat, juga menolak dominasi negara dalam memaknai peristiwa G30S 1965 itu. Tanggapan tersebut disampaikan semata-mata untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah dari suatu peristiwa sejarah yang sebenarnya kompleks.

Selain versi Pemerintahan Orde Baru, setidaknya ada empat ragam interpretasi menyoal persitiwa 30 September.

Pertama, versi para akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang kemudian terkenal dengan sebutan Cornell Paper. Cornel Paper menjelaskan, peristiwa G30S 1965 merupakan masalah internal dalam tubuh Angkatan Darat TNI, khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Peristiwa itu, menurut Cornell Paper, lebih merupakan revolusi perwira menengah (Mayor, Letnan Kolonel, dan Kolonel) yang berasal dari Divisi Diponegoro terhadap para perwira tinggi AD (Brigjen, Mayjen, Letjen, dan Jendral) yang juga berasal dari Divisi Diponegoro. Ketidakpuasan para perwira menengah terhadap para perwira tinggi AD itu m enyoal nilai-nilai, etika, dan semangat revolusi ’45 di mana kesederhanaan, kejujuran, solidaritas, kesetiaan, dan nilai-nilai hidup ideal lainnya merupakan tolok ukur utama bagi perwira sejati di manapun dan kapan pun ia berada.

Kedua, versi dari seorang sejarawan Barat, Antonie C.A. Dake, yang menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan dalang utama dari peristiwa G30S 1965 itu adalah Presiden Soekarno sendiri. Soekarno dan para Panglima TNI tak dapat dipungkiri terdapat ketidakcocokan dalam kebijakan militer dengan kepentingan politik Soekarno. Salah satunya pada saat Soekarno berkeputusan menyikapi Malaysia tahun 1964 dengan cara konfrontasi, diam-diam TNI AD termasuk yang menolaknya.

Ketiga, versi dari seorang sosiolog dan sejarawan Belanda, W.F. Wertheim, yang menyatakan bahwa dalang dari peristiwa G30S 1965 itu adalah Jendral Soeharto. Pasalnya terdapat indikasi kedekatan Soeharto dengan 3 pelaku utama, Kolonel Untung, Letkol Latief, dan Syam Kamaruzaman. Ia mengatakan Soeharto adalah wali nikah Letkol Untung, sedangkan Letkol Latief melaporkan hasil kerja G30S 1965 langsung pada Soeharto, meski belakangan ditampiknya. Terakhir, Syam Kamaruzaman dianggap sebagai intel “dwi-fungsi” yang melayani kepentingan intelejen baik untuk PKI maupun AD. Syam memprovokasi PKI untuk melakukan pemberontakan pada AD yang sudah lama menjadi 'musuhnya’.

Keempat, versi dari seorang mantan pejabat intelejen Amerika Serikat, Peter Dale Scott, yang menyatakan bahwa peristiwa G30S 1965, yang pada gilirannya menjatuhkan Presiden Soekarno itu, didalangi oleh CIA (Central of Intelligence Agency). Pendapat ini, dilandasi rentetan yang bermula dari Soekarno yang merasa perlunya Demokrasi Terpimpin dan meminta bantuan Uni Soviyet - yang notabene lawan dari Amerika Serikat - dalam operasi pembebasan Irian Barat. Amerika lantas menyalurkan bantuan pada pemberontak PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan PERMESTA (Perjuangan Semesta) di Sulawesi yang menentang pemerintah pusat (Presiden Soekarno) pada tahun 1957/1958.

Berbagai versi tersebut memperlihatkan jika segala kemungkinan yang ada dan kita tidak bisa memandang peristiwa secara Hitam-Putih. Di sisi lain, dalam perspektif ilmu Sejarah yang terus berkembang dan berubah.

"Bukankah sejarah itu, pada intinya, merupakan proses kesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa sekarang dengan masa lampau," ujar Andi Suwirta mengutip tulisan Said Hamid Hasan dalam Tujuan Pendidikan Sejarah di SMA’.

Artinya, kita merdeka mempunyai tafsir atas fakta sejarah. Selain itu, alam reformasi juga mempersilahkan kita menyuarakan pemakanaan kita atas peristiwa yang sudah berlalu. Tidak ada yang salah, yang salah ialah melupakannya dan tak mengambil pelajaran darinya. Semua 'tersangka' sudah diadili dengan semestinya, lewat mahkamah atau tidak, maupun 'dihukumi' jatah usia.

Anak, cucu, dan keturunannya bukanlah pelaku yang juga harus turut dihukum. Anak DN Aidit bukanlah DN Aidit. Anaknya Soeharto bukanlah Soeharto. Tak patut jika kita sebagai bangsa yang bersepakat, baik secara tulus maupun terpaksa, bernaung di bawah Pancasila mempertahankan stereotype negatif. "Bukan Indonesia banget".

Fakta lainnya, 1 Oktober sudah disahkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila kembali dikokohkan dengan pemaknaan "Komunis tak layak menjadi ideologi bangsa Indonesia" karena bertentangan dengannya, khususnya pada Sila Pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan Komunis ialah ideologi dengan pokok keyakinan tidak mengakui eksistensi Tuhan.

Rentetan peristiwa sudah terjadi, semua pemerannya sudah 'diadili’, namun anak-cucu mereka tetaplah anak bangsa yang terikat takdir. Komunis dengan berbagai jenis turunannya harus menerima tak bisa kembali hidup selama Pancasila masih menjadi Hukum dasar negeri ini. Mengubah Pancasila sama dengan mencerabut Bangsa Indonesia beserta akarnya. Tentu itu tidak ada dalam pilihan hidup bangsa dan negeri ini.

Pancasila menaungi semua kalangan dari suku, agama, ras, bahasa daerah yang berbeda-beda. Mengikat dan mempersatukan dengan tanpa harus seragam. Inilah identitas bangsa kita. Sejarah ialah elemen pembangunnya. Dengannya, kita tahu ada di mana, apa langkah selanjutnya, dan hendak melaju sampai mana. Senada dengan yang dikatakan oleh rapper pertama AS, Gill Scott Heron.

"Jika kamu tak tahu dari mana asalmu, kamu tidak akan tahu akan pergi ke mana. Kamu harus pelajari sejarahmu."

Belajar sejarah bukan sekadar bernostalgia apalagi sekadar menghafal tahun kejadian, lokasi kejadian, dan nama pelaku, melainkan menganalisis sebab dan akibat, sebagaimana diungkapkan salah satu sejarawan Bonnie Triyana dan dikutip medcom.id. Sayangnya, sejarah peristiwa 30 S 1965 lebih menonjolkan soal kekejamannya, yang akhirnya menimbulkan efek paranoid. Padahal ada rentetan peristiwa yang akhirnya memuncak pada tanggal tersebut. Ada pemicu atau sebab yang kemudian menjadi akibat.

--

--

Noor Hafidz Priatna
danget_on

Konten bisa jadi merupakan link affiliate ke website yang sedang saya bangun, https://danget.online/