Menyelaraskan Kerja di Rumah dan Menjadi Ayah

Noor Hafidz Priatna
danget_on
Published in
8 min readSep 15, 2020

Sedang fokus kerja, lagi enak karena baru saja menemukan alurnya, eh tiba-tiba anak datang. Dia hendak menunjukkan hasil menggambarnya, "Ayah lihat gambarku, bagus gak?" Apa responmu kala itu?

A. Mengapresiasinya dengan lembut, menatap gambarnya lekat-lekat, lantas sepenuh hati menjawab , B. Merasa terganggu dan emosi, namun me-rem-nya, lantas memberikan respon sekadarnya, C. Merasa terganggu, kemudian membiarkan emosi keluar.

Kalau saya sih, cenderung mau gak marah ya keganggu, mau memuji, namun ya kesal juga karena tiba-tiba alur kerja yang sedang ternikamti itu buyar seketika. Namun, di sisi lain, saya juga tahu sekadar memberikan pujian seperlunya adalah yang terbaik. "Lagi pula, sebentar kok..", kesadaranku melintas.

Saya tahu, kata-kata yang keluar dari mulut saya akan memberikan pengaruh dan bahkan mungkin menorehkan bekas di hati anak saya. Sejenak, hitungan detik, katanya bisa berpengaruh banyak pada masa depan anak. "Namun, pekerjaan pun bagian dalam rangka memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak juga toh?" Kesadaran lainnya melintas.

Kerja di rumah atau work from home atau WFH kini merebak karena tertuntut kebijakan dan kondisi yang belum kunjung terkendali. Bagi para freelancer yang terbiasa bekerja di rumah, bisa jadi bukan perkara sulit karena memang sehari-hari ritme kerjanya begitu. Namun, bagi yang biasa bekerja di kantor, bekerja di rumah artinya, lingkungan kerja yang baru. Masalahnya, rumah itu mindset-nya adalah tempat istirahat, bukan tempat kerja.

Begitu pun dengan anak, dia berpikir hadirnya kita di rumah, berarti libur, berarti bisa pinjam ponselnya untuk nonton YouTube, berarti bisa nonton bersama atau bisa membacakan puluhan cerita favoritnya. Begitulah kenyataanya. Bahkan, saya tetap mengalaminya sampai saat ini. Padahal, sudah hampir dua tahun, saya bekerja di rumah karena memang tertuntut pekerjaan, ditambah memang kebijakan PSBB pemerintah di Kota tempat saya bekerja.

Memang, secara praktis, umumnya peran Ibu tetap dominan dalam tumbuh kembang anak pada usia emas. Namun, riset seputar parenting, kian ke masa kini, kian menunjukkan signifikannya pengaruh peran serta aktif dan positif Ayah terhadap tumbuh kembang anak. Sebaliknya, kehadiran ayah juga bisa bersifat negatif jika salah sikap atau berperan negatif di kesempatan interaksi Ayah dengan anak.

Secara umum, pengaruh peran serta Ayah, lebih pada kualitas ketimbang kuantitas, begitulah yang diungkapkan oleh Marcy Carlson, Sosiolog di Universitas Winconsin. Ayah yang sering bersama anak, namun bersikap buruk atau menyakiti, justru malah memberikan dampak negatif.

"The quantity of interaction doesn’t really benefit kids, but of you have more high-quality, engaged parenting that does seem to be positively related to outcomes for children."

Buku The Role of Father in Child Development menyampaikan poin peran ayah dalam perkembangan anak ialah pada fakta jika keterampilan anak pada aspek emosional, sosial, juga berbagai kebiasaan harian sangat terpengaruh oleh sosok ayah. Selanjutnya, buku tersebut mengutip penelitian tahun 1991 yang menunjukkan, keterlibatan ayah pada usia anak satu bulan akan berpengaruh pada peningkatan level kognitif pada saat anak usia satu tahun.

Bagi bayi yang lahir prematur, kehadiran ayah dengan bermain dan berperan serta dalam pengasuhannya akan meningkatkan level kognitifnya. Penelitian lainnya menunjukkan, bayi usia sembilan bulan yang bermain bersama ayahnya akan meningkat pula kognitifnya.

Penelitian lainnya menunjukkan, jika peran ayah akan meningkatkan kemampuan fisik anak, misalnya dalam hal berenang. Ayah cenderung lebih 'tega' terhadap anak ketimbang Bunda yang cenderung 'overprotective' pada anaknya ketika anak harus masuk ke dalam air. Penelitian lainnya menunjukkan jika peran serta ayah dalam pengasuhan anak akan mempengaruhi kemampuan sosial anak.

Karena itu, penting kita memperhatikan setiap kesempatan yang mempertemukan Ayah dengan anaknya, khususnya pada momen di mana Ayah harus bekerja di rumah. Kita akan coba membahas dua kondisi berbeda. Pertama, kondisi istri full timer Bunda. Kedua, kondisi istri merangkap profesional. Kondisi berikutnya ialah, kondisi anak saat meminta perhatian. Ada kondisi di mana anak tantrum atau bersikap atau bertindak buruk, kondisi anak sampai membahayakan dirinya, dan anak yang baik-baik saja.

Sebelum membahas bagaimana konsep dan tips praktisnya agar lebih baik, mari kita ketik pintu beberapa teman saya dan sedikit berbincang soal bagaimana kondisi mereka dan bagaimana bersikap pada anak kala bekerja di rumah. Yang pertama, teman saya Iqbal Fauzan (29) pegawai salah satu perusahaan di Jakarta, istrinya seorang bergelar dokter yang memilih karir sebagai business woman. Namun, karena kondisi tidak memungkinkan saat ini, istrinya menjadi full timer mother.

Kedua, teman saya Caca Andika (30) pimpinan salah satu NGO berbasis di Kalimantan dan istri seorang fulltimer mother. Ketiga, teman saya Luthfi Husin (30) dosen di Universitas Negeri ternama di Jawa Barat, dengan istri seorang guru.

Iqbal mengaku tak ada kesulitan selama dia work from home karena istri mampu 'mengamankan' anak selama dia harus bekerja. "Saya sih cenderung banyak main malah," katanya diiringi emoticon tawa, "kalau pun bekerja efektifnya paling empat jam, sisanya main," daku Iqbal.

Lain kondisi dengan Caca yang kondisi organisasi yang pimpin mengalami penurunan. Ia mengaku terntuntut untuk bekerja ekstra meski di rumah. "Saya jadi harus mengerjakan banyak hal saat ini karena personel tim banyak berkurang," daku Caca, "saya menyiasati masa kerja di rumah dengan cara 'mengungsikan' anak dan istri ke rumah mertua yang kebetulan rumahnya menempel dengan rumah kami."

Luthfi yang seorang dosen mengaku dirinya melakukan beberapa upaya dalam rangka menyelaraskan kerja di rumah dan perannya sebagai ayah. Ia bekerja sama dengan istrinya yang juga punya kewajiban mengajar. Mulai dari pengaturan waktu yang teratur, memperbanyak mainan produktif, supaya selaras, ia juga memberikan penjelasan pada anaknya jika ayah dan bundanya pada waktu-waktu tertentu harus bekerja.

"Supaya pengaturan waktu sama kegiatan berjalan teratur di rumah, dijelasin aja kalau tiap waktu tertentu ayah bundana lagi kerja. Nanti setelah itu baru kita main atau sekolah dan lain-lain," jelasnya.

Terakhir, Luthfi mengatakan, meski waktu jadi berkurang, namun tetap menyempatkan quality time dengan anak, terutama di akhir pekan.

Saya sendiri, memang mengondisikan anak dan istri. Sejauh ini istri dan anak nampak sudah terbiasa dengan suami dan ayahnya yang selalu ada di rumah namun, bekerja. Di rumah juga terdapat ruangan khusus yang bisa dipakai kerja. Jadi, bisa lebih fokus. Namun, tetap saja, sesekali anak ke ruangan 'kerja' dan saya pun harus ke ruangan utama untuk beberapa keperluan. Saya termasik yang memegang prinsip "Semua perkara bisa selesai jika dikomunikasikan dengan baik".

Di antara semua trik yang saya dan teman-teman jalankan, pastinya berbeda-beda karena kita mempunyai kondisi yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak variabel yang dapat berpengaruh terhadap keefektifan kerja maupun interaksi kita dengan anak. Trik terbaik tentu kita masing-masinglah yang lebih tau mana yang cocok diterapkan.

Sekarang, bagaimana kita menyikapi beberapa kondisi anak yang mungkin kita hadapi? Bagaiamana jika anak kita sampai tantrum, berteriak-teriak, bahkan mungkin sampai membahayakan dirinya? Lantas bagaimana kita bisa memberikan sikap terbaik pada anak kita saat kita sedang fokus kerja, dan anak tiba-tiba mendatangi kita?

Saya pernah mendapatkan insight agar jangan sampai kita berlaku acuh atau mengabaikan anak kita. Sikap tak acuh akan berpengaruh negatif pada tumbuh kembang anak. Namun, benarkah sikap acuh sama sekali buruk?

Sikap acuh bagi sebagian orang barangkali berkorelasi dengan ketidakpedulian. Namun, ketika anak bersikap buruk, tantrum, atau berteriak-teriak, cara terbaik menyikapinya jutru dengan tak acuh. Mengapa? Karena pokok persoalannya ialah anak saat itu sedang meminta perhatian pada kita. Namun, dengan cara yang salah.

Jika Ayah memenuhi keinginan anak pada saat itu, maka anak akan berkesimpulan, "Jika aku menginginkan apapun, aku cukup berteriak-teriak dengan keras, menangis dengan keras, atau memberantakkan rumah". Tentu perilaku tersebut tak baik bagi perkembangan anak di masa depannya. Sikap tak acuh, justru akan menghentikan si anak berperilaku buruk atau mengganggu.

Yang perlu Ayah perhatikan ialah "Apakah anak sampai menyakiti dirinya sendiri?", "Apakah anak menghancurkan barang-barang di sekitarnya?", "Apakah anak sampai membahayakan orang lain?". Jika seperti itu, sudah saatnya ayah bertindak. Sudah saatnya anak diberikan hukuman sewajarnya.

Kemudian, pada saat kondisi anak tidak pada keduanya atau normal? Kondisi bekerja di rumah, rentan dengan 'gangguan' anak. Namun, jangan sampai momen sesaat merusak masa depan anak. Kala anak membutuhkan apresiasi untuk gambar buatannya, alangkah baiknya jika Ayah mampu mengendalikan diri dan meluangkan barang sejenak untuk sepenuh hati memberikan pujian. Tatap matanya, suarakan dari hati Ayah.

Jangan sampai, anak merasa tidak diacuhkan, tidak dipedulikan. Akibatnya, secara akumulatif anak akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain atau bahkan berperilaku agresif. Tentu ayah tak mau kepribadian tersebut terbentuk pada diri anak.

Dengan alasan "Sibuk bekerja untuk kalian (anak)" bukan berarti diperbolehkan untuk tak acuh pada anak. Kala orang tua tak peduli pada anaknya, anak akan tumbuh tanpa kontrol yang baik secara emosional, mudah frustasi, capaian akdemik yang rendah, serta nakal, sebagaimana artikel pada UDaily yang dipublikasikan pada tahun 2005. Gambaran yang sering ditampilkan pada film-film dengan karakter yang berasal dari keluarga yang berantakan.

Pada dasarnya, anak memang menyukai dirinya menjadi pusat perhatian. Pada saat bayi, perasaan ditinggalkan, sendirian, akan diungkapkan dengan tangisan. Tak heran, jika ayah mendengar tangisan, lantas menggendongnya, seketika tangisan anak akan berhenti dan sesaat kemudian akan kembali tersenyum manis.

Selanjutnya, bagaimana agar kita bisa menyelaraskan kerja di rumah dan tetap dapat berperan serta sebagai Ayah yang baik. Langkah praktisnya, Ayah bisa ikuti cara yang dilakukan Luthfi. Dia melakukan empat langkah agar dapat menyelaraskan kerja dan peran Ayah, yang berporos pada dialog dengan anak.

Selain itu, ayah bisa memilih dan mamadupadankan sebelas cara yang saya kutip dari website fastcompany.com.

Pertama, komunikasikan kondisimu pada rekan atau atasanmu. Beritahukan jika kamu "Kerja kok" dan sampaikan pula jika kondisimu juga terkadang akan direcoki oleh anak.

Kedua, kalau memungkinkan, bisa meminta bantuan pada orang terdekat untuk bantu mengasuh anak. Kalau istri ada, tentunya akan sangat memudahkan. Namun, tetap komunikasikan dan dialog dengan baik ya ayah.

Ketiga, buatlah list kegiatan yang bisa dilakukan anak dengan ditinggal. Menonton bisa menjadi salah satunya, tentunya dengan kita pilihkan kanal atau tontonan ya.. Banyak kok aktivitas lain yang bisa menjadi alternatif. Saat ini, ada banyak alternatif games edukasi. Buat anak yang sudah cukup besar atau usia TK, bisa juga distimulus untuk menggambar.

Keempat, atur prioritas kerja kita dan prioritaskan waktu utama dan pertama untuk menuntaskannya lebih dulu. Kalau sudah selesai, kita bisa selingi dengan mengecek kondisi anak dan bahkan bermain dengannya.

Kelima, dialog dengan anak. Anak sejatinya 'makhluk' yang amat cerdas. Mereka sejatinya bisa mengerti kok dengan apa yang kita sampaikan. Cobalah, dan Ayah akan temukan betapa pengertiannya mereka.

Keenam, berikan hadiah jika berkelakuan baik. Memberi hadiah yang sederhana berupa pujian, "Ih, Kaka makasi ya sudah bantu Ayah kerja hari ini," atau "Makasih ya udah baik banget hari ini," silahkan ayah reka sendiri kalimatnya sesuai selera ya.

Ketujuh, maksimalkan waktu istirahat untuk membersamai anak. Menatap anak dengan senyumnya atau wajah polosnya adalah obat penat yang sangat efektif. Sewajarnya, kita memberikan perhatian yang memadai padanya dengan mengajaknya bermain di akhir pekan atau memaksimalkan momen makan malam bersama.

Kedelapan, siapkan plan "B". Siapkan mental jika ternyata aktivitas yang kita sodorkan tak disukai anak atau bosan, kemudian siapkan aktivitas lainnya. Bisa juga kita tentukan aktivitas default bagi anak sebagai 'pelarian' namun jangan satu.

Kesembilan, beri keleluasaan pada anak bermain gadget. Namun, sertakan dengan penjelasan jika saat ini ialah kondisi yang spesial.

Kesepuluh, berkreasilah.

Sebenarnya memang ada sebelas poin namun, salah satu poinnya menurut saya mirip dengan poin ketiga. Jadi, saya cukupkan sepuluh saja.

Terakhir, marilah kita nikmati berbagai dimensi peran dalam hidup kita. Masa pandemi merupakan kesempatan kita bisa keluar dari rutinitas yang 'normal’. Tentu kita semua berharap pandemi bisa berakhir dan aktivitas kembali lebih leluasa di berbagai ruang kreasi.

--

--

Noor Hafidz Priatna
danget_on

Konten bisa jadi merupakan link affiliate ke website yang sedang saya bangun, https://danget.online/