Merasakan Hangat Mentari Sebelum Terbitnya

Pulang kerja, terbayang sambutan berupa senyum hangat dengan tangan terbuka, namun, wajah yang kita harapkan seterbukanya pintu malah terpaut pada ponselnya

Noor Hafidz Priatna
danget_on
2 min readNov 11, 2020

--

Sepulang kerja, Anda mengucap salam, lantas membuka pintu. Ayah mencari wajah itu, namun tak Ayah temukan. Ternyata wajah yang Ayah cari sedang terpaku pada layar ponselnya, entah apa yang begitu kuat membuatnya terpaku tak membukakan pintu, hanya jawaban salam, itupun samar terdengar.

Diri ayah merespon kurang senang perilaku itu. Dalam hati terbisik, "Bagaimana sih, seharusnya istri tuh menyambut suaminya kala pulang kerja. Aku telah seharian bekerja dan sangat lelah, eh dia malah asyik dengan ponselnya."

Ayah tentu kesal. Bagaimana tidak. Terbayang hangatnya pelukan, manisnya senyuman. Seharian itu, Ayah buat ratusan keputusan, memakan kekesalan pada atasan yang tak kunjung memahami maksud, memendam amarah pada rekan yang tak membela, juga kemacetan lalu lintas yang tak kunjung reda dari hari ke hari.

Namun, Ayah tak dapati itu. Malah mendapati wajah yang tak peduli. Terlihat malah lebih peduli apa yang sedang ia tatap. Ayah mencoba mencari-cari ke dalam memori, siapa tau menemukan penjelasan. Sampai Ayah menyimpan tas dan membuka kemeja pun, masih tak ketemu.

Kalau Anda ada di posisi itu, apa yang hendak Anda lakukan?

Dari berbagai informasi yang melintas dalam pikiran, bisa jadi sebenarnya ada di antaranya yang dapat menjawab. Namun, Ayah kadung kesal. Ditambah dengan kelelahan mental yang mendera. Ayah coba menahan diri, lantas mengambil nafas. Memutuskan menangkap beberapa lintasan informasi dan coba mengonfirmasinya pada Istri.

Ayah duduk di samping bunda, menangkup kedua bahunya dengan sedikit pijatan lembut, seraya bertanya, "Bunda lelah ya?" ... (Sejenak hening). Tebak apa yang akan terjadi berikutnya. Bayangkan saja, saat itu, Bunda menjawab seraya terisak, memeluk ayah.

Setelah tangisnya mereda, diiringi sesenggukan, Bunda mulai bercerita. Melompat dari satu kisah ke kisah lainnya. Perlahan badai itu mereda, semburat merah di pipi mengiringinya, dengan senyum merekah. Malam itu, meski musim hujan, hangat menjalari layaknya matahari pukul delapan pagi.

Ayah tak perlu merasa bersalah kala tak mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Bunda. Bukankah perempuan adalah sejuta misteri yang riset pun menyerah mengungkapnya hingga menghasilkan ribuan kertas kosong?

Rem sejenak, seraya berdzikir, agar diberi ketenangan. Akhiri ketakmengertian Ayah dengan bertanya. Hasilnya.. Silahkan nikmati malam itu, kan datang padamu, hangatnya mentari sebelum terbitnya.

Badai tak mesti mengkaramkan bahtera, justru menguatkan rasa para penumpangnya.

--

--

Noor Hafidz Priatna
danget_on

Konten bisa jadi merupakan link affiliate ke website yang sedang saya bangun, https://danget.online/