Bumi : Rumah yang Terus Kita Rusak

Apa penyebabnya dan bagaimana solusinya?

Tatag Suryo Pambudi
LindungiHutan
6 min readAug 6, 2020

--

Bumi, Satu-satunya Planet yang Dihuni oleh Manusia https://www.pexels.com/photo/astronomy-atmosphere-earth-exploration-220201/

Bumi merupakan satu-satunya planet yang ditinggali oleh manusia. Air, oksigen, atmosfer, yang dimiliki oleh bumi, menjadi penyebab dari mengapa hanya bumi yang bisa menjadi rumah bagi milyaran umat manusia.

Sejak awal peradaban hingga detik ini, manusia selalu hidup dari apa yang dihasilkan oleh bumi. Makanan, pakaian, rumah, hingga kebutuhan sekunder dan tersier selalu dipenuhi dari proses pengolahan sumber daya alam.

Bahkan salah satu penyebab manusia dapat hidup, yaitu bernafas, dapat terjadi karena adanya oksigen yang dimiliki oleh bumi. Sehingga tak heran jika manusia sangat menggantungnkan hidupnya pada bumi, tempat mereka berpijak.

Manusia yang Terus Merusak Rumahnya

Meskipun sangat bergantung pada alam, manusia rupanya menjadi penyebab utama dari rusaknya alam. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia, akan selalu memberikan dampak bagi lingkungan.

Sebagai contoh adalah penggunaan produk berbahan dasar plastik. Plastik merupakan produk yang sulit terurai jika sudah dibuang di alam. Namun karena tuntutan kebutuhan hidup, manusia masih tetap mempertahakankan plastik untuk digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Mulai dari kemasan makanan dan minuman, tas belanja, hingga perabot rumah tangga, banyak yang menggunakan plastik sebagai bahan baku pembuatannya.

Hal tersebut dapat memicu adanya tumpukan sampah plastik di alam. Ditambah lagi, maraknya brand yang menggunakan kemasan plastik sekali pakai, sebagai kemasan produk yang diproduksinya, semakin memperparah masalah tumpukan sampah yang sulit terurai tersebut.

Penggunaan bahan bakar minyak (BBM), sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, menjadi contoh lain kegiatan manusia yang dapat merusak lingkungan.

Karbon yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil tersebut menjadi pemicu terjadinya pemanasan global. Meskipun banyak negara telah menjadikan pemanasan global sebagai fokus isu yang harus diselesaikan, namun tetap saja bahan bakar fosil masih menjadi andalan untuk terus digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.

Ditambah lagi, banyaknya orang yang lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi, sebagai alat transportasi, semakin memperparah terjadinya pemanasan global.

Tak bisa dipungkiri, plastik dan bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Minimnya pilihan barang yang terdapat di pasaran membuat orang cenderung tidak punya pilihan lain.

Sebagai contoh jika kita pergi ke minimarket untuk membeli makanan ringan, sebagian besar produk dijual dengan menggunakan kemasan plastik. Hal tersebut membuat kita terpaksa harus “membeli” plastik kepada produk tersebut.

Contoh lain jika kita membeli sepeda motor, bahan bakar yang diperlukan supaya motor dapat menyala sebagian besar adalah bahan bakar minyak (BBM).

Hal tersebut membuat kita terpaksa harus membeli BBM dan turut menyumbang emisi karbon di atmosfer. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa plastik dan bahan bakar minyak (BBM) tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia, khususnya orang Indonesia. Kita akan terus membelinya dan perusahaan yang bersangkutan akan terus memproduksinya.

Memang, kita bisa memilih untuk tidak membeli kedua jenis produk tersebut. Dampaknya adalah permintaan pasar menjadi menurun dan kedua produk tersebut menjadi berkurang keberadaannya di pasaran.

Namun jika kita mau berpikir, apakah kita sudah mampu mengubah kebiasaan tersebut? Untuk bisa memanfaatkannya dengan bijaksana pun kita masih belum bisa. Sampah plastik yang kita hasilkan masih banyak yang belum dikelola dengan baik.

Banyak yang masih kita campur dengan sampah lain, sehingga susah untuk dimanfaatkan kembali. Bahkan banyak sampah plastik yang justru dibuang di sungai, tempat yang tidak semestinya untuk membuang sampah.

Tumpukan Sampah di Sungai, Bukti Manusia Tidak Dapat Merawat Rumahnya https://www.pexels.com/photo/body-of-water-2480797/

Perusahaan pun tidak bisa kita salahkan. Mereka menyediakan plastik dan BBM karena masih banyak orang yang membutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari, banyak mahasiswa yang lebih memilih membeli air mineral berukuran 1,5 liter, berbotol plastik, yang habis tidak lebih dari satu hari, dan memberikan sumbangan sampah plastik bagi lingkungan, dibandingkan dengan membeli galon, yang bisa diisi ulang dan digunakan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Untuk pergi ke warung yang letaknya tidak sampai 500 meter saja kita lebih memilih menggunakan sepeda motor. Sehingga, tak heran jika permintaan akan plastik dan BBM tetap tinggi dan perusahaan tetap memproduksinya.

Dari ilustrasi di atas, apa sebenarnya yang membuat masyarakat masih kurang memiliki kepedulian terhadap lingkungan? Apa yang membuat masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhan sesaat dibandingkan dengan kebutuhan di masa mendatang?

Dan mengapa manusia terus merusak rumah yang telah memberikan penghidupan sejak awal peradaban manusia hingga detik ini?

Masyarakat yang Tidak Peduli Lingkungan

Ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, khususnya masyarakat Indonesia, merupakan sumber dari permasalahan kerusakan lingkungan yang ada.

Ilustrasi mengenai plastik dan BBM yang dijelaskan sebelumnya merupakan satu dari sekian banyak bentuk ketidakpedulian yang nyata terdapat di masyarakat. Masih banyak perbuatan lain yang juga dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2017, nilai dari Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) di Indonesia mencapai angka 0,51 dari skala 0 sampai 1.

Bidang sampah menduduki peringkat pertama dengan nilai 0,72. Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan masih tergolong rendah. Namun apa sebenarnya yang menjadi penyebab dari rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan?

Efisiensi sepertinya menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak peduli terhadap lingkungan. Perbuatan-perbuatan ramah lingkungan banyak yang tidak lebih praktis dibandingkan dengan perbuatan yang merusak lingkungan.

Jika dihadapkan pada pilihan antara berjalan kaki atau naik sepeda motor, orang akan lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk pergi ke warung, yang lokasinya hanya 500 meter dari rumah.

Orang-orang juga lebih memilih menggunakan kantong plastik sebagai media untuk membawa barang belanjaan, dibandingkan dengan menggunakan totebag, yang harus dibawa dan dipersiapkan dari rumah. Kebiasaan tersebut merupakan dampak dari tingginya tuntutan masyarakat akan kebutuhan hidup.

Peribahasa “waktu adalah uang” cukup relevan terhadap kondisi masyarakat di masa sekarang. Segala hal yang menyita waktu dirasa kurang menguntungkan, tidak memberikan manfaat secara ekonomi, dan bukan merupakan pilihan untuk dilakukan.

Sehingga banyak orang yang lebih memilih praktis meskipun merusak lingkungan, dibandingkan dengan sedikit repot namun lebih ramah lingkungan.

Kurangnya pendidikan lingkungan sedari kecil bisa menjadi penyebab lain kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Usia dini merupakan masa dimana manusia menyerap nilai-nilai yang ada di lingkungan sekitarnya.

Perbuatan baik yang dibiasakan sejak dini kepada anak akan sangat mempengaruhi perbuatannya di masa yang akan datang. Hal tersebut yang membuat banyak orang tua memberikan pelajaran moral, agama, dan budi pekerti kepada anak sejak masih kecil.

Namun sayangnya, pendidikan lingkungan masih kurang menjadi prioritas bagi orang tua untuk diajarkan kepada anak sejak dini. Akibatnya, tidak banyak anak yang tumbuh menjadi orang dengan kebiasaan yang ramah terhadap lingkungan. Sebagai contoh adalah ketika membeli makanan.

Ketika anak melihat ada penjual makanan yang berhenti di depan rumah, orang tua hanya cenderung memperingatkan untuk tidak membeli makanan yang dapat menimbulkan penyakit. Orang tua hanya lebih menekankan supaya anak tidak membeli es, makanan yang pedas, atau makanan yang banyak menggunakan penyedap rasa.

Jarang terdapat orang tua yang memperingatkan supaya tidak menggunakan plastik, tetapi menggunakan tempat makan yang terdapat di rumah. Alhasil, membawa tempat makan sendiri ketika membeli makan bukan menjadi kebiasaan bagi sang anak yang dibawa hingga dewasa.

Bagaimana Solusinya?

Kepedulian terhadap lingkungan merupakan kebiasaan yang bisa ditularkan. Layaknya virus, kebiasaan cinta terhadap lingkungan perlu diawali oleh satu orang yang dapat menjadi carrier dan menularkan virus cinta lingkungan.

Satu orang tersebut dapat berupa siapa saja. Setiap orang memiliki sosok yang dikagumi, sehingga pengaruh untuk peduli terhadap lingkungan dapat berasal dari orang yang berbeda-beda.

Sebagai contoh adalah anak kecil. Bagi anak kecil, orang tua merupakan sosok yang paling bisa memberikan pengaruh. Layaknya nilai moral yang ditanam sejak kecil, nilai lingkungan juga dapat ditanamkan terhadap anak sejak usia dini.

Berbeda dengan anak kecil, orang dewasa mendapatkan pengaruh dari orang yang lebih beragam. Latar belakang sosial, kultural, dan agama bisa menjadi pedoman di dalam menentukan pendekatan yang paling sesuai untuk memberikan pengaruh cinta lingkungan.

Kebiasaan peduli lingkungan bukanlah hasil dari suatu proses yang singkat. Diperlukan konsistensi dalam waktu yang lama untuk menjadikan peduli lingkungan menjadi kebiasaan bagi banyak orang. Tidak usah menunggu dan menyalahkan orang lain, setiap orang memiliki kewajiban untuk melindungi bumi, tempat kita tinggal. Tidak usah menunggu siapa orang pertama yang menularkan virus peduli lingkungan. Tetapi mulailah dari diri sendiri.

Penulis : Tatag Suryo Pambudi

LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Yuk pelihara lingkunganmu dengan ikut menyuarakan kampanye alam yang ada di sekitar lingkunganmu dengan klik tautan berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam!

Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!

Referensi Tulisan :

Badan Pusat Statistik . 2018. Laporan Indeks Ketidakpedulian Lingkungan Hidup 2018. Jakarta : Badan Pusat Statistik

--

--