Food, Us, and Our Planet: Perhatikan Hidanganmu untuk Mereduksi Sampah Makanan

Cici
LindungiHutan
Published in
6 min readMay 3, 2021
Photo by Avinash Kumar on Unsplash

Masih ingat perkataan orang tua yang satu ini, “Kalau makan nasinya dihabiskan, kalau tidak dihabiskan nanti nasinya menangis”.

Perkataan tersebut, terdengar tidak masuk akal, tetapi mengandung makna yang mendalam. Bisa diartikan, bukan nasinya yang menangis, melainkan orang-orang di luar sana yang menangis karena kelaparan. Sedangkan kita, tidak jarang membuat nasi yang kita makan “menangis”.

Terlepas nasi yang kita makan menangis atau tidak. Apa kamu pernah mendengar sampah makanan?

Menurut Food and Agriculture Organisation (FAO), sampah makanan adalah makanan yang hilang, yang ditunjukkan oleh adanya penurunan berat atau penurunan kualitas makanan, yang terjadi pada setiap mata rantai pasokan makanan.

Rantai pasokan makanan terdiri atas rantai produksi bahan pangan, kegiatan pasca panen, penyimpanan, pemrosesan dan konsumen akhir. Makanan yang hilang pada mata rantai produksi bahan pangan, kegiatan pasca panen, penyimpanan, dan pemrosesan disebut food loss. Makanan yang hilang pada mata rantai akhir pasokan makanan, yakni konsumen akhir, disebut food waste.

Dikutip dari databoks.katadata.co.id pada tahun 2017 komposisi sampah di Indonesia, yang terbanyak adalah sampah organik sebesar 60% , disusul dengan sampah plastik sebesar 14%, sampah kertas sebesar 9%, dan sisanya sampah karet, kain, logam, kaca, dan sampah lainnya.

Data menunjukan pada tahun 2014, sebanyak 1,3 juta ton sampah makanan menjadi penyumbang sampah jenis makanan di seluruh dunia setiap tahun. Indonesia sendiri menyumbang sebanyak 21 juta ton sebagaimana dilansir dari akun Facebook Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO Indonesia), World Day Indonesia.

Berdasarkan Food Sustainability Index 2018, dari Economist Intelligence Unit, dalam kategori middle income countries, Indonesia peringkat 53 dari 67 negara kategori pengelolaan makanan secara berkelanjutan. Hal ini berarti, banyak makanan terbuang sia-sia. Kebijakan dan pengelolaan makanan berlebih di Indonesia belum menggambarkan setidaknya perubahan kecil menuju ramah lingkungan.

Berbanding terbalik dengan fenomena krisis gizi buruk yang dialami oleh 1.352 balita di wilayah Jawa Tengah. Sementara itu, sebanyak 13 juta ton sampah makanan per tahun di Indonesia apabila dikelola dengan baik dapat menghidupi lebih dari 28 juta orang, angka tersebut hampir sama dengan jumlah penduduk miskin atau sekitar 11% dari populasi Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2015.

World Health Organisation (WHO) menuturkan bahwa permasalahan gizi dapat ditunjukkan melalui besarnya angka kejadian pada tahun 2010, 1 dari 5 balita di negara berkembang diperkirakan mengalami gizi kurang yang menunjukkan kesehatan masyarakat Indonesia terendah di ASEAN dan menduduki peringkat 142 dari 170 negara. Angka kejadian kurang gizi sebesar 28%. Pada tahun 2013, sekitar 17% atau 98 juta anak dibawah usia lima tahun di negara berkembang kekurangan berat badan (berat badan usia sesuai dengan standar pertumbuhan anak WHO).

Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya sampah makanan yaitu buah dan sayur yang cacat, berubah warna, atau berukuran aneh sehingga tidak memenuhi standar pasar, sayur dan buah rusak selama proses perjalanan/pengiriman, potongan dan makanan yang sudah melewati tanggal kadaluarsa, serta makanan gosong, dan tidak termakan yang akhirnya dibuang ke tempat sampah.

Buah dan sayur yang cacat dapat ditangani dengan memproduksinya menjadi bumbu. Seperti yang dilakukan oleh pendiri Rubies in the Rubble, Jenny. Ia mengelola sayur dan buah yang cacat dan tidak diterima di pasar menjadi saos tomat, mayo dan kecap.

Efek negatif sampah makanan

Food loss dan waste merupakan isu global yang krusial karena memiliki dampak buruk, yakni:

1. Terkait dengan alasan estetika, lingkungan, dan ekonomi manajemennya sulit karena visibilitasnya yang rendah;

2. Produksi makanan yang ujungnya menjadi sampah, menggunakan 25% dari seluruh air bersih yang tersedia atau setara telah menghabiskan 600 kubik kilometer air, akibatnya 1.1 juta orang di dunia tidak memiliki akses air minum;

3. Sampah makanan yang berada di tempat sampah akan menimbulkan gas metan yang berdampak terhadap timbulnya efek rumah kaca.

Food waste negeri kita

Amerika Serikat telah mengkampanyekan food recovery hierarchy kepada masyarakatnya. Singapura melakukan pilot project daur ulang sampah makanan menjadi bahan kompos dan pembangkit energi pada tahun 2010. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Permasalahan sampah makanan ini merupakan masalah nasional yang tidak dapat dihindari, sehingga diperlukan upaya dari hulu ke hilir untuk menanggulanginya. Sebagai upaya untuk menanggulanginya diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.

Hingga saat ini, pemerintah indonesia belum juga memberikan upaya-upaya yang signifikan, dan belum ada progres yang terlihat dan dirasakan oleh masyarakat. Bentuk kepastian hukum yang belum terlaksana serta keajegan kondisi terkait masalah lingkungan yang satu ini.

Organisasi lokal dan internasional mendesak Indonesia untuk mengurangi food loss dan waste untuk memastikan ketersediaan pangan dan mencegah degradasi lingkungan. Direktur global World Resources Institute (WRI), Craig Hanson, berpendapat bahwa ini lah saatnya untuk benar-benar menanggulangi food loss dan waste secara serius. Kehilangan makanan sama dengan kehilangan nutrisi dan lingkungan.

Indonesia masih mengalami masalah sosial terkait kekurangan nutrisi bagi wanita hamil dan bayi stunting. Sehingga ketersediaan nutrisi sangat penting di Indonesia. Basic Health Survey tahun 2018, menunjukkan satu dari tiga balita mengalami stunting dan hampir separuh ibu hamil mengalami anemia akibat defisiensi mikronutrien.

Peran yang perlu kita ambil dalam penanganan sisa makanan

Sebagai masyarakat yang merupakan salah satu faktor utama penyebab isu sampah makanan, banyak hal-hal kecil dan besar yang bisa dilakukan untuk mereduksi jumlah sampah makanan, diantaranya:

- Memasak sendiri dan membawa bekal saat sekolah atau kerja, supaya bisa menyesuaikan selera makan keluarga atau diri sendiri. Sehingga kemungkinan kecil membuang makanan karena makanan yang dibeli tidak sesuai selera;

- Jangan serakah, makan sedikit-sedikit. Lebih baik menambah daripada menyisakan makanan yang akhirnya dibuang;

- Menyetok bahan makanan secukupnya, perhatikan tanggal kadaluarsa sehingga tidak perlu membuang sayur atau buah yang busuk;

- Membuat rencana atau daftar makanan yang ingin dimakan beberapa hari kedepan, jadi bahan-bahan yang dibeli bisa diukur dan disesuaikan kebutuhan saja;

- Jika kamu hidup sendirian, memasak dengan porsi satu kali makan. Dikhawatirkan memilih membeli makan dari luar, sehingga makanan yang sudah dimasak tidak termakan.

- Memberikan makanan yang masih layak dimakan kepada yang membutuhkan atau misalnya stok bahan makanan di rumah masih banyak dan nampaknya tidak dapat dikonsumsi lagi dalam waktu yang singkat, kamu bisa memasaknya dan memberikan kepada orang yang membutuhkan juga;

- Memberikan sisa makanan ke hewan peliharaan, atau hewan liar yang sekiranya mau memangsa sampah makanan;

- Mengonsumsi sayur atau buah dengan kulitnya. Kulit sayur dan buah lebih banyak mengandung nutrisi dan serat yang dapat memberikan rasa kenyang yang lama karena kandungan seratnya. Meskipun tidak semua kulit sayur dan buah bisa dimakan seperti, nanas, pisang, buah naga, dan lain-lain;

- Memanfaatkan sisa makanan menjadi eco enzyme. Cairan Eco Enzyme bisa digunakan sebagai pembersih lantai, hand sanitizer, pestisida alami, anti bakteri, jamur dan virus,dan masih banyak lagi manfaat lainnya. Sisa makanan yang digunakan adalah sisa-sisa sayur atau buah yang belum diolah menjadi makanan (direbus, ditumis,digoreng) dan busuk, berjamur, atau berulat;

Bagaimanapun pemerintah adalah ujung tombak dalam penanganan masalah ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah:

- Pemerintah pusat dan daerah membentuk program khusus untuk penanggulangan masalah sampah makanan, misalnya dengan sebuah gerakan memanfaatkan sampah makanan untuk pupuk kompos dan menjadikan sampah makanan untuk makanan unggas. Hal ini juga termasuk kedalam upaya pemberdayaan masyarakat;

- Sosialisasi dan memberikan solusi kepada masyarakat mengenai penanggulangan masalah sampah makanan untuk meningkatkan kesadartahuan;

- Penetapan kebijakan mengenai pengelolaan limbah sampah makanan;

- Memfasilitasi dan mengembangkan kerja sama antardaerah, kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah makanan

- Melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap usaha pengelola sampah makanan;

- Penanganan sampah di di TPA secara konsisten; dan

- Penerbitan izin pengelolaan pendaur ulangan sampah makanan.

Sebuah koalisi eksklusif yang disebut “Champions 12.3” yang telah meminta negara-negara untuk mengintegrasikan food loss dan waste kedalam strategi iklim, dengan menggunakan pendekatan “Target-Measure-Act” sebagaimana pendekatan untuk menangani pandemi Covid-19 yang dikutip dalam makalah Champions 12.3 yang diterbitkan 24 September 2020.

Diharapkan Pemerintah Indonesia memberikan perhatian lebih terkait masalah ini, dunia sudah memberi peringatan beserta solusi yang bisa diterapkan. Dunia, khususnya Indonesia tidak mempunyai banyak waktu dan makanan lebih banyak lagi untuk dibuang-buang.

--

--