Hari Konservasi Alam Nasional : Pengingat bagi Bumi yang Kian Rusak

Tatag Suryo Pambudi
LindungiHutan
Published in
4 min readJan 12, 2021
Hutan dan Alam, Aset yang Harus Dipertahankan (Sumber : https://www.pexels.com/photo/cascade-creek-environment-fern-460621/)

Tahukah kalian mengenai Hari Konservasi Alam Nasional? Ya, sejak tahun 2009, pemerintah menetapkan tanggal 10 Agustus, sebagai Hari Konservasi Alam Nasional. Penetapan ini berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2009. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga untuk mengedukasi masyarakat untuk bisa berperan aktif dalam kegiatan pelestarian lingkungan.

Konservasi dan pelestarian alam memang menjadi perhatian banyak orang belakangan ini. Mulai dari masyarakat, hingga pemerintah, saling berupaya untuk bisa melestarikan alam. Namun, apa yang sebenarnya membuat konservasi menjadi penting? Mengapa banyak sekolah dan universitas yang mulai mengenalkan pendidikan konservasi kepada siswa dan mahasiswanya? Dan mengapa Hari Konservasi Alam Nasional perlu diperingati sebagai hari besar?

Munculnya Gerakan Konservasi

Sebelum kita membahas mengenai konservasi, akan lebih baik jika kita mencari tahu terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konservasi. Jika kita mengadopsi pengertian konservasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita akan menemui pengertian konservasi sebagai upaya pemeliharaan dan perlindungan suatu hal untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan, pengawetan, dan pelestarian. Jika kita membahas mengenai konservasi alam, maka yang diawetkan, dilestarikan, dan dicegah kemusnahannya adalah alam. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa alam perlu dicegah kemusnahannya? Apakah alam memang sudah mulai musnah?

Jawabannya adalah, iya. Semua bentuk pelestarian alam selalu berawal dari kerusakan yang mulai ditimbulkan. Sekitar lima ribu tahun lalu, masyarakat peradaban Indus di Mohenjo Darro mulai membuat pengelolaan limbah dan sanitasi, karena merasakan dampak polusi yang ditimbulkan akibat apa yang telah mereka buang di alam. Masyarakat di Cina, India, dan Peru mulai menerapkan sistem teras, rotasi tanaman, dan daur ulang nutrisi, karena merasakan dampak yang ditimbulkan akibat erosi. Dampak erosi yang diakibatkan oleh penggundulan hutan lah yang juga membuat Plato, filsuf Yunani, mulai membuat pemikirannya tentang hubungan antara manusia dengan alam. Semua berawal dari sebab yang sama, kerusakan alam, dan berakhir dengan hasil yang sama, upaya pencegahan supaya alam tidak kian rusak.

Upaya konservasi dan pelestarian alam tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga di masa sekarang. Di dalam bukunya yang berjudul Konservasi Biodiversitas : Teori dan Praktik di Indonesia, Jatna Supriatna menjelaskan bahwa pemikiran konservasi modern muncul sebagai upaya untuk melindungi situs-situs alam dari penggunaan yang bersifat komersial. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mencoba untuk melindungi situs-situs alam yang penting, dengan menetapkan Yellowstone sebagai taman nasional pertama di dunia. Theodore Roosevelt, Gifford Pinchot, John Muir, dan Aldo Leopold merupakan tokoh-tokoh awal yang mencoba menerapkan etika pelestarian di dalam mengelola hutan. Hal tersebut tidak dilaksanakan tanpa sebab. Etika pelestarian muncul sebagai bentuk perbaikan terhadap alam yang kian rusak. Pada saat itu, hutan banyak dieksploitasi karena hanya dipandang secara ekonomis. Akibatnya, alam mulai rusak, dan muncullah upaya untuk menyelamatkannya.

Tidak hanya di luar negeri, hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh Belanda, pada masa penjajahan, menjadi cikal bakal munculnya gerakan konservasi di Indonesia. Mereka adalah M.C. Piepers, P.J. Van Houten, dan S.H. Koorders, yang menjadi penentang terhadap kegiatan eksploitasi berlebih yang dilakukan oleh negaranya sendiri. Kepedulian mereka terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, ditambah dengan mulai terancamnya beberapa jenis flora dan fauna, membuat mereka membentuk organisasi yang bernama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda. Organisasi ini banyak berkecimpung di dalam dunia pelestarian alam. Selain mendirikan organisasi, perjuangan para naturalis Belanda juga berhasil membuat Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa peraturan yang terkait dengan konservasi, mulai dari Undang-Undang bagi Mamalia Liar dan Burung Liar, Peraturan tentang Monumen Alam, hingga Peraturan Perburuan Jawa-Madura.

Kerusakan Alam, Penyebab Munculnya Gerakan Konservasi (Sumber : https://unsplash.com/photos/MWzWYV2jCfM)

Hari Konservasi sebagai Pengingat Merawat Bumi

Di masa sekarang, isu konservasi mulai melebar dan menjadi fokus isu di hampir setiap negara di dunia. Perhatian akan konservasi pun melebar, yang awalnya hanya seputar hutan dan sumber dayanya, berkembang menjadi lingkungan hidup. Hari-hari besar pun mulai diperingati setiap tahunnya. Pada skala internasional, dikenal hari-hari besar seperti Hari Lahan Basah, Hari Strategi Konservasi, Hari Kehutanan, Hari Hutan, Hari Air, Hari Lingkungan Hidup, Hari Ozon, hingga Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan. Di skala nasional pun juga banyak hari konservasi yang ditetapkan, mulai dari Hari Peduli Sampah, Hari Bumi, Hari Keanekaragaman Hayati, Hari Cinta Puspa dan Satwa, hingga Hari Konservasi Alam Nasional, yang baru saja diperingati beberapa hari lalu.

Seperti kata pepatah “Tak akan ada asap jika tidak ada api”, penetapan hari-hari besar konservasi pun juga tidak akan dilakukan jika alam masih baik-baik saja. Penetapan beberapa hari konservasi merupakan pengingat bagi kita bahwa bumi, rumah yang selama ini kita tinggali, sedang berada dalam proses menuju kerusakan. Jika kita tidak memulai untuk memperbaikinya, maka akan semakin banyak hari-hari lainnya yang harus diperingati. Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional, yang baru saja berlangsung 10 Agustus lalu, hendaknya menjadi pengingat bagi kita bahwa alam perlu dipertahankan keberadaannya, untuk menjaga kehidupan yang lebih baik di tahun tahun yang akan datang.

Referensi

Supriatna, Jatna. 2018. Konservasi Biodiversitas : Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Social Media

Instagram : https://instagram.com/tatagsuryo

Medium : https://medium.com/@tatagsuryo

--

--