KARBON BIRU

APA DAN MENGAPA INDONESIA PERLU?

Jefri Laksana Putra
LindungiHutan
4 min readJan 12, 2021

--

Seiring dengan semakin nyatanya dampak dari perubahan iklim akibat peningkatan kas rumah kaca (GRK) berbagai organisasi internasional dengan kerja sama antar negara-negara dunia telah memunculkan banyak kebijakan solutif sebagai upaya mitigasi. Berlangsung di Madrid, konvensi perubahan iklim (UNFCCC-COP25) mengangkat tema blue carbon atau karbon biru sebagai bentuk alternatif baru pengurangan emisi GRK. Istilah karbon biru merujuk pada potensi dan daya penyerapan karbon dan GRK lainnya oleh ekosistem pesisir maupun laut dan disebut biru karena prosesnya berlangsung di alam perairan. Dalam konteks ini, proyek karbon biru juga mencakup lahan basah pasang surut, seperti hutan pasang surut, mangrove, semak pasang surut dan padang lamun, di dalam tanah, biomassa hidup dan biomassa mati dalam perairan yang disebut kolam karbon. Hutan mangrove merupakan ekosistem kaya karbon yang mampu menyimpan tiga kali lebih banyak karbon per hektar dibanding hutan terestrial.

Sumber: WRI Indonesia

Proyek karbon biru merupakan solusi pengurangan emisi yang dirasa lebih mengutamakan aspek kelestarian ekosistem. Secara alami, hutan baik tropis maupun mangrove menjadi penangkap dan penyimpan alami dari GRK yang mana telah menyumbang 37% dari total upaya mitigasi perubahan iklim. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa alam memiliki perannya sendiri dalam pengurangan emisi. Namun, keberadaan ekosistem karbon biru, yang diperkirakan mampu menangkap 55% dari seluruh karbon yang dikeluarkan, belum secara signifikan diakui oleh beberapa negara di dunia sebagai sebuah solutif yang efektif.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 80% lautan merupakan salah satu potensi terbesar bagi ekosistem karbon biru di dunia. Dengan fakta ini, tentu diharapkan Indonesia memiliki peranan penting dalam implementasi karbon biru. Dari beberapa sumber karbon biru di Indonesia, mangrove menjadi pilihan terbaik yang mampu menyerap karbon lebih banyak. Dengan demikian, sudah tentu kelestarian ekosistem mangrove harus dijaga sebagai solusi mitigasi alami.

Hutan Mangrove Pesisir
Sumber: The Nature Conservancy

Dampak lain yang dapat dirasakan dengan penerapan karbon biru yang baik adalah manfaat ekonomis terutama bagi masyarakat pesisir. Kelestarian yang baik dari ekosistem karbon biru pada lahan pesisir akan mencegah erosi dan ancaman kerusakan rumah penduduk oleh badai, serta menyediakan habitat alami bagi komoditas perairan dengan nilai komersial. Selain itu, hal tersebut juga dapat berpotensi meningkatkan aspek pariwisata atau bahkan lahan untuk proyek penelitian sehingga dapat berperan dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, di Muara Angke, yang menjadi salah satu ekowisata mangrove di Indonesia yang terletak di Jakarta, berhasil meraih pendapatan sebesar Rp31,7 juta/ha/tahun atau total Rp3 miliar per tahun. Demikian adalah dampak positif bila proyek ini dijalankan dengan baik, akan tetapi, bila kelestarian mangrove dan pesisir tidak dijaga dengan baik, maka tentu akan mengakibatkan dampak sebaliknya bagi ekosistem maupun masyarakat.

Adanya kenaikan permukaan laut sebagai akibat pemanasan global akan mempengaruhi kehidupan masyarakat pesisir. Indonesia sendiri memiliki sekitar 65% populasi yang hidup di 50 Km dari pantai. Hal ini membuat penduduk pesisir Indonesia rentan terkena dampak kenaikan muka air laut. Potensi ini tentu mendorong untuk pelestarian ekosistem pesisir lebih baik lagi. Namun, ekosistem pesisir sebagai tempat masyarakat berlindung dan mencari nafkah ini justru terkikis dengan masifnya. Selain tercatat sebagai penghasil emisi terbesarnya dari hutan dan lahan, saat ini Indonesia juga menjadi sebagai negara yang mengalami laju degradasi ekosistem mangrove tercepat di dunia.

Fakta terkini, dari 151 negara dengan setidaknya satu ekosistem karbon biru, hanya ada 28 yang menyertakan lahan basah pesisir sebagai upaya mitigasi penurunan dampak perubahan iklim. Sebanyak 59 negara lainnya menjadikan ekosistem karbon biru dan lahan basah pesisir sebagai rencana adaptasi yang lebih baik. Ironisnya, Indonesia sendiri belum memasukkan ekosistem karbon biru dan lahan basah pesisir pada NDC-nya (Nationally Determine Contribution) baik sebagai strategi mitigasi ataupun mitigasi. Sungguh mengecewakan bila ditinjau kembali bahwa hutan mangrove dan lamun di Indonesia berpotensi memiliki cadangan karbon biru terbesar di dunia terlebih luas hutan mangrove Indonesia menduduki peringkat pertama global dengan kepemilikan sebesar 22,6% dari total wilayah mangrove global. Mungkinkah Indonesia memiliki strateginya sendiri untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK dan berkontribusi dalam perubahan iklim?

REFERENSI

Ambari, M., 2017, Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?, Online: https://www.mongabay.co.id/2017/09/11/besarnya-potensi-karbon-biru-dari-pesisir-indonesia-tetapi-belum-ada-roadmap-blue-carbon-kenapa/.

Ayostani, I., Robbin, B., 2019, Mempromosikan Karbon Biru Indonesia untuk Mencapai Pembangunan “Triple Win” dalam WRI Indonesia, Online: https://wri-indonesia.org/id/blog/mempromosikan-karbon-biru-indonesia-untuk-mencapai-pembangunan-triple-win.

Edliadi, M., 2018, Apa itu Karbon biru? Menilik penelitian mengenai serapan karbon berbasis-air global yang tengah dilakukan, Online: https://forestsnews.cifor.org/55426/apa-itu-karbon-biru?fnl=en.

Murray, BC., Pendleton, L., Jenkins, WA., Sifleet, S., 2010, Green payments for blue carbon: Economic incentives for protecting threatened coastal habitats. Report NI R 11–04, Nicholas Institute for Environmental Policy Solutions.

The Nature Conservancy, 2019, Proyek Karbon Biru, Online: https://reefresilience.org/id/blue-carbon/blue-carbon-projects/.

Email: jfrlaksana@gmail.com
IG: @jflaksan
Twitter: jefriputraO2

--

--