Ketika Laut Tak Bisa Menghidupi

Laut Indonesia yang begitu luas, namun tak mampu menghidupi mereka yang mengharap kehidupan darinya …

Tatag Suryo Pambudi
LindungiHutan
8 min readJul 10, 2020

--

Laut Indonesia dengan kekayaan yang ada di dalamnya (Ilustrasi : gatra.com)

Laut Indonesia menyimpan sejuta misteri yang tak bisa diungkapkan. Luasnya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke membuat setiap orang memiliki makna tersendiri terhadap laut. Tempat bagi para peneliti untuk belajar, tempat bagi para wisatawan untuk berlibur, dan tempat bagi masyarakat pesisir untuk memperoleh penghidupan. Selama bertahun-tahun, masyarakat pesisir di Indonesia menggantungkan hidupnya terhadap laut. Ikan dan segala bentuk hasil tangkapan laut merupakan sumber penghidupan mereka sehari-hari.

Tanpa laut mereka tak bisa bekerja. Tanpa laut mereka tak bisa mencari makan. Tanpa laut mereka tak bisa hidup. Dan itu semua sepertinya menjadi ketakutan yang perlahan-lahan mulai terjadi. Perubahan iklim yang telah menjadi isu global rupanya menjadi penyebab dari kesulitan yang dialami oleh masyarakat pesisir. Laut yang menjadi sumber penghidupan mereka perlahan-lahan mulai rusak dan mengancam kehidupan para pelaut.

Perubahan Iklim Mempengaruhi Kehidupan Laut

Perubahan iklim telah menjadi ketakutan bagi banyak negara. Dampak yang ditimbulkan telah mengancam tidak hanya setiap manusia, tetapi juga setiap makhluk beserta ekosistem yang menaunginya. Suhu permukaan yang semakin meningkat merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.

Dalam 100 tahun terakhir, telah terjadi kenaikan suhu rata-rata udara permukaan bumi hingga mencapai 0,74°C dan diprediksi akan terus mengalami peningkatan dalam 100 tahun ke depan (Syaifullah, 2015).

Dampak perubahan iklim tersebut rupanya tidak hanya berlaku pada kehidupan di darat, tetapi juga mereka yang hidup di dalam laut. Meningkatnya suhu rata-rata udara menyebabkan es di daerah kutub mencair. Es-es tersebut mengalir di lautan dan menyebabkan permukaan air laut menjadi naik.

Selain itu, memanasnya daratan juga menyebabkan terjadinya pemanasan suhu di permukaan air laut. Menurut Syaifullah (2015), dalam 32 tahun terakhir, telah terjadi kenaikan suhu permukaan laut di Indonesia dengan kenaikan yang bervariasi. Lautan Pasifik Barat di sebelah utara Papua merupakan lautan yang mengalami kenaikan suhu yang paling tinggi.

Perubahan kondisi lingkungan di dalam laut ternyata memberikan perubahan terhadap ekosistem yang ada di dalamnya. Terumbu karang yang menjadi habitat bagi beberapa jenis ikan menjadi rusak dan ikan menjadi berpindah ke lokasi lain yang dirasa masih aman, jauh dari kerusakan, dan sayangnya jauh dari jangkauan manusia.

Hal tersebut yang menjadi masalah utama bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada setiap hasil laut yang diperolehnya. Mereka menjadi sulit di dalam menangkap ikan di lokasi-lokasi yang seharusnya. Mereka harus mencari lokasi baru yang lebih jauh dari lokasi sebelumnya untuk bisa membuat dapur supaya bisa tetap mengepul.

Para Nelayan yang Merasakan Dampaknya

Istilah “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” sepertinya pantas disematkan kepada masyarakat pesisir di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, laut sepertinya telah menjadi penghubung masyarakat antar pulau untuk bisa saling berinteraksi. Laut pula yang menjadi tempat bagi mereka, masyarakat pesisir, yang hidup di sepanjang garis pantai, untuk menggantungkan hidupnya.

Masyarakat pesisir umumnya bekerja sebagai nelayan. Profesi tersebut biasanya diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga tak heran jika “hidup dari laut” telah menjadi budaya di kalangan masyarakat pesisir.

Perubahan iklim rupanya menjadi momok yang menakutkan bagi para masyarakat pesisir. Rusaknya laut dan sulitnya memprediksi musim menjadi permasalahan utama para nelayan di dalam melaut. Meningkatnya suhu dan tinggi permukaan air laut telah membuat habitat ikan-ikan di laut menjadi rusak. Ikan-ikan berpindah dari habitat sebelumnya dan mencari lokasi yang masih layak untuk ditinggali. Hal tersebut membuat para nelayan harus bisa menebak lokasi baru yang ditinggali ikan-ikan supaya hasil tangkapan yang didapat ketika melaut tetap sama seperti biasanya. Tak jarang mereka melaut hingga lokasi yang sangat jauh untuk menemukan habitat baru tempat ikan-ikan tinggal.

Mungkin hal tersebut tidak menjadi masalah bagi para nelayan dengan modal yang besar. Namun, hal tersebut akan menjadi masalah yang besar bagi nelayan kecil dengan modal yang terbatas. Mereka terpaksa harus membeli bahan bakar lebih banyak untuk bisa mengeksplorasi lokasi-lokasi baru. Tak jarang mereka gagal menemukan lokasi baru dan pulang dengan tangan kosong.

Sulitnya memprediksi musim juga menjadi masalah lain yang memberatkan hidup para nelayan. Pola musim yang tidak menentu membuat para nelayan sulit untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk bisa melaut. Ditambah lagi, cuaca yang seketika dapat berubah membuat nelayan memiliki resiko yang lebih tinggi ketika berada di laut. Dampak yang ditimbulkan lebih dirasakan oleh nelayan kecil, yang melaut dengan peralatan seadanya.

Cara mereka untuk memprediksi cuaca hanyalah berdasarkan kebiasaan menebak kondisi alam. Sehingga, perlu adanya adaptasi bagi nelayan kecil supaya hasil tangkapan yang didapat ketika melaut tetap sama seperti biasanya.

Cara Nelayan Beradaptasi

Suku Bajau, suku laut yang masih bertahan (Ilustrasi : wego.co.id)

Kemampuan nelayan di dalam beradaptasi ditentukan berdasarkan kondisi perekonomian dari nelayan tersebut. Melansir dari laman berita Kumparan, terdapat 2.265.859 orang di Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan. Dari jumlah tersebut, 80% diantaranya merupakan nelayan kecil yang hanya memiliki modal terbatas untuk bisa melaut. Nelayan-nelayan kecil tersebut sangat merasakan dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. Modal yang terbatas membuat mereka harus menentukan cara lain untuk bisa tetap mendapatkan penghasilan selain dari hasil melaut.

Contoh masyarakat pesisir yang mengalami dampak yang parah adalah nelayan-nelayan Suku Bajau di pesisir Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Menjadi nelayan bagi Suku Bajau bukan hanya sekadar profesi untuk mencari makan, tetapi juga identitas, dan budaya yang telah melekat pada mereka sejak zaman nenek moyang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewiyanti et al (2019), nelayan Bajau Soropia termasuk masyarakat yang sangat terdampak akibat adanya perubahan iklim. Cara melaut mereka yang masih tradisional dirasa cukup mempersulit nelayan Bajau Soropia di dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang telah berubah.

Menurut Dewiyanti, ada 3 cara yang dilakukan oleh masyarakat Bajau Soropia untuk beradaptasi, yaitu mengubah wilayah tangkap, meragamkan alat tangkap, dan diversifikasi mata pencaharian. Berubahnya arah migrasi ikan yang disebabkan oleh memanasnya suhu permukaan laut dan berubahnya arah arus laut, membuat nelayan Bajau harus mengubah lokasi mereka di dalam menangkap ikan.

Kebiasaan nelayan Bajau yang menandai suatu lokasi dengan kenampakan yang ada di sekitarnya, seperti bukit atau pohon, untuk menentukan suatu lokasi menangkap ikan dirasa sudah tidak relevan lagi dengan kondisi lingkungan yang ada sekarang ini. Banyak dari nelayan Bajau yang akhirnya melaut hingga perairan Sulawesi Tengah guna mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Alat tangkap yang sejenis juga dirasa kurang efektif untuk mendapatkan ikan pada kondisi seperti sekarang ini. Sehingga, banyak dari nelayan Bajau yang harus melengkapi alat pancing mereka menjadi lebih beragam untuk mendapatkan banyak ikan.

Cara-cara beradaptasi tersebut ternyata cukup memberatkan nelayan Bajau yang kurang sejahtera. Banyak dari mereka yang akhirnya menjual peralatan melaut mereka dan memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, seperti berdagang hasil laut, mengelola keramba ikan, dan mengelola wisata bahari.

Cara adaptasi yang berbeda dilakukan oleh kelompok nelayan yang hidup di kawasan yang lebih maju, dengan teknologi yang lebih modern. Penelitian dilakukan oleh Akbar dan Huda (2017) di pesisir Kabupaten Malang, tepatnya di Pantai Nganteb, Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan dan Pantai Sendangbiru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Kemajuan teknologi di kawasan tersebut cukup membantu para nelayan di dalam menghadapi perubahan iklim.

Contohnya adalah yang dilakukan oleh nelayan di Pantai Nganteb, Global Positionning System (GPS) menjadi alat yang tidak boleh lepas dari setiap kapal yang digunakan oleh para nelayan. Lokasi ikan yang tidak menentu mengharuskan mereka mengeksplorasi lokasi yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. GPS merupakan kunci bagi para nelayan Nganteb supaya tidak tersesat. Radio juga menjadi sarana bagi para nelayan untuk mengetahui perkembangan cuaca ketika berada di laut.

Informasi yang secara intens disampaikan oleh BMKG sekitar dirasa sangat membantu nelayan di dalam melaut. Berbeda dengan nelayan Pantai Nganteb, nelayan di Pantai Sendangbiru menggunakan cara test drive untuk mengetahui apakah cuaca pada hari tersebut aman atau tidak untuk melaut. Nelayan Sendangbiru melakukan test drive pada jarak 1–10 mil untuk mengetahui kondisi cuaca. Jika cuaca baik, maka kegiatan melaut akan dilanjutkan. Tetapi jika cuaca buruk, maka mereka kembali ke daratan dan melaut di lain harinya.

Selain teknologi yang mendukung, para nelayan di Kabupaten Malang juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang melindungi nasib para nelayan. Para nelayan di Kabupaten Malang dilindungi oleh asuransi yang diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, kebijakan pemerintah daerah bagi para nelayan, seperti penerapan program Desa Pesisir Tangguh, pemberian bantuan kepada para nelayan, dan penerapan program pariwisata pesisir, dirasa cukup membantu nasib para nelayan di Kabupaten Malang.

Ditambah lagi, dengan beragamnya jenis pekerjaan di daerah tersebut membuat banyak pilihan pekerjaan yang bisa dipilih oleh masyarakat pesisir di Kabupaten Malang. Mereka bisa menjadi petani, peternak, atau pengelola jasa wisata. Semua tetap bisa bekerja, semua tetap bisa bertahan hidup, tanpa harus menjadi nelayan.

Siapakah yang Mampu Bertahan?

Setiap nelayan memiliki kemampuan yang berbeda-beda di dalam beradaptasi. Faktor ekonomi menjadi faktor yang paling penting untuk mengukur tingkat kemampuan tersebut. Nelayan dengan modal besar memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup bagus.

Mereka bisa melengkapi perahu mereka dengan peralatan yang mendukung kegiatan melaut mereka. Berbeda dengan nelayan kecil dengan modal yang terbatas, keterbatasan modal membuat mereka harus berhadapan dengan 2 pilihan, tetap melaut dengan pendapatan yang tidak menentu atau beralih profesi. Bagi nelayan Bajau Soropia, beralih profesi sama saja meninggalkan kebudayaan yang sudah melekat pada mereka sejak zaman nenek moyang. Melaut bagi mereka tidak hanya sekadar untuk mencari nafkah, tetapi melestarikan kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Sehingga, banyak dari mereka yang tetap melaut walaupun dengan hasil tangkapan yang kian lama kian sedikit.

Mampu tidaknya para nelayan di dalam beradaptasi hanyalah suatu alat yang bisa digunakan. Nasib mereka tetap bergantung pada laut yang selama ini menghidupi mereka. Bagi nelayan besar dengan teknologi yang maju, beradaptasi hanya menyelamatkan hidup mereka selama beberapa tahun. Laut yang terus rusak karena perubahan iklim tetap menjadi masalah yang nyata. Perubahan iklim bukanlah masalah tunggal yang diselesaikan dengan solusi yang sederhana.

Perubahan iklim menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang terkadang jauh dari perkiraan kita. Nelayan dan masyarakat pesisir adalah contoh korban yang nyata mengalami dampak. Teknologi sebesar apapun tetap akan sia-sia jika ikan dan sumberdaya laut yang ada rusak karena perubahan iklim. Sehingga, kunci yang utama adalah terletak pada kita. Akankah kita terus merusak lingkungan hingga laut tak bisa lagi menghidupi kita?

Penulis : Tatag Suryo Pambudi

LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Yuk pelihara lingkunganmu dengan ikut menyuarakan kampanye alam yang ada di sekitar lingkunganmu dengan klik tautan berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam!

Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!

Referensi Tulisan

Akbar, T., dan Huda, M. 2017. Nelayan, Lingkungan, dan Perubahan Iklim (Studi terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Pesisir di Kabupaten Malang. Wahana. 68(1) : 27–38.

Ariansyah, Sumardi. “Jangan Biarkan Nelayan Merana Karena Corona”. Kumparan. Tersedia : https://kumparan.com/macepapua/jangan-biarkan-nelayan-merana-karena-corona-1tDiSkiNLe5/full.

Dewiyanti, S., Ma’ruf, A., dan Indriyani, L. 2019. Adaptasi Nelayan Bajau terhadap Dampak Perubahan Iklim di Pesisir Soropia Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Ecogreen. 5(1) : 23–29.

Syaifullah, M.D. 2015. Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan Hubungannya dengan Pemanasan Global. Jurnal Segara. 11(2) : 103–113.

--

--