Mengapa Krisis Iklim Berkaitan dengan Ke(tidak)adilan Sosial?

Abiyyi Yahya Hakim
LindungiHutan
Published in
4 min readJan 12, 2021

Krisis iklim dengan berbagai penyebabnya makin memperlihatkan dampak dan ancamannya pada makhluk hidup di bumi. Makin parahnya keadaan ekologis bumi seiring waktu juga menyebabkan munculnya krisis iklim (climate crisis) dan darurat iklim (climate emergency) sebagai pengganti istilah perubahan iklim. Hal ini dikarenakan keadaan ekologis saat ini telah mendefinisikan ulang iklim yang berubah menjadi suatu krisis, yang telah membahayakan kehidupan sebagian hayati di bumi dan akan bertambah lebih parah.

Perubahan iklim, atau kini sering disebut juga sebagai krisis iklim ini, berdampak pada degradasi kualitas kesehatan dan peningkatan risiko bencana. Contoh paling mutakhir bisa kita lihat pada bencana banjir Ibu Kota pada awal tahun 2020 dan kebakaran Australia tak lama setelahnya. Keduanya, disebutkan oleh para ilmuwan, sebagai dampak langsung maupun tak langsung dari krisis iklim. Kedua bencana yang terjadi pada awal tahun ini seakan memperingatkan kita akan nyatanya dampak krisis iklim.

Namun ada satu masalah lagi yang terdapat di dalam fenomena krisis iklim ini, dan hal ini menunjukkan pentingnya melihat data dan statistik yang berkaitan dengan krisis iklim. Dalam statistik pelepasan emisi karbon terbaru pada 2017, CDP menyatakan 100 perusahaan besar bertanggung jawab atas 71 persen emisi karbon. Berdasarkan negara, 3 blok terbesar penyumbang emisi karbon adalah China, AS, dan Uni Eropa, dengan kombinasi emisinya merupakan 52% emisi global. Ditambah 7 negara berperingkat di bawahnya, jumlahnya menjadi 75%.

Keadilan Iklim

Dalam data di atas, kita melihat adanya konsentrasi emisi pada beberapa negara. Secara sederhana, kita bisa melihat porsi tanggung jawab pada setiap negara atau pihak, berdasarkan porsi emisi yang dikeluarkannya. Namun yang terjadi pada emisi karbon tersebut berdampak tidak hanya di negaranya, melainkan terjadi pemanasan global. Suhu rata-rata bumi terus meningkat, dan fenomena tersebut tidak sebatas di tempat asal emisi.

Yang lebih memilukan, wilayah atau negara yang sedikit berkontribusi dalam pelepasan emisi, akan terkena dampak yang lebih besar akibat perubahan iklim. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, dengan wilayah pesisir yang begitu luas, juga merupakan salah satu negara yang akan terdampak paling besar akibat kenaikan muka air laut. Ditambah fenomena penurunan muka tanah, banyak wilayah di Indonesia yang terancam tenggelam.

Nasib Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara kepulauan lainnya seperti Filipina, Jepang, dan Myanmar, yang dalam data Global Peace Index 2019 menjadi negara paling rentan terdampak perubahan iklim. Sedangkan, penelitian University of Notre Dame mengungkap lima negara yang paling terancam oleh perubahan iklim semuanya berada di Afrika: Afrika Tengah, Chad, Eritrea, Burundi, dan Sudan. Melihat peta kontribusi emisi, keseluruhan Afrika hanya berkontribusi 3% terhadap emisi global pada 2017.

Tidak hanya secara makro pada tingkat negara, masalah iklim dan lingkungan pada banyak sektor juga diikuti dengan isu kemanusiaan, seperti eksploitasi buruh, keadilan gender, sampai persoalan masyarakat adat (indigenous people). Indigenous people sebagai masyarakat yang identik dekat dan hidup dengan alam, sangat merasakan dampak eksploitasi alam sekitar mereka oleh perusahaan. Tidak hanya menghilangkan hutan dan ekosistem, tetapi juga mengambil sumber hidup mereka.

Isu eksploitasi buruh dalam fenomena iklim sederhananya merupakan bentuk akar rumput dari kesenjangan negara maju dan negara berkembang dalam keadilan iklim. Para buruh yang dieksploitasi oleh perusahaan hanya akan memperburuk keadaan mereka dalam menghadapi dampak krisis iklim. Sedangkan para korporat memiliki kekayaan dan kemampuan untuk bertahan dari dampak tersebut. Juga ketika dilihat dari segi gender, PBB mengindikasikan bahwa 80 persen masyarakat yang terdampak krisis iklim merupakan perempuan.

Kristalisasi masalah-masalah tersebutlah yang kemudian tertuang dalam konten aksi iklim oleh berbagai komunitas dan gerakan yang belakangan mencuat. Fridays for Future — gerakan tindak lanjut dari aksi Greta Thunberg, dan Extinction Rebellion (XR), kerap menyuarakan dalam aksinya, “Climate justice is social justice.

Yang Harus Diselesaikan

Sebagaimana kemudian permasalahan HAM akan banyak berkaitan dengan isu lingkungan, diskursus perubahan iklim dan kerusakan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari isu kemanusiaan. Begitulah seperti yang disuarakan para aktivis lingkungan maupun HAM. Pada akhirnya keduanya saling terkait. Seperti dikatakan Romo Andang Binawan, pengajar STF Driyarkara, dalam tulisan opininya “HAM dan Keadilan Iklim”, problem pemanasan global menggarisbawahi kesalingtergantungan antar-manusia dan manusia dengan alam.

Kita telah melihat adanya infiltrasi ketidakadilan sosial dalam masalah krisis iklim. Terjadi tidak hanya di tingkat makro, contoh pada kehidupan bermasyarakat juga banyak bisa dilihat. Atas keterkaitan masalah tersebut, maka upaya mitigasi krisis iklim sedikit banyak akan mendobrak tatanan sosial yang telah ada, atau setidaknya harus ada perubahan perspektif dan kebijakan pada kepentingan ekonomi.

Dikarenakan krisis iklim yang sudah common sense dipahami sebagai dampak aktivitas manusia, pada akhirnya akibatnya akan kembali pada manusia. Oleh karena ternyata manusia yang banyak menyebabkan pemanasan global bukan yang paling terancam oleh dampaknya, maka kita merasa perlu untuk melihat ini sebagai masalah. Karena sebagai manusia yang dianugerahi akal dan pikiran, kita bisa memahami masalah dan mengubah perilaku, untuk lebih peduli terhadap kehidupan manusia lainnya.

Maka, ketika kita membicarakan keadilan sosial pada fenomena iklim saat ini, tidakkah kita telah memberlakukan ketidakadilan lainnya pada makhluk hidup lain akibat segala aktivitas dan kepentingan kita? Yang lebih tak tahu menahu apa sebab kerusakan habitat mereka dan bahkan eksistensinya terancam menuju extinction (kepunahan).

Referensi Gambar

Foto tangkapan pada video dari akun YouTube Kurzgesagt — In a Nutshell. https://www.youtube.com/watch?v=ipVxxxqwBQw, diakses 11 Juli 2020.

Unggahan akun Instagram Extinction Rebellion. https://www.instagram.com/p/B7ULl0enF-K/, diakses 14 Juli 2020.

Referensi

“Banjir Jakarta: ‘Dampak perubahan iklim nyata, penanganannya butuh pemimpin berani’”. Bbcindonesia.com. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51020364, diakses 11 Juli 2020

“Climate change: ‘impacts women more than men’”. Bbc.com. https://www.bbc.com/news/science-environment-43294221, diakses 14 Juli 2020

“HAM dan Keadilan Iklim”. Kompas.id. https://kompas.id/baca/utama/2019/12/10/ham-dan-keadilan-iklim/, diakses 14 Juli 2020

Institute for Economics & Peace. 2019. Global Peace Index 2019: Measuring Peace in a Complex World. Sydney, tersedia di: http://visionofhumanity.org/app/uploads/2019/06/GPI-2019-web003.pdf

“Lima Negara yang Mampu Bertahan dari Perubahan Iklim, Apa Rahasianya?” Nationalgeographic.grid.id. https://nationalgeographic.grid.id/read/131736714/lima-negara-yang-mampu-bertahan-dari-perubahan-iklim-apa-rahasianya?page=all, diakses 12 Juli 2020

Maemunah, Siti. 2009. “Perubahan Iklim dan Adaptasi Kapitalisme”. Jurnal Legislasi Indonesia Vo. 6 №1 Maret 2009.

Pramudianto, Andreas. 2016. “Dari Kyoto Protocol 1997 ke Paris Agreement 2015: Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global dan ASEAN Menuju 2020”. Jurnal Global Vol. 18 №1 Mei 2016.

--

--

Abiyyi Yahya Hakim
LindungiHutan

membaca untuk menulis, mendapatkan untuk berbagi, merasakan untuk menceritakan kembali