Perdagangan Karbon : Bentuk Kapitalisasi dalam Solusi Penurunan Emisi Karbon

Perdagangan karbon sebagai tren penghijauan citra negara maju…

Reza Firnanto
LindungiHutan
4 min readJul 8, 2020

--

Sumber : https://dunia.rmol.id/read/2020/04/30/432706/hikmah-di-balik-pandemik-penurunan-emisi-karbon-2020-akan-jadi-yang-terbesar-sejak-20

Meningkatnya emisi karbon menjadi isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Seluruh negara di dunia pun selalu mengangkat isu ini di setiap forum Internasional. Pasalnya, dampak dari meningkatnya emisi karbon ini dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Mulai dari perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan cuaca yang tidak menentu, banjir, suhu permukaan bumi yang meningkat, hingga polusi udara merupakan beberapa dampak yang berbahaya dari hal tersebut.

Oleh karena itu, seluruh negara di dunia mulai gencar untuk menguranginya. Mereka saling bekerjasama untuk mencari solusinya. Bahkan, mereka sepakat untuk menurunkan emisi karbon secara kolektif sebesar 5,2%. Hal itu mereka sepakati dalam Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change atau bisa disebut dengan Protokol Kyoto pada Desember 1997.

Tentu, target pengurangan emisi karbon menjadi tanggungjawab yang cukup berat bagi negara-negara maju. Pasalnya, pengurangan emisi karbon tersebut sama saja mengurangi produksi ekonomi mereka. Hal itu tentu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tersebut. Untuk itu, dalam Protokol Kyoto juga terdapat mekanisme untuk mewujudkan penurunan emisi karbon tersebut. Salah satunya dengan Clean Development Mechanism (CDM) melalui perdagangan karbon.

Perdagangan Karbon sebagai Tren Penghijauan Citra Negara Maju

Sumber : http://www.carbonnews.co.nz/story.asp?storyID=18014

Lalu, apa itu perdagangan karbon? Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar, di mana negara-negara maju dan negara-negara berkembang melakukan negosiasi dan pertukaran hak emisi karbon. Negara-negara maju tersebut akan membeli izin melakukan pencemaran (emission permit) kepada negara-negara berkembang. Seperti yang kita ketahui, di negara-negara berkembang masih terdapat banyak hutan yang dapat menyerap karbon.

Hutan-hutan tersebut akan dihargai berdasarkan seberapa besar kemampuannya dalam menyerap karbon. Semakin besar kemampuan hutan tersebut dalam menyerap karbon, maka semakin banyak pula uang yang didapatkan oleh negara berkembang tersebut. Mereka akan mendapatkan uang antara 5–12 US$ dari negara-negara maju untuk setiap satu ton karbon yang diserap. Hal tersebut mengakibatkan negara-negara berkembang harus menjaga kualitas hutan yang dimilikinya sebaik mungkin dan menghindari penebangan hutan dalam jumlah yang banyak, sedangkan negara-negara maju hanya membayar sejumlah uang dan menyediakan teknologi saja.

Mekanisme tersebut tentu tidak terlepas dari pola pikir kapitalis, bahwa alam bisa dimodifikasi untuk tujuan komersial semata. Hanya negara-negara berkembang yang berusaha menurunkan emisi karbon. Sementara negara-negara maju tetap membiarkan emisi karbon terus berlangsung dari kegiatan industri mereka. Bisa dibilang perdagangan karbon ini semacam lisensi bagi negara-negara maju untuk mengotori bumi.

Mereka terkesan seperti malaikat yang hadir dengan memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang. Padahal, sejumlah uang tersebut tidak sebanding dengan kerusakan alam yang mereka timbulkan. Bahkan, mereka hanya akan memberikan uang tersebut ketika negara-negara berkembang benar-benar menurunkan emisi karbon (pay for performance). Mereka tidak benar-benar serius untuk menurunkan emisi karbon tersebut.

Keadaan tersebut juga diperparah dengan keputusan Donald Trump yang mengumumkan Amerika Serikat mundur dari kesepakatan tersebut. Bagi Trump, mekanisme tersebut dapat memiskinkan dan merugikan Amerika Serikat. Pasalnya, Amerika menjadi penyumbang emisi karbon terbanyak di dunia sekitar kurang lebih 15% dari emisi karbon dunia. Target untuk menurunkan tingkat emisi karbon tentu akan semakin sulit untuk tercapai.

Sumber : https://unsplash.com/photos/jFCViYFYcus

Terlepas dari kejadian tersebut, perdagangan karbon memang bukan solusi yang tepat untuk menurunkan emisi karbon. Solusi tersebut tidak mengambil tanggung jawab dengan berperan langsung kepada alam, melainkan mengkonversikan terlebih dahulu dalam sistem pasar. Perdagangan karbon hanyalah sebuah bentuk kapitalisasi dalam solusi penurunan emisi karbon. Hal ini terjadi karena penurunan emisi karbon hanya dibebankan pada negara-negara berkembang saja, sedangkan negara-negara maju dapat dengan bebas mengeluarkan emisi karbon.

Padahal, sudah sewajarnya sebagai sesama penduduk bumi memiliki tanggung jawab yang sama untuk menurunkan emisi karbon ini. Seluruh negara, baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang sama-sama mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi karbon tersebut. Negara-negara maju harus mengupayakan penanaman hutan juga, agar tidak bergantung pada hutan milik negara-negara berkembang.

Selain itu, mereka juga perlu mengembangkan green technology secara masif. Dengan begitu, kegiatan industri mereka dapat berjalan tanpa mengorbankan alam. Kelangsungan hidup manusia pun akan terjaga bila kesadaran bersama tersebut terwujud. Salam Lestari!

Penulis : Reza Firnanto

LindungiHutan.com merupakan Platform Crowdfunding Penggalangan Dana Online untuk Konservasi Hutan dan Lingkungan. Yuk pelihara lingkunganmu dengan ikut menyuarakan kampanye alam yang ada di sekitar lingkunganmu dengan klik tautan berikut https://lindungihutan.com/kampanyealam!

Yuk jadi pioneer penghijauan di daerah tempat tinggalmu!

Referensi Tulisan

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2007/Perdagangan-Emisi-Bentuk-Kapitalisasi-Karbon/

https://www.antaranews.com/berita/1216279/hati-hati-terjun-ke-perdagangan-karbon-walhi-ingatkan-pemerintah

https://media.neliti.com/media/publications/15002-ID-tinjauan-yuridis-terhadap-konsep-perdagangan-karbon-sebagai-international-collab.pdf

Jurnal Studi Kultural (Perdagangan Emisi: Solusi Kapitalis atas Global Warming) karya Lidwina Hana

--

--

Reza Firnanto
LindungiHutan

“Sabar, satu persatu. Takut hanya ada dalam pikiranmu.”