Persoalan Tangan Dingin vs Tangan Panas dalam Menanam

Elrisa Thiwa Nadella
LindungiHutan
Published in
4 min readJan 12, 2021
Menanam | Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels

Pandemi Covid-19 telah mengubah cara kita berperilaku. Selain menjadi lebih memerhatikan kebersihan, kondisi yang disebabkan oleh Covid-19 ini pun menggiring manusia untuk mempelajari resep baru, menonton series baru, membaca buku baru, serta melakukan hal-hal yang belum sempat dilakukan dalam keseharian sebelum Covid-19 menyerang dunia, termasuk memenuhi halaman atau balkon dengan tanam-tanaman.

Menanam, seolah menjadi tren kekinian yang terbentuk pada era Covid-19. Tentu saja, sebagian orang memang sudah terlebih dahulu mempunyai hobi berkebun, tetapi bukan tidak ada pula yang memulainya saat Covid-19 membuat kita tidak dapat keluar bebas seperti sedia kala.

Alasan berkebun dapat saja sebagai keinginan untuk menumbuhkan makanan dari rumah. Selain menghemat uang belanja, hal ini juga turut meminimalisir karbon yang lepas ke udara saat proses pengangkutan.

Konon katanya, berkebun merupakan sebuah proses terapi batin agar lebih damai dalam menjalani hidup. Batasan-batasan dalam bepergian rupanya dapat mengganggu ketenangan jiwa akibat haus hiburan, dan liburan. Tetapi, apakah berkebun juga dapat memunculkan rasa yang bertolak belakang dengan terapi batin? Stres karena semaian benih tak kunjung tumbuh? Merasa sedih karena bibit yang mulai berdaun sejati itu menjadi layu dan mati? Tidak, tulisan ini tidak akan menawarkan produk penyubur tanaman.

Nyatanya, berkebun tidaklah segampang yang dilakukan saat bermain Harvest Moon. Mungkin tanah Mineral Town sangatlah subur sehingga perawatan tanaman hanya dilakukan dengan menyiram air. Meski katanya tanah kita tanah surga, ternyata masih ada saja kegagalan dalam menumbuhkan tanaman.

Upaya tanam-menanam ini kemudian menimbulkan prasangka dan penghakiman diri. Ketika tanaman tidak tumbuh dengan baik, maka akan muncul penilaian bahwa yang menanam tidak bertangan dingin. Ketika tanaman tumbuh subur, akan ada vonis bahwa yang menanam memiliki tangan dingin. Apakah tanaman yang tumbuh dengan bagus disebabkan karena ditanam oleh si pemilik tangan dingin?

Jika seorang pemula berhasil menanam suatu tanaman dan kemudian memanennya dengan hasil yang bagus, sesungguhnya ada banyak faktor yang membuatnya sukses. Katakanlah si pemula ini pandai dalam hal merawat tanaman, memastikan tanahnya tidak kering, dan memberinya pupuk sesekali. Di lain sisi, nasibnya juga dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, pengaruh cuaca, serta pencahayaan. Mungkin saja si pemula ini mencegah hama di tanaman sayur karena ia juga menanam tanaman refugia, tanpa ia sadari manfaat dari refugia itu.

Saya pribadi mulai menyukai berkebun sebelum mengenal Harvest Moon, dan itu sudah belasan tahun yang lampau. Di sudut pekarangan rumah, saya membuat taman kecil-kecilan yang berisi berbagai jenis bunga. Kaleng-kaleng bekas dijadikan sebagai pot dan tanah dari kandang kambing milik adik nenek saya menjadi media tanam. Semua tanaman saya kala itu tumbuh dengan subur.

Di rumah kos yang saya tinggali dulu, saya mencoba menanam seledri, daun bawang, bawang merah, dan lidah buaya. Mereka tumbuh di dalam sebuah pot yang diletakkan di balkon, kecuali lidah buaya yang saya letakkan di dalam kamar. Pada masa-masa awal, mereka tumbuh dengan baik, namun lama kelamaan menjadi layu karena tak terurus.

Cerita lain adalah pada masa pandemi Covid-19 ini. Saya turut meramaikan tren tanam-menanam, dengan menanam tomat dan cabe dari bijinya. Saya rawat dengan sabar setelah saya membaca dan menonton banyak tutorial. Setiap hari saya memastikan tanahnya tidak kering, membuat pupuk dari kulit pisang, hingga mengajak tanaman itu bicara. Sampai tulisan ini dibuat, tanaman itu sudah memunculkan daun sejati, namun sebagian ada yang gugur dan mati, setelah sebagian lain bahkan tidak tumbuh sama sekali.

Sebagai tambahan cerita, beberapa biji yang tidak terurus dan dibuang begitu saja ke tanah atau ke dalam komposter malah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Jadi, saya mempunyai tangan yang mana?

Bukankah di balik segala sesuatu itu ada ilmunya? Bukankah di balik keberhasilan ada banyak faktornya?

Keberhasilan = privilege + usaha + keberuntungan

Baru-baru ini saya mendengar sebuah podcast bertajuk privilege, membahas apakah privilege itu berhubungan dengan keberhasilan seseorang. Ada sebuah formula yang dikemukakan, yakni keberhasilan adalah gabungan dari privilege, usaha, serta keberuntungan. Sepertinya hal ini pun dapat diterapkan dalam bercocok tanam.

Tanah yang subur, pengaruh cuaca, pencahayaan, serta jenis tanaman, termasuk ke dalam privilege. Penyiraman, pemberian pupuk, dan segala perawatan seperti upaya melindungi dari hama termasuk ke dalam usaha. Kemudian faktor tak terduga digolongkan sebagai keberuntungan. Tangan-yang-mana masuk ke dalam faktor apa?

Istilah tangan dingin atau tangan panas barangkali bukan termasuk ke dalam faktor penyebab keberhasilan, melainkan hasil dari sebuah usaha.

Orang yang berhasil bercocok tanam bukanlah karena ia memiliki tangan dingin. Melainkan, karena berhasil itulah maka ia disebut bertangan dingin.

Maka dari itu, alangkah lebih baik untuk terus berusaha mencari dan menemukan cara yang cocok dalam bercocok tanam dibanding menilai diri memiliki tangan dingin atau tangan panas.

Penulis: Elrisa Thiwa Nadella

--

--