Bagai Senjata Makan Tuan, Alih Fungsi Hutan Mangrove yang Justru Merugikan

frida anjani
LindungiHutan
Published in
5 min readMay 4, 2021

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan yang kini kian lama semakin langka.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah hutan mangrove yang cukup luas di Indonesia yaitu sekitar sepertiga mangrove di dunia dengan luas mencapai sekitar 3 juta hektar, yang tersebar di sepanjang pesisir Indonesia. Tercatat pada tahun 2000–2014, Indonesia merupakan salah satu penyumbang kehilangan hutan mangrove terluas di dunia, yakni 4.364 km2 atau sekitar 311.7 km2 per tahunnya.

Photo by The Tampa Bay Estuary Program on Unsplash

Luasnya hutan mangrove ini pun menjadi salah satu bentuk ekosistem hutan yang menghasilkan nilai ekonomis dan ekologi yang begitu tinggi sehingga sangat menunjang perekonomian masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar pantai atau yang berprofesi sebagai nelayan.

Selain kayunya yang dapat digunakan masyarakat sekitar untuk bahan kayu bakar, hutan mangrove juga menjadi ladang keuntungan bagi para nelayan karena menghasilkan banyak jenis fauna yang bernilai ekonomis seperti udang ataupun berbagai jenis ikan yang tinggal dibawah hutan mangrove tersebut. Tak hanya itu, dengan berbagai jenis keunikannya hutan mangrove pun kerap digunakan sebagai kawasan ekowisata yang juga berdampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Sebelumnya perlu diketahui, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi utama yaitu:

  • Fungsi fisik, secara umum fungsi hutan mangrove yaitu untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari proses abrasi atau erosi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dan laut ke darat, menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru, sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar.
  • Fungsi kimia, ekosistem mangrove sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, sebagai penyerap karbondioksida, sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan.
  • Fungsi biologi, hutan mangrove sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar. Hutan ini pun sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya yang setelah dewasa akan kembali lepas ke pantai. Banyak satwa yang menggunakan kawasan ini untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain. Selain itu, sebagai sumber plasma nutfah dan genetika, dan juga sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainya.
  • Fungsi ekonomi, hutan mangrove sebagai penghasil kayu digunakan masyarakat sebagai kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan bangunan dan perabot rumah tangga. Selain itu, magrove juga sebagai penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetik, dan zat pewarna. Serta penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, dan telur burung madu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
  • Fungsi lain (wana wisata), hutan mangrove dapat berfungsi sebagai kawasan wisata alami pantai dengan keindahan berbagai macam satwa yang ada di dalamnya. Tak jarang kawasan ini pun dapat dipergunakan sebagai tempat pendidikan, konservasi, ataupun penelitian.

Namun, kini banyak sekali penyimpangan dari fungsi-fungsi tersebut yang disebabkan karena pihak-pihak kurang bertanggung jawab, serta kebijakan dan pengelolaan pemerintah yang tidak tegas.

Akibatnya, belakangan banyak masyarakat yang tidak dapat merasakan lagi keuntungan itu karena berbagai permasalahan yang terjadi salah satunya alih fungsi kawasan mangrove yang sampai saat ini masih kerap terjadi di beberapa kawasan di Indonesia.

Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan ini terjadi melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Sedangkan alih fungsi kawasan hutan terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan hutan yang terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan seperti pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan non kehutanan lainnya.

Seperti yang terjadi pada kawasan hutan mangrove yang tersebar di tiga kabupaten Sumatera Selatan seperti Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Musi Banyuasin yang luasnya mencapai 158.734 hektar. Dari total luas kawasan hutan mangrove tersebut, Dinas Kehutanan Sumatera Selatan mencatat sekitar 20 persen hutan yang terdata itu rusak karena digunakan untuk alih fungsi lahan.

Kepala Dinas Kehutanan Sumsel, Panji Tjahjanto mengungkapkan bahwa sekitar 20 persen hutan Mangrove Sumsel dalam keadaan kritis. Penyebabnya karena banyak masyarakat yang mulai mengalihfungsikan lahan tersebut menjadi pemukiman, tambak udang, dan juga perkebunan.

Hal seperti ini juga terjadi pada sebagian hutan mangrove di Pasia Paneh, Nagari Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam. Pejabat Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) wilayah tersebut melaporkan bahwa kawasan tersebut telah dialih fungsikan menjadi tambak udang. Selain itu, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA juga mempublikasikn adanya pembukaan area hutan mangrove seluas 1,5 hektar untuk membangun tambak serta membangun jalan sepanjang 1,8 kilometer dengan lebar delapan meter di kawasan itu.

Dampak dari pembukaan area hutan mangrove tersebut langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pasalnya, kawasan hutan mangrove tersebut merupakan tempat tinggal satwa seperti buaya muara. Bahkan aparat BKSDA pun menemukan beberapa telur buaya muara tak jauh dari lokasi pembangunan tambak tersebut. Sehingga kini sering terjadi konflik antara satwa dengan manusia akibat menyempitnya habitat setelah terjadinya alih fungsi lahan.

Jika dijabarkan lagi, berbagai dampak negatif alih fungsi hutan mangrove mencakup:

  • Dampak ekologis: akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove secara langsung hilang juga berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, hal ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove dan juga ekosistem pesisir. Selain itu, penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove juga mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang semakin meningkat, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
  • Dampak kimia: Rusaknya ekosistem hutan mangrove berdampak pada meningkatnya polusi air akibat limbah industri maupun kapal-kapal di lautan karena populasi mangrove yang kian lama semakin berkurang tidak mampu lagi berperan secara efisien sebagai pengolah bahan-bahan kimia limbah tersebut. Selain itu, mangrove sebagai penyerap logam seperti Avicennia marina, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza yang mampu menyerap logam berat timbal (Pb) dan merkuri (Hg) tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya. Akibatnya bahan pencemar yang berasal dari limbah yang mengandung logam tersebut terikat pada permukaan lumpur.
  • Dampak biologi: Hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi berbagai jenis fauna laut dan darat. Pasalnya, hutan ini berfungsi sebagai habitat alami yang digunakan sebagai tempat memijah, berlindung, berkembang biak, serta bersarang. Hilangnya hutan mangrove berarti hilang juga habitat beserta fungsinya bagi berbagai jenis fauna laut dan darat seperti aves, crustacea, gastropoda, bivalvia, serta berbagai jenis hewan reptil dan amfibi.
  • Dampak ekonomi: Hilangnya hutan mangrove juga berdampak besar bagi ekonomi masyarakat di kawasan sekitar mangrove. Dengan pengalihan fungsi menjadi tambak, lahan sawit, ataupun pembangunan jalan, yang secara langsung akan berakibat menurunnya hasil tangkapan para nelayan seperti udang laut, kerang, serta berbagai jenis ikan. Masyarakat juga tidak bisa lagi mendapatkan hasil hutan mangrove tersebut seperti kayu yang digunakan sebagai kayu bakar, madu, ataupun obat-obatan.
  • Secara global, alih fungsi yang mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan mangrove juga akan berdampak pada pemanasan global karena penyerapan karbon yang akan berkurang sehingga membuat CO2 di bumi menumpuk dan adanya efek rumah kaca yang mengakibatkan pola perubahan iklim dunia yang merugikan bumi dan seisinya.

Dengan adanya permasalahan alih fungsi lahan yang dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove menyadarkan kita bahwasannya perumpamaan “apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai” sejatinya memang benar.

Karena dengan rusaknya ekosistem mangrove ini, secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan kita. Sudah seharusnya masyarakat serta pemerintah bersama-sama berperan aktif untuk menjaga agar hutan mangrove ini tidak beralih fungsi agar terus bermanfaat terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan mangrove.

--

--