Revolusi Mental: Upaya Preventif Secara Fundamental Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)

Cici
LindungiHutan
Published in
7 min readApr 23, 2021
Photo by sippakorn yamkasikorn on Unsplash

Fenomena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan bencana alam langganan yang terjadi setiap tahun terutama pada musim kemarau di indonesia. Penyebabnya bukan hanya satu dua, tetapi banyak sekali. Isu lingkungan yang satu ini selalu menarik perhatian khusus bukan hanya bagi pemerintah tetapi juga pihak swasta dan masyarakat. Namun, apakah ketertarikan itu dapat menumbuhkan kepedulian?

Dilansir dari Mongabay, hasil penelitian ilmuwan dari Center of International Forestry Research (CIFOR) dan Hery Purnomo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan didorong oleh dua faktor utama yaitu harga lahan yang dibakar dibanderol lebih tinggi mencapai RP 11 juta, sedangkan harga lahan hasil tebas atau tebang Rp 8 juta, dan harga lahan mentah hanya dibandrol dengan angka Rp 1,5 juta saja. Faktor kedua yaitu, pembukaan lahan dengan bakar dianggap lebih cepat, mudah dan murah.

Penyebab lainnya yaitu faktor alam, menurut Wahyu Catur Adi Nugroho dkk (2004), kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 99,9% di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia baik secara sengaja maupun akibat kelalaian, sedangkan 0,1% nya disebabkan oleh faktor alam. Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disebabkan oleh manusia yaitu konversi lahan, pembakaran vegetasi, aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam, pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut, dan penguasaan lahan.

Titik panas (hotspot) yang tersebar di seluruh wilayah hutan dan lahan di Indonesia merupakan data fundamental untuk mengantisipasi dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sejak dini dengan melakukan pengawasan, pemantauan dan pengecekan lapangan. Data Matrik Titik Panas TERRA/AQUA (LAPAN) menunjukkan terdapat 44 titik panas per bulan Maret 2021. Angka tersebut dapat terus bertambah maupun berkurang.

Data hasil rekapitulasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2016–2021 menunjukkan puncak tertinggi bencana alam nasional ini adalah pada tahun 2019 yang mencapai 1,6 juta hektare. Dikutip dari Merdeka.com, Kepala BNPN Doni Monardo mengatakan tahun 2020 terjadi penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara signifikan yaitu 81% dibanding tahun 2020. Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga terjadi pada tahun ini periode Januari-Februari yakni 51% dibanding periode yang sama pada tahun 2020.

Pemerintah pusat bersinergi dengan pemerintah daerah, aktivis, TNI, Polri, dinas terkait penanggulangan bencana serta tokoh masyarakat dalam rangka upaya pencegahan, pengendalian, penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Angka penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terus ditekan melalui pelbagai upaya seperti monitoring, pengecekan lapangan (ground check), patroli pencegahan, rekayasa hujan, pemadaman darat, pemadaman udara, pembenahan dan penegakan hukum serta penetapan status siaga sebagai langkah antisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Faktor alam bisa dikatakan sulit untuk dicegah mengingat hal tersebut bersifat alamiah. Namun, bukan tidak mungkin bagi manusia yang diberi akal untuk menciptakan solusi terhadap permasalahan yang menjadi ancaman dan gangguan bagi manusia dan lingkungan hidup. Sayangnya, fakta yang cukup ironis bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi akibat kesengajaan untuk meminimalisir biaya dan waktu pembukaan lahan yaitu dengan dibakar. Selain itu, kurangnya kehati-hatian masyarakat seperti membuang puntung rokok sembarangan dan membakar sampah atau sesuatu tanpa memastikan api benar-benar padam di areal hutan atau lahan.

Dampak pembukaan lahan dengan pembakaran

Kegiatan pembukaan lahan dengan dibakar sebenarnya sah-sah saja asalkan dilakukan secara terkontrol. Namun, membakar hutan dan lahan berpotensi merusak alam yang mana memiliki dampak negatif yang berkelanjutan diantaranya yaitu :

  • Pemanasan global
  • Pencemaran udara dari asap yang dapat menyebabkan sakit pernapasan
  • Flora tidak dapat dimanfaatkan karena hangus terbakar
  • Kematian fauna karena terperangkap di dalam hutan dan lahan yang terbakar
  • Terganggunya kegiatan ekonomi
  • Kebakaran berulang akan merusak sifat alami tanah gambut sehingga semakin tidak subur untuk lahan budidaya

Kerusakan dan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belum juga menarik perhatian masyarakat yang masih melakukan praktik pembukaan hutan dan lahan dengan dibakar. Jika saja masyarakat mau memahami dan memiliki kontrol serta perilaku yang peduli terhadap lingkungan dan hutan, maka upaya pencegahan dan penanggulangan yang terus ditingkatkan oleh pemerintah bisa berjalan dengan maksimal.

Disamping itu, pengelolaan lahan tanpa bakar memiliki sejumlah dampak positif yang seharusnya menjadi pertimbangan masyarakat sebelum melakukan pembakaran hutan dan lahan, diantaranya :

  • Tidak menimbulkan pencemaran udara
  • Menurunkan gas emisi rumah kaca yang berdampak negatif pada perubahan iklim yang berpengaruh pada stabilitas ekonomi
  • Menjamin kesinambungan secara ekonomi dan ekologi
  • Aktivitas transportasi, komunikasi dan manusia tidak terganggu
  • Mengantisipasi terjadinya kekeringan
  • Memperbaiki bahan organik tanah
  • Pemulihan kualitas lingkungan yang berbasis pembangunan berkelanjutan

Tingkat kesadaran akan pentingnya mencegah kerusakan dan kerugian lingkungan dan hutan nampaknya harus dijadikan prioritas. Mayoritas masyarakat yang tinggal disekitar hutan dan lahan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga tingkat pemahaman mengenai permasalahan ini juga rendah. Sebuah penelitian mengenai upaya masyarakat dalam pencegahan kebakaran pada saat pembukaan lahan di Desa Gunung Sari Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kota Baru oleh Hj. Normela Rachmawati dan Susilawati tahun 2012, menjabarkan bahwa responden penelitian memiliki tingkat pendidikan yang rendah dimana rata-rata hanya tamatan Sekolah Dasar. Sehingga berakibat pada daya serap atau tingkat adopsi terhadap informasi atau sosialisasi yang diberikan oleh petugas lapangan dalam kegiatan pembukaan lahan.

Bagaimana mencegah tradisi pembakaran lahan?

Masyarakat harus disentuh secara langsung untuk menumbuhkan rasa peduli dan tanggung jawab atas lingkungan dan hutan yang mereka tinggali. Ketergantungan masyarakat juga menjadi alasan yang kuat akan pentingnya menjaga lingkungan dan hutan. Pemanfaatan hutan dan lahan sebagai sumber mata pencaharian merupakan bukti bahwa masyarakat tidak bisa hidup tanpa sumber daya alam tersebut.

Dikutip dari Multi Media Center, tokoh masyarakat Desa Sigi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulau Pisang memaparkan penduduk setempat tidak lagi melakukan pembersihan dan pembukaan lahan dengan cara dibakar dalam rangka mendukung program pemerintah terhadap larangan pembersihan dan pembukaan lahan dengan cara dibakar dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tokoh masyarakat Desa Sigi terus berupaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait permasalahan ini. Ia juga menjelaskan, menaruh perhatian khusus terhadap pendatang yang sering memancing di Desa Sigi dan kemudian membuang puntung rokok sembarangan.

Keberhasilan Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa sigi dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dapat dijadikan contoh oleh pemerintah daerah dan tokoh masyarakat lainnya. Dapat disimpulkan kesadaran masyarakat Desa Sigi terbentuk karena adanya revolusi mental yang digiatkan oleh tokoh masyarakat Desa Sigi.

Revolusi mental merupakan upaya preventif secara fundamental yang bertujuan agar pola pikir, perilaku, dan gaya hidup masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan hutan. Revolusi Mental adalah gerakan nasional yang menekankan pada tiga nilai utama; yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Lalu, bagaimana cara mewujudkan revolusi mental ini supaya dapat mendongkrak perilaku masyarakat kearah yang lebih baik untuk mencegah karhutla? Berikut diantaranya :

  1. Memberikan akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh negara dapat membantu membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia;
  2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat khususnya masyarakat desa yang lebih cepat, menyederhanakan regulasi dan proses pelayanan yang tidak berbelit-belit, respon yang cepat, serta modernisasi teknologi pendukung pelayanan publik;
  3. Sosialisasi/edukasi/penyuluhan rutin oleh pemerintah pusat mengenai kebakaran hutan dan lahan secara merata diseluruh wilayah Indonesia dengan cara membuat alat peraga, poster, spanduk, papan peringatan, dan lain-lain yang berisi pesan-pesan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran areal hutan dan lahan serta sanksi apabila melakukan pembakaran hutan dan lahan dengan sengaja;
  4. Pemerintah pusat bersinergi dengan pemerintah daerah, aktivis, akademisi, pihak swasta dan seluruh lapisan terkecil masyarakat dalam pelaksanaan program revolusi mental ;
  5. Pendampingan intensif terhadap masyarakat yang akan melakukan pembukaan lahan tanpa bakar sehingga masyarakat merasakan kepedulian yang diberikan oleh pemerintah;
  6. Memberikan fasilitas pendukung untuk masyarakat sebagai bentuk dukungan nyata pengelolaan lahan tanpa bakar seperti memberikan peralatan tebas atau tebang dan bibit tanaman. Hal ini juga sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat;
  7. Masyarakat saling bahu membahu untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar untuk mewujudkan nilai gotong royong dan etos kerja;
  8. Menggiatkan dan menekankan bahaya pembukaan hutan dan lahan dengan dibakar oleh unsur masyarakat yang paling dekat dengan masyarakat yakni tokoh masyarakat, kepala desa, RT, RW dan masyarakat yang memiliki pengaruh kuat untuk menggembleng masyarakat dari ketidak tahuan dan ketidak ingin tahuan terkait isu karhutla karena bencana karhutla adalah tanggung jawab bersama;
  9. Mewajibkan gerakan revolusi mental kepada mahasiswa yang melakukan pengabdian masyarakat, karena mahasiswa sebagai generasi muda yang diharapkan menjadi agent of change mampu mewujudkan program ini sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat;
  10. Pemerintah bersinergi dengan influencer untuk memperluas informasi upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), karena revolusi mental tidak hanya dikhususkan untuk masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan dan lahan;
  11. Menyiapkan satuan tugas penanggulangan karhutla di dinas terkait sesuai tugas dan tanggung jawab yang dilengkapi dengan peralatan pendukung, dengan kesiapan fisik dan mental yang dilandasi komitmen, moral, serta disiplin kerja melaksanakan tugas di lapangan; dan
  12. Masyarakat yang telah memiliki kesadaran akan hal ini, hendaknya berperan aktif dalam mewujudkan revolusi mental untuk mencegah karhutla, seperti:
  • Tidak membakar hutan dan lahan sama sekali meskipun pembakaran hutan dan lahan secara terkendali diperbolehkan. Karena pembakaran lahan berdampak pada kualitas tanah;
  • Ikut mengkampanyekan gerakan revolusi mental untuk menghadapi karhutla;
  • Mengingatkan teman, tetangga, orang tua, saudara, dan setiap orang disekitar untuk tidak melakukan pembakaran hutan dan lahan baik secara sengaja dan lebih berhati-hati saat beraktivitas yang memanfaatkan sumber daya alam ini;
  • Tidak membakar sampah/sesuatu di areal hutan dan lahan tanpa memastikan api benar-benar padam; dan
  • Tidak membuang puntung rokok dan atau memperingatkan masyarakat disekitarnya agar tidak membuang puntung rokok sembarangan di sekitar hutan dan lahan karena dapat memicu kebakaran.

Perombakan konstitusional saja tidak cukup untuk menghadapi isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), namun juga harus dibarengi dengan perombakan manusia dan sifatnya. Seharusnya masyarakat menyadari bahwa sumber daya alam tidak hanya diciptakan untuk dikuras manfaatnya tetapi juga harus dilindungi demi membangun kehidupan dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya yang berkesinambungan.

--

--