Berilmu tak Bermoral

Lingkaran Solidaritas
Jurnal Lingkaran Solidaritas
7 min readFeb 5, 2018

Ketut Shandy Swastika

Aku

Lahir dari rahim tak bertanah

Lahir dalam jeruji bangsaku

Lahir saat impian dibelenggu

Malam itu tertanggal 2 Mei 1991, aku menjerit, menangis, bermandikan darah merah dan melihat untuk pertama kalinya sebuah cahaya kehidupan. Sayup-sayup kudengar suara seorang perempuan yang tak henti-hentinya mengucap kata syukur pada Yang Maha Kuasa dan kuingat seorang lelaki memanggilku dengan nama “Airlangga Dewantoro.”

Itulah nama pemberian orang tuaku. Jika kutanya bapakku, pasti beliau selalu menjawab, “sekolah dulu yang pinter, pasti tahu nanti artinya”.

“Bapakku seorang buruh tani sedangkan Ibuku suka membantu Bu Yanti untuk mencuci pakaian”, begitulah kataku ketika aku mengenalkan orang tuaku di depan kelas, sewaktu duduk dibangku sekolah dasar.

Jangan dibayangkan! Sekolahku tak seperti sekolah yang berada di perkotaan! Sekolahku sederhana dan kecil, hanya seruas jari jika dibandingkan halaman rumah para menteri. Maklumlah, namanya juga sekolah di pedesaan.

“Gak digubris, Gak direken”

Pak Menteri lebih suka membangun gedung mentereng, pabrik-pabrik, dan hotel wisata. Lebih menguntungkan daripada bangun gedung sekolah untuk anak-anak.

“Orang-orang seperti aku ini, mau makan aja susahnya minta ampun. Bagaimana buat lanjut sekolah?”

Ketika aku beranjak SMP memang sudah ada program dari pemerintah mengenai sekolah gratis sampai SMA, namun tidak semua sekolah bisa gratis. Bisa dibilang sangat beruntung apabila dapat sekolah yang gratis. Gratis itu pun hanya bangkunya. Seragam, buku, belum lagi biaya tambahan lainnya memaksa Bapak-Ibu ku menambah waktunya untuk kerja rodi. Berat sekali melihat Bapak dan Ibu seperti itu, namun mereka ingin sekali melihatku menempuh pendidikan sampai aku sarjana.

Selain biaya, untuk dapat sekolah seperti itu aku ini harus bersaing dengan puluhan teman sebayaku. Belum lagi nanti ketika sudah masuk sekolah, aku harus menempuh jarak yang sangat jauh.

Orang-orang sepertiku ini dari lahir sudah dipaksakan untuk pintar. Jika tidak pintar, hanya bisa membantu orang tua membanting tulang.

Banyak teman-temanku yang tidak beruntung. Dari kampungku hanya 3 orang yang bisa merasakan sekolah sampai jenjang SMP. Dan ketika beranjak ke SMA pun hanya aku yang bisa melanjutkannya, itupun numpang rumah Budhe di kota. Sementara teman-teman sekampungku memilih untuk kerja menjadi buruh di pabrik.

Waktu tinggal di kota, aku menjadi orang yang pendiam. Tak pernah berbicara selain pada keluarga Budhe. Di sekolahku pun juga sama. Bukan karena aku sombong ataupun minder tinggal di kota, namun aku masih mencoba untuk menyesuaikan diri atau lebih tepatnya menjadi orang yang sabar. Sabar akan kata-kata sindiran dan pandangan-pandangan sinis.

“Sabar ya Ngga, ya begini ini kalau di kota. Jangan dibuat pusing. Yang penting kamu disini sekolah yang bener, buat Bapak dan Ibu di rumah bangga”, begitu kata Budhe saat menenangkanku.

“Iya Budhe, Angga sabar, yang buat Angga heran apa ada yang salah dengan seragam Angga ya Budhe ? Seragam yang Budhe kasih kan masih bagus, masih bisa dipakai, tapi kenapa teman-teman Angga di sekolah sepertinya tidak suka ?” Sahutku dengan menatap seragam yang diberikan Budhe kepadaku.

“Apa Budhe belikan seragam baru saja, Ngga? Mau ?” Jawab Budhe.

“Ndak usah Budhe, Angga pakai ini saja,” sahutku atas jawaban Budhe.

“Kamu kalau butuh apa-apa, bilang saja ya Ngga, jangan malu-malu sama Budhe. Anggap Budhe ini Ibukmu, mas Nur itu kakakmu sendiri, ya Ngga”, Tambah Budhe meyakinkanku.

“Iya Budhe,” sahutku dengan tersenyum bangga.

Esok harinya, kan kutatap mata yang memandang, kusapa hiruk pikuk perkotaan dengan badan tegap dan yang pasti tidak ada kata ‘minder’ lagi dalam diriku. Aku mulai memperkenalkan siapa diriku yang selama ini dikenal dengan sebutan ‘ndeso’.

Lambat laun aku pun banyak teman. Mulai dari yang ingin mencoba berteman sampai yang menjadi teman seperjuanganku. Namun, aku tak pernah membeda-bedakan perlakuanku kepada mereka, semuanya kuanggap sama.

Hari-hari selanjutnya, aku kembali jalani aktifitasku seperti biasa. Mulai belajar, bersekolah, membantu Budhe bersih-bersih rumah, sampai mengantar nasi bungkus ke warung-warung.

Bermain ? Hampir aku tak pernah merasakannya, aku hanya bermain pada saat aku benar-benar mempunyai waktu luang. Mau bagaimana lagi, subuh aku bersih-bersih rumah, bantu Budhe ngantar nasi, terus sekolah, sepulang itu langsung pulang untuk istirahat. Lalu sorenya, sebelum membaca, diskusi dengan Mas Nur setelah itu tidur lagi.

Ngobrol dengan Mas Nur itu sangat menambah pengetahuanku, Mas Nur selalu bilang kepadaku bahwa, “yang namanya ilmu pengetahuan tidak hanya teori-teori dari buku, namun juga bisa didapat dari diskusi kecil seperti ini. Setiap orang punya pengetahuan yang belum kamu ketahui.”

Sepulang dari kerja Mas Nur selalu mengajak ku untuk berdiskusi, pertama-tama Mas Nur mengajak ku membicarakan apa yang kudapat dari sekolah. Kemudian memberiku bacaan yang tidak bisa aku dapatkan dari sekolah. Ini lebih membicarakan pada sejarah dan kondisi sosial yang pernah dan bahkan sedang terjadi di Negaraku ini.

Awalnya memang heran kenapa Mas memberiku bacaan seperti itu, namun lambat laun aku menyadari bahwa penting adanya untuk mengetahui akan hal tersebut.

Mas Nur hanya lulusan SMA, namun jika dibandingkan dengan sarjana, aku bisa bilang kalau dia lebih pintar. Aku berani berkata demikian bukan karena dia Kakakku, namun melihat kecerdasannya yang bukan main. Tidak hanya dari teori namun juga pembacaannya yang paham akan kondisi sosial yang sedang terjadi.

“Ngga, yang Mas diskusikan dengan kamu ini jangan pernah kamu ambil mentah-mentah, kamu juga harus melihat dan membaca situasinya menurut pandanganmu sendiri”, Pesan Mas Nur yang selalu berkata seperti itu waktu diskusi.

“Mungkin saat ini kamu masih sulit untuk bisa melihat dan membaca seperti itu, namun nanti pasti ada waktunya kamu bisa paham apa manfaat diskusi kecil seperti ini,” tambah Mas Nur.

“Oh iya, selesai SMA kamu mau langsung cari kerja atau kuliah dulu, Ngga ?” Tanya Mas Nur kepadaku yang waktu itu memang aku akan lulus dari SMA.

“Masih bingung Mas, pengennya Angga langsung kerja, ndak pengen bebani Bapak sama Ibu terus-terusan. Tapi ya gitu, Mas. Bapak dan Ibu malah pengen Angga jadi sarjana. Padahal kuliah kan biayanya sangat mahal. Menurut Mas Nur, bagaimana enaknya?”, klutikku pada Mas Nur.

“Angga.. Angga,” Sahut Mas Nur sambil menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil.

“Lho kenapa Mas Nur kok jawabnya gitu?” Tanyaku keheranan.

“Tidak kenapa kenapa, Ngga. Mending kamu kuliah saja sana biar dari keluarga kita ada yang jadi sarjana. Nanti soal biaya jangan dibingungin, Mas Nur bisa bantu Bapak dan Ibumu. Udah, jangan mikirin biaya. Ndak ada habisnya kalau kamu mikir soal itu,” sahut Mas Nur.

“Orang di Negara kita ini apa-apa beli kok, sudah tidak ada yang gratis. Kalau tidak mampu beli, ya sudah. Tinggal gigit jari,” Tambah Mas Nur.

“Sekarang sudah tidur dulu sana besok kamu kan pengumuman lulusmu”, Kata Mas Nur yang langsung menutup pintu kamar.

Kata-kata Mas Nur itu membuatku tidak bisa tidur, kepalaku terus menerus memikirkan apa yang dikatakan oleh Mas Nur. Malam itu memang terasa panjang, namun akhirnya aku pun juga bisa tertidur lelap.

Keesokan harinya, untuk pertama kali aku dibangunkan Budhe. Malu rasanya ketika itu aku tidak bisa membantu Budhe untuk bersih-bersih rumah dan juga mengantar nasi bungkus ke warung. Padahal hari itu adalah hari istimewa.

“Ngga, ayo bangun! Sudah siang!,” peringat Budhe kepadaku.

Aku pun bergegas pergi ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusanku. Sesampainya di sekolah aku harus lebih berpikir lagi, kuliah atau mencari uang agar bisa membayar kebutuhanku di negaraku sendiri ?

Akhirnya aku memilih kuliah, memenuhi harapan bapak dan ibuku.

Masa penerimaan mahasiswa baru kujalani. Tidak seperti yang kubayangkan, kegiatan ini menyiksa dan menyusahkan. Mungkin karena mereka ingin membalas apa yang sudah mereka dapatkan sebelumnya kepada generasi selanjutnya. “Kisah saling balas membalas.”

Tapi semua tertutupi dengan pikiranku yang dipengaruhi oleh perkataannya Mas Nur. Kelanjutan kuliahku telah digadaikan oleh akademik: kuliah hanya beberapa semester atau aku harus menebusnya dengan biaya mahal? Tapi pakai apa?.

Akhirnya kuliahku berjalan selama tiga semester, atau tiga puluh sembilan minggu. Tiga kali boleh dimanfaatkan bolos di setiap semesternya.

Ini bukan niatku, karena aku sudah nyaman dengan teman-temanku yang beragam. Dari yang ingin berkumpul untuk mencari arti mahasiswa sebenarnya, hingga berkumpul untuk bersenang-senang karena didikan dari internet tuntutan akademik.

Tapi ini kenyataannya, aku harus membeli kebutuhanku. Sekarang waktunya mencari uang, karena akademik telah dahulu merampas kuliahku dengan sistem DO-nya. Mereka telah mengekang kami, hingga kami tak mampu mengutarakan pendapat dan pemikiran yang kritis tentang realisme kehidupan.

Lalu sebenarnya apa yang dikatakan MAHASISWA ?

Bukankah dalam fase ini seseorang dituntut untuk berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan sosial ? Kalau seperti ini yang terjadi maka apa bedanya dengan pendidikan yang aku tempuh sebelumnya ? Hanya biaya MAHAL kah?

Sungguh ironis wajah pendidikan di negeriku. Pendidikan yang seharusnya bisa dirasakan semua kalangan tanpa memandang apapun, tapi apa nyatanya? Dimanakah keadilan negara ini ketika mereka mengubur semua impian anak pribumi dengan memperjual-belikan pendidikan?.

Aku tahu

Aku lahir dari rahim rakyat jelata

Tapi aku juga paham

Aku harus tetap berjuang untuk memperoleh hak-hakku, yakni pendidikan, hak hidup dan bagaimana yang seharusnya kudapat dalam hidupku. Aku berdiri di atas kenyataan hak dasar hidupku yang telah dikebiri.

Dan kiniku bertanya pada kalian yang hidup ?

Pantaskah bila kami yang sedarah dan setanah air dengan kalian mendapat hak yang berbeda karena kami berbeda kalangan dengan kalian ?

Pantaskah bila keinginan orang tua kalian agar anaknya jadi sarjana dan berguna bagi bangsa harus dihapuskan ?

Tidak! Toh, tukang sampah sekalipun berguna bagi negara !

Namaku Airlangga Dewantoro.

Airlangga lambang graha sarjana yang diinginkan rakyat sepertiku untuk mendudukinya,

Dewantoro diambil dari nama Ki Hadjar Dewantara, Bapak pendidikan di Negaraku.

Dan senantiasanya…

Semua orang menginginkan pendidikan yang mengalirkan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi bangsa dan tanah air. Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara mewariskan taman siswa bagi anak-anak, yang katanya merdeka.

--

--