MEMBACA TATA KELOLA KOTA SURABAYA: “PRODUKSI RUANG” & PERMAINAN REGULASI

Lingkaran Solidaritas
Jurnal Lingkaran Solidaritas
5 min readDec 31, 2018

Erwin Dewantoro (Lapak Baca Aksara & Penggagas Aliansi Literasi Surabaya)

Aksi warga Sepat Surabaya dalam mempertahankan waduknya

“Barangkali semua hukum tidak ada gunanya, karena orang-orang baik sama sekali tidak menginginkan hukum, dan orang-orang jahat tidak menjadi lebih baik karena hukum.” — Demonax

Sistem kapitalisme berkali-kali sekarat, tetapi selalu mampu bertahan dan beradaptasi dengan bermetamorfosis ke aneka rupa, bahkan lolos dari gempuran spekulasi para kalangan yang mengabarkan, sekaligus mengharapkan, keruntuhan kapitalisme. Salah satu unsur utama yang menopang kekuatannya adalah ekspansi terus menerus atas ruang (space).

Pada awalnya, Karl Marx menekankan bahwa kunci dari akumulasi kapital adalah ketika kapital berusaha menyingkirkan semua hambatan spasial agar pasarnya selalu melimpah ruah. Sehingga saat itu, dapat dikatakan, kapital sedang berusaha melenyapkan ruang dengan waktu (to annihilate space by time), yaitu dengan meminimalkan waktu yang diperlukan untuk sirkulasi modal, tenaga kerja maupun produknya dari satu tempat ke tempat lain. Selanjutnya, tesis Marx tersebut dikembangkan Henri Lefebvre melalui teorinya tentang produksi ruang (production of space).

Menurutnya, setiap bentuk masyarakat menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri. Di abad pertengahan, produksi ruang di bawah sistem feodalisme bercorak seperti manor-manor yang dihuni para petani kecil dan dikuasai para tuan tanah. Sedangkan dalam masyarakat kapitalis, wujud ruang bercorak seperti intervensi perbankan, jejaring infrastruktur dan pusat-pusat bisnis yang berada di satu lingkup wilayah untuk memudahkan arus perputaran ekonomi.

Ruang tidaklah netral dan pasif, sebab ruang merupakan instrumen utama bagi transformasi sosial-ekonomi suatu perkotaan. Karenanya, praktek tata ruang tidak pernah bebas dari keberpihakan aktor yang membuat regulasi tentang tata ruang. Merujuk pada pernyataan Lefebvre, perkembangan kota dunia di abad ke-21 cenderung mengarah pada corak kota-kota kapitalis. Secara gamblang dapat dilihat bahwa sejauh ini ruang-ruang kota telah didesain sedemikian rupa oleh pemerintah, kalangan akademisi dan praktisi, selanjutnya saling diperebutkan dan dikontestasikan oleh para investor.

Padahal, menurut Lefebvre, dan diformulasikan lebih lanjut oleh David Harvey, pada produksi ruang (production of space) terdapat ketegangan yang terus terjadi secara berulang antara masalah ruang dan masalah sosial yang di dalamnya. Sehingga analisis ruang saat ini tidak bisa dilepaskan dari analisis tentang pembangunan, pelestarian, dan perluasan kapitalisme modern serta fenomena urbanisasi kapital. Artinya, dalam menganalisa tata ruang kota berarti perlu menelaah arah pembangunan kota tersebut.

Pembacaan mengenai regulasi tata ruang, khususnya dalam implementasi Peraturan Daerah (Perda) atau Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) suatu kota, dapat ditemukan bagaimana ruang-ruang kota dikonstruksi dan dikonfigurasikan sedemikian rupa oleh tiap-tiap aktor berdasarkan kepentingannya masing-masing. Diwujudkan dalam pendirian bangunan, area industri, jaringan transportasi, taman, ruang terbuka hijau, dan berbagai infrastruktur lainnya. Proses tersebut menggambarkan relasi kuasa antar berbagai aktor yang berada dalam lingkaran kontinuitas konflik dan kontestasi atas lahan-lahan kota.

Surabaya, pada tanggal 25–27 Juli 2016, menjadi tuan rumah penyelenggaraan PrepCom3 & UN Habitat III Conference. Agenda yang melibatkan PBB dan banyak perwakilan negara adidaya ini diklaim sebagai ajang bergengsi dalam penyelesaian masalah-masalah perkotaan di seluruh dunia karena membahas isu-isu penting menyangkut pembangunan kota yang berkelanjutan, kemiskinan, lingkungan hidup, urbanisasi, dan sebagainya. Secara sekilas, agenda kelompokkelompok developmentalis tersebut nampak menghadirkan tujuan mulia demi tata kelola kota yang lebih manusiawi.

Namun, pada kenyataannya, apa yang diagendakan dengan apa yang dipraktekkan selama ini oleh Pemkot Surabaya sangatlah bertolak belakang. Surabaya memiliki banyak sekali masalah dibalik julukannya sebagai kota yang mengampanyekan penghijauan, hal itu dapat terlihat jelas dengan penyempitan ruang-ruang kota, meningkatnya krisis sosial-ekologis, eskalasi konflik dengan warga setiap tahunnya, serta tiadanya akses dan hak warga untuk terlibat sebagai subjek aktif dalam tata kelola kota.

Eksistensi Surabaya sebagai kota modern yang dikelola berdasarkan aturan maupun kebijakan yang bermasalah menimbulkan berbagai macam silang sengkarut tata ruang. Salah satunya, memiliki ciri khas yaitu pemusatan operasi kekuatan kapital dalam ruang-ruang tertentu, contohnya keberadaan kawasan pabrik dan perkantoran di selatan Surabaya yang terkenal dengan sebutan SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut). Pasca tahun 2000-an, kawasan industri di Surabaya bergerak ke barat dan beberapa di antaranya berpindah ke daerah lain, seperti Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, dan seterusnya.

Perkembangan industri yang semakin cepat di Surabaya telah mendorong transformasi lanskap spasial seiring terkonsolidasikannya kekuatan ekonomi-politik di tangan penguasa atau golongan elit yang membuat kebijakan tata ruang prokapitalis. Berbagai instrumen yang merepresentasikan kehadiran negara, dalam hal ini pemerintah kota, tidak pernah memihak kebutuhan ruang-ruang bagi masyarakat miskin sehingga pada akhirnya mereka selalu tergusur ke wilayah pinggiran.

Karakter lain dari Surabaya yang dibangun dengan mengandalkan kekuatan para pengembang (developer) adalah adanya penamaan (branding) atas ruang-ruang kota yang telah diakuisisi dan didirikan kompleks bangunan, untuk menunjukkan bahwa wilayah tersebut masuk daerah kekuasaannya dan telah dikonfigurasikan sesuai kebutuhan mereka.

Seperti Pakuwon Center, hanya sedikit ruang yang tersisa untuk kebutuhan publik. Sebagian besar telah menjadi kawasan komersial dan representasi eksistensi atas kekuatan kapitalis. Grup Pakuwon, juga menguasai sekitar 330 hektar untuk pengembangan perumahan Grand Pakuwon Surabaya Barat. Taipan besar lainnya, Grup Sinarmas, menguasai 120 hektar dalam pengembangan perumahan Bukit Mas I dan II. Sedangkan Grup Ciputra, hingga Juni 2015, telah menguasai 5.325 hektar lahan di wilayah perkotaan; lahan-lahan tersebut sebelumnya adalah milik warga, beberapa bahkan hingga hari ini masih terlibatkonflik dengan warga.

Salah satunya, kasus tukar guling (ruitslag) Waduk Sepat antara Pemkot Surabaya dan PT Ciputra Surya, yang merupakan bagian dari kesepakatan pembangunan Gelora Bung Tomo atau Surabaya Sport Centre (SSC) di daerah PakalBenowo. Pemindahtanganan tersebut dilegitimasi dengan dikeluarkannya SKWalikota Surabaya №188.451/366/436.1.2/2008. Berikutnya dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah WadukSepat dinyatakan sebagai tanah pekarangan, padahal hingga hari ini kawasan tersebut masih berfungsi selayaknya waduk normal.

Sebelumnya pemerintah mengklaim bahwa tanah Waduk Sepat selain sebagai tanah kas desa jugamerupakan tanah ganjaran, padahal fakta di lapangan menjelaskan bahwa WadukSepat bukan tanah ganjaran. Waduk tetap waduk, sedangkan tanah ganjaranbiasanya berupa sawah atau tegalan yang hasil panennya untuk gaji perangkat desa.Tanah yang ada di Waduk Sepat dulunya memang benar berstatus sebagai tanah kasdesa (bondho deso) tetapi semenjak adanya perubahan status dari desa menjadikelurahan maka hak pengelolaannya diambilalih Pemkot sebagai aset daerah.

Adanya beberapa regulasi yang menopang ekspansi kapital atas ruang tersebut menggambarkan bahwa ketika suatu saat status kepemilikan lahan atau aset daerah mengalami perubahan, maka dalam hal ini pemerintah kota tidak perlu mendapatkan persetujuan dari warga untuk mengalihkan status kepemilikan lahan. Sehingga apabila pemerintah kota ingin menjual atau memindahtangankan suatuaset maka tidak perlu meminta izin kepada warga yang bermukim di sana.

Contoh kasus lainnya, pemberian izin reklamasi Pantai Kenjeran untuk proyek perluasan kawasan perumahan dan apartemen Laguna Indah, sekaligus area pariwisata dan sentra perdagangan. Pemberian ijin tersebut merupakan suatu bukti dari ketidakberdayaan Pemkot Surabaya terhadap kekuatan kapitalis. Kian melesatnya jumlah gedung-gedung pencakar langit di Surabaya hingga menjadi kawasan pusat bisnis dan hunian apartemen mewah ini adalah wujud dari praktik spasial, ruang representasional atas kekuatan kapital yang berkolaborasi dengan arsitek dan para ahli planologi. Sementara itu kawasan hunian yang dibutuhkan kelompok masyarakat menengah ke bawah tidak banyak disediakan oleh pemerintah dan pengembang.

Cerminan infrastruktur lainnya yang secara gamblang dibangun demi kepentingan para investor adalah jaringan transportasi MERR timur dan barat. Tanah di perkotaan sangat mahal, terutama daerah tengah kota, ketika rancangan pembangunan tersebut sudah disahkan menjadi sebuah kebijakan maka pemerintah kota membutuhkan investor untuk membiayai proyek skala besar guna melakukan perombakan infrastruktur jalan raya tersebut. Konsekuensinya, sepanjang jalan alternatif tersebut akan dipenuhi banyak gedung perkantoran, apartemen, pusat pertokoan, sentra bisnis, restoran dan perumahan mewah.

Meminjam istilah Harvey, keberadaan jalan bebas hambatan tersebut adalah indikasi revolusioner kapitalisme. Menurutnya, kota-kota modern telah menjadi sumber akumulasi modal. Fenomena tersebut pada akhirnya juga dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan Pemkot Surabaya semakin lama semakin berkurang untuk mengendalikan keberadaan dan fungsi suatu ruang.

--

--