Mengapa Warga Pesisir Selatan Harus Menolak Pertambangan?

Lingkaran Solidaritas
Jurnal Lingkaran Solidaritas
3 min readJan 16, 2019

Wahyu Eka Setyawan (LiSo)

Ada kabar dari warga Silo Jember berhasil memenangkan pertarungan maha dahsyat, ketika mereka berhasil mendesak Bupati untuk menolak pertambangan emas. Di sisi lain, seorang warga bernama Budi Pego sedang berurusan dengan hukum, akibat dituduh menyebarkan komunis. Padahal Budi Pego hanya sedang berdemonstrasi, menolak adanya pertambangan emas di wilayahnya.

Begini kisahnya, pada suatu waktu ketika ada aksi tolak tambang emas, tiba-tiba ada spanduk siluman (serupa palu dan arit) yang menghinggapi Budi dan kawan-kawannya. Dia dan beberapa kawannya ditetapkan sebagai tersangka. Apesnya Budi akhirnya dibuikan, sementara kawannya yang lain statusnya menggantung. Mereka semua disidangkan atas tuduhan menyebarkan komunis. Dengan dalih komunis mengusik iman, mengancam negara, dan argumentasi tak logis lainnya, pffft!!!!

Budi sendiri tidak tahu apa itu komunis, jika Marx memimpikan masyarakat tanpa kelas. Maka Budi tahunya kelas itu hanya ada dijenjang sekolah, atau kategorisasi di olahraga tinju.

Tetapi yang jadi pertanyaan mendasar yaitu, kenapa kok warga di wilayah pesisir selatan Jawa Timur, harus berdarah-darah melawan tambang. Khususnya warga Jember dan Banyuwangi yang tinggal di pesisir selatan Jawa Timur. Sampai-sampai mereka mempertaruhkan nyawanya, bahkan harus susah-susah keluar masuk pengadilan.

Mereka melakukan itu semua, karena ruang hidupnya terancam musnah. Khususnya nasib anak cucu mereka dan tentunya mereka takut kualat. Karena makam-makam leluhur mereka juga terancam hilang tak berbekas. Bukan karena sok-sokan, atau merasa paling berkuasa.

Perlu diketahui, jika di wilayah pesisir selatan Jawa Timur itu rawan bencana alam. Karena di wilayah Pesisir Selatan itu berdekatan dengan Samudra Hindia dan busur luar Circum Meditteranean, yang rawan dihinggapi bencana berupa gempa.

Tapi Tuhan itu maha adil, wilayah tersebut dikaruniai geomorfologi yang menajubkan, ada gunung, ada pula gumuk pasir. Semuanya itu memiliki fungsi sebagai benteng pertahanan, guna melindungi rakyat di wilayah pesisir selatan.

Namun anehnya, akibat ditemukan kandungan mineral baik logam maupun non-logam, semua itu diabaikan. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah pertambangan dan diobral murah. Tidak hanya sumber dayanya yang diobral murah, tapi nyawapun juga semacam diobral.

Lah!! bagaimana tidak, ketika gunung, gumuk pasir yang eksotis itu dieksploitasi dengan cara diekstrasi, benteng alami itu akan hancur. Tentu angin kencang, ombak besar, hingga potensi tsunami akan mengancam keselamatan rakyat.

Percuma dong, melakukan pelatihan mitigasi bencana alam selama ini. Jika salah satu yang menyebabkan bencana adalah rusaknya ekosistem. Sudah diobral murah, eh bukannya untung malah buntung. Bayangkan berapa biaya yang akan dikeluarkan ketika darurat bencana, baik pertolongan pertama hingga pemulihannya. Itu lebih banyak dari pajak yang dibayarkan korporasi, atau uang (suap) CSR yang selama ini dibayarkan. Hanya karena tambang yang dinikmati segelintir orang, eh dampaknya menyakiti banyak orang, inalillahi.

Parahnya praktik-praktik demikian masih dilanjutkan oleh pemangku kebijakan, mereka tak kunjung mendapatkan hidayah, padahal banyak kajian dan penelitian yang berjibun, bisa diakses di perpustakaan hingga penyedia jurnal dari yang gratisan hingga berbayar. Nasib dan nyawa rakyat dipertaruhkan, akibat darI kebebalan dan kepandiran para pemangku kebijakan.

Bahkan jika mau belajar dari sejarah, pada 3 Juni 1994 Banyuwangi pernah dihantam tsunami. Tepatnya di daerah Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi. Dampaknya ngeri sekali, namun tidak sampai meluas, karena di sana ada benteng pertahanan canggih bernama gunung Tumpang Pitu. Anehnya, gunung tersebut kini sedang terancam oleh pertambangan emas.

Bisa berimajinasi sedikit gak? Saya kira kawan-kawan semua yang pikirannya terbuka pasti bisa membayangkan, betapa mengerikannya bencana itu.

Tapi anehnya, para pemangku kebijakan itu tidak melihat itu, entah apa yang dipikirkan sebenarnya. Main obral izin tambang di wilayah yang rentan dan rawan bencana. Apa mereka telampau cerdas ya, atau ada solusi lain, menambang tanpa merusak, mari kita renungkan sejenak.

Apa itu mereka yang memegang pemerintahan terlampau miskin imajinasi? Sehingga tidak bisa melihat betapa terancamnya rakyat di wilayah itu.

Demi keuntungan yang tidak seberapa, keselamatan rakyat dipertaruhkan. Kalau bencana katanya takdir, dan bagian dari garis hidup Tuhan. Padahal Tuhan telah memperingatkan manusia, agar menjaga alamnya dan memanfaatkannya dengan bijak.

Ingatlah wahai manusia, Tuhan juga berpesan “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan karena perbuatan manusia.” Masak masih mau bebal dan malas berimajinasi?

--

--