Mixtape Anti Penggusuran :
5 Tembang Perlawanan Untuk Mengusir Rezim Infrastruktur Fasis

Lingkaran Solidaritas
Jurnal Lingkaran Solidaritas
7 min readMay 22, 2018

*Doni Darmawan (Perpustanam CilukbaXLiso)

Musik secara harfiah memiliki makna yang cukup luas, tiap-tiap penikmat memiliki selera maupun cara pandang tersendiri dalam mendefinisikannya. Saya tidak akan membahas musik secara teoritis atau puitis atau justru terjebak dalam pembahasan yang filosofis nan menye-menye. Karena bagi saya pribadi, musik ialah komponen yang senada dengan ucapan Paulo Freire. Beliau mengatakan:

“Reading a word cannot be separated from reading the world, and speaking a word must be related to transforming reality.”

Pemilihan lagu pada susunan paragraf di sini memang murni pandangan subjektif, saya dalam meletakkan musik tidak hanya sebatas seni olah nada atau produk kebudayaan siap jual, akan tetapi bagaimana melihat lebih jauh bahwa musik juga menyimpan energi perubahan bahkan nuansa pemberontakan yang mampu melewati berbagai dimensi waktu.

Di berbagai lini jejaring komunitas antar kota hari ini, perbincangan mengenai polemik sengketa lahan, perampasan ruang hidup, privatisasi ruang publik serta praktik kriminalisasi menjadi isu yang lantas dimanifestasikan melalui penggalangan solidaritas, sebagai upaya menjaga bara api resistensi. Semoga terus menyala bung !!!

Kini tibalah tanpa basa basi, waktunya mendedah 5 track list pilihan yang cukup kontekstual dengan upaya-upaya pengorganisiran komunitas untuk melawan kejahatan negara terhadap warganya. Berikut daftar 5 lagu protes lokal tersebut :

Iwan Fals – Ujung Aspal Pondok Gede

https://youtu.be/lj6tWFzwwkQ

Bagi kebanyakan publik Indonesia tentu tidak asing oleh sosok Iwan Fals. Tokoh yang juga menjadi simbol perjuangan kaum tersisih ini mampu menyihir segala lapisan usia untuk larut dalam lirik-liriknya yang tak jauh dari riuh terminal, prostitusi, kaum miskin kota, buruh, dan tani. Pada Ujung Aspal Pondok Gede ini Bang Iwan sapaan akrabnya, hendak menangkap satu realita bahwa pembangunan itu tidak melulu membawa kesejahteraan.

“Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota.”

Lirik tersebut begitu lugas menyampaikan sebuah proses yang dalam teori Marx akumulasi Primitif, di mana perluasan landskap industri menumbalkan lahan-lahan di desa dan mencabut paksa warga bertanah untuk dijadikan buruh buruh murah. Masih relevan bukan ? atas kondisi hari ini, di mana ruang hidup tidak dilihat sebagai sarana keberlanjutan dalam konteks ekologis, namun oleh para investor tanah lapang, bukit hijau, gunung, hutan semuanya bernilai ekonomis. Di bawah taklid perputaran modal, untung, untung dan untung adalah sebuah harga mati.

Kepal Spi –Ngelawan

“Bangunlah sudah tiba waktunya, untuk kita saling bergandeng tangan merebut segala perubahan, ayo lawan, lawan, lawan hancurkan segala bentuk penggusuran."

Kelompok musisi dengan tampilan tak beraturan asal Kota Gudeg ini telah banyak menelurkan tembang-tembang berbahaya. Salah satunya ialah Ngelawan, saya tidak tahu persis kapan tepatnya lagu ini dibuat. Tapi yang pasti perkenalan saya dengan Ngelawan ini bermula ketika di salah satu media sosial, terdapat video cuplikan aksi kawan kawan di Bandung yang menolak program RUDET (rumah deret). Karena program ini telah cacat prosedur, tanpa AMDAL dan mengancam wajah keasrian Kampung Tamansari.

Pada 6 Maret 2018 sejumlah kawan beserta elemen yang mempertahankan Tamansari dari gempuran backhoe, seketika diserang, dikejar oleh gabungan aparat dan ormas bayaran. Kebrutalan ini memakan korban, beberapa kawan mengalami luka akibat tindakan represif aparat. Semangat bung, Tamansari tidak sendiri !!!

Ngelawan tidak terlalu sulit di telinga pendengar untuk mengartikannya, sebab Kepal Spi berhasil merangkum titik titik konflik perampasan ruang melalui bahasa embongan yang lugas, sederhana, nan merakyat itulah manifestasi Kepal Spi.

Nectura – Tirani Mati

https://youtu.be/avgTkQ6vR84

Mengusung genre melodik detah metal/metalcore, amunisi muda Kota Kembang ini terbilang cukup agresif baik dari olahan skill maupun cara mereka berdialog. Melalui lagu Tirani Mati, Nectura mengajak kita berdialog untuk menyelami sebuah kondisi dimana kultur-kultur bisu yang begitu subur dibawah kaki kekuasaan. Bait liriknya begitu mengacam, yang tanpa kompromi sedikitpun seperti pada penggalan:

“Tak akan sembunyi, lidahku mengecam, menolak bungkam, kerap ku diancam kala buas mengganas pantang aku memelas."

Ancaman yang dilontarkan tidak hanya berhenti disitu saja, simak saja pada bagian akhir lagu.

“Aku masih disini, takan beranjak menolak bungkam, aku muak mengabdi ini tirani haruslah mati."

Damn!!! Alhasil setelah memutar lagu ini kita segera akan disajikan oleh sebuah realitas, di mana Tirani sebagai konsep kerja otoritarian tidak sekedar dongeng fiktif. Tapi saat ini Tirani itu tersaji dalam drama investasi, regulasi pro modal dan disertai keterlibatan Militer maupun Kepolisian yang berfungsi untuk mengamankan arus pintu modal.

Hampir semua lahan produktif milik warga kini dibabat habis, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat jumlah konflik agraria di tahun 2016 sebanyak 450 konflik dengan luasan konflik 1.265.027 hektar. Sedang setahun berikutnya yakni pada tahun 2017 eskalasi konflik meningkat menjadi 659 konflik ditambah kasus tambahan sebanyak 209 konflik, tentu luasan areal konflik bertambah.

Di tahun 2017 areal konflik meluas menjadi 520.491.87 hektar. Ini sebuah bukti kuat bahwa Negara terus menyingkirkan rakyat melalui dalih pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan tersebut jelas bukan berdasar atas kepentingan rakyat. Terlebih cara-cara yang diterapkan telah banyak melanggar hak hidup, mulai dari penembakan, pemukulan sampai penangkapan.

Maka jangan pernah beranjak, mari kita belajar dari perjuangan warga mulai dari Rembang, Banyuwangi, Alastlogo, Papua, Indramayu, Majalengka, Kulonprogo, Banyumas, Tamansari, Waduk Sepat, Banggai dll. Mereka tidak sedikitpun meninggalkan tanahnya atau justru ketakutan kala alat berat itu datang. Mereka teguh untuk menolak bungkam !!!

Taring-Lihatlah Kami

https://youtu.be/guseNgz5XRk

Dalam wawancara disebuah portal online tentang musik, Hardy selaku vokalis Taring yang juga eks vokal dari Outright ini secara sederhana, mengatakan:

“Hardcore menurut saya (Hardy) itu bukan dari segi tampilan, atau musik. Tapi Hardcore yang sesungguhnya itu yang bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari – hari, bagaimana cara kami menanggapi sesuatu, bagaimana cara kami melawan hidup, bagaimana cara kami menyelesaikan suatu permasalahan dan bagaimana cara kami memegang sebuah prinsip. Kurang lebih seperti itu pandangan saya (Hardy) terhadap Hardcore."

Tidak salah jika Taring disematkan sebagai sebuah identitas oleh Hardy cs, komponen thrash, punk, groove, hingga stoner menjadikan Taring cukup buas dalam memprovokasi telinga pendengar. Ketajaman Taring tidak sebatas pada genre yang mereka usung, akan tetapi juga melalui lirik-liriknya yang sarat akan kemuakan, protes dan amarah.

Kondisi tersebut berhasil mereka kumpulkan hingga menjadi album pertama, Nazar Palagan. Pada album Nazar Palagan, semua track memiliki lirik yang cukup kuat, apalagi pada track Kata-Kata Belum Binasa yang secara khusus didedikasikan untuk perjuangan Wiji Thukul. Namun karena menyesuaikan tema penulisan, saya tidak mengambil track tersebut. Di Nazar Palagan sendiri cukup banyak referensi mengenai cara meluapkan kemuakan, salah satunya di track Lihatlah Kami.

“Lihatlah Kami memuat persoalan klasik di negeri ini, di mana mereka yang berdasi mendapat kursi empuk jabatan, menghuni hunian mewah. Tiba tiba dalam sekejap dilanda amnesia, lupa atas pidatonya, penyampaian visi-misi kala kampanye, lupa dan lupa segalanya.”

“Hey kau yang kami beri dasi/lupakah kau pada kami/lihat wajah ini pandangi luka kami. Lihatlah kami/berjuang tanpa henti/demi masa terkini/akankah kami raih di ladang sendiri. Lihatlah kami/disini tempat kami berdiri/kau injak kau rampas. Disini lahan kami/kau injak kau peras.”

Hey Bung dan Nona sekalian, masih ingat sosok Ganjar Pranowo ?

Silampukau-Bola Raya

https://youtu.be/2n9AgHZMXyc

Surabaya, merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur yang termasuk Kota terpadat di Indonesia juga di kawasan Asia Tenggara saat ini. Sejak abad ke 19 sudah memiliki kepadatan yang tinggi, bersama dengan Batavia dan Semarang. Aktivitas dagang pelabuhan dan industri menjadi faktor utama atas meningkatnya kepadatan penduduk Surabaya. Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang kian melonjak tiap jamannya, ialah kebutuhan akan ruang hidup (pemukiman).

Jika ingin mendalami kompleksitas ruang Kota, maka di buku Purnawan Basundoro Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Surabaya 1900-1960-an, kita akan menemukan fakta bahwa ruang Kota merupakan representasi pertarungan dua kelas, di mana kelompok pribumi selalu tersingkir oleh kebijakan kolonial yang menginginkan sebuah pemukiman bersih, rapi dan sehat. Tentunya aturan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk mengukuhkah kekuasaan kolonial secara mutlak, melalui bangunan/simbol arsitektur.

Proses marjinalisasi itupun masih berlangsung sampai hari ini. Surabaya gencar “mempercantik” diri, lahan-lahan pinggiran Kota terancam oleh bisnis property hunian, seperti kasus PT.Ciputra Land beserta Pemkot yang masih angkuh untuk merebut hak hidup warga atas Waduk Sepat yang juga berfungsi sebagai identitas sosio-kultural warga setempat.

Kampung-Kampung Kota dianggap sebagai penghambat laju pembangunan atas dasar investasi, Pedagang Kaki Lima juga disingkirkan karena dituduh sebagai biang semrawutnya jalanan Kota.

Oh apakah dengan kondisi demikian, Kota Pahlawan layak untuk menyandang gelar Adipura ? apakah Adipura itu menggadai kemanusiaan ?
Bola Raya telah merangkum bagaimana angkuhnya pembangunan Kota Surabaya, mall dan apartemen megah lebih dipandang bisa meningkatkan kecantikan Kota daripada mempertahankan hak atas ruang hidup warganya. Salah satunya ialah ruang bermain anak.

“Tanah lapang kami berganti gedung, mereka ambil untung kami yang buntung.”

“Kami hanya main bola, tak pernah ganggu gedungmu, kami hanya main bola persetan dengan gedungmu.”

Jika kurang berkenan mendengarkan lagu-lagu diatas, matikan televisi taruh sejenak handphonemu, mulailah membaca !!!!

--

--