Perempuan dalam Dominasi Patriarki

Lingkaran Solidaritas
Jurnal Lingkaran Solidaritas
5 min readMar 2, 2019

Oleh: Rafif 'Alim Rizqullah

Perempuan, siapa sebenarnya mereka itu? Mendefinisikan perempuan, tentunya tidak akan lepas dari konsepsi seks dan gender. Sebab dalam tatanan masyarakat manapun ketika ada perangkat sosial yang tersusun atas elemen perempuan baik massal ataupun personal, disitu juga ada elemen lawan yakni laki-laki. Perlu dipahami bahwa seks merupakan konsepsi pembedaan yang menggunakan pendekatan biologis, yang dimaksud dengan kelamin sebagai pembeda antar jenis, di mana perempuan adalah manusia yang memiliki rahim dan vagina sebagai alat reproduksi secara alamiah atau kodrati (tidak dapat ditukarkan dengan laki-laki).

Sedangkan gender menggunakan pendekatan konstruksi sosial serta kultural dalam membedakan jenis. Sehingga dalam perspektif gender dalam konteks ini ialah dominasi patriarki, maka perempuan sangat erat dengan manusia yang cantik dan lemah lembut serta penuh dengan emosi atau perasaan. Selain itu, jiwa ke”ibu”an juga mewakili apa yang diungkapkan Eti Nurhayati dalam bukunya, Psikologi Perempuan, bahwa perempuan sebagai ibu dari kehidupan. Namun ketika pembahasan mengenai sex dan gender berhenti pada pemahaman tentang perbedaan bentuk tubuh secara ragawi, maka konsepsi ini sangatlah tidak universal.

Pemahaman tersebut lahir dari konteks yang sangat spesifik, yakni dimulai dari sebuah situasi dimana memahami tubuh hanya sampai pada realitas utama dalam menentukan suatu identitas. Colebrook, melihat situasi ini semakin mengantarkan konsepsi dimana seks dipandang sebagai kodrat, sedangkan konsep gender menjadi bagian sebuah gerakan pembebasan dalam koridor konstruksi sosial.

Pada dasarnya masalah struktural terkait relasi gender yang menyebabkan stigma minoritas pada perempuan, sudah timbul sejak manusia memasuki fase kehidupan communal primitive. Tinjauan ini dapat dilihat dari kajian historis, yakni mulanya manusia hidup dengan cara nomaden, berpindah dengan model hidup berburu. Pembagian kerja laki-laki dan perempuan sudah menunjukkan corak hidup berbasis gender.

Konsepsi laki-laki pergi berburu pada struktur masyarakat primitif ini disebabkan kodrat alamiahnya pada bentuk fisik yang mendukung. Sedangkan perempuan bertugas mengolah hasil buruan, lalu menyiapkan penghidupan domestik. Kehidupan sederhana ini menunjukkan sudah adanya sistem struktural sederhana, yang pada akhirnya menempatkan titik peranan perempuan menjadi tereduksi hanya pada fungsi reproduksi.

Lalu kemudian, para pemikir Yunani Kuno lebih menekankan pada esensi dari tubuh daripada berkutat pada bentuk yang paling sesuai dan sempurna untuk suatu fungsi turunan seperti pekerjaan dan status sosial. Karena pada dasarnya manusia bersifat tidak sempurna, sehingga muncul suatu konsepsi pragmatis yang dinamakan potensi. Dari potensi inilah manusia baik laki-laki ataupun perempuan bekerja keras untuk memperjuangkan kelas dan statusnya daripada harus hanyut dalam realitas gender secara biologis.

Karakter dan ciri yang melekat secara biologis maupun psikologis pada perempuan, secara linier memberi pengaruh pada kedudukannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Ketegangan dominasi yang absolut dalam pranata sehari-hari merupakan akibat dari kurang kesadaran gender. Perbedaan ini mendorong paradigma stereotip terhadap perempuan.

Perkara terkait sex dan gender dalam relasi kuasa sistematik patriarki, sejatinya menjadi bawaan struktural dari sistem masyarakat yang hierarkis. Patriarki diambil dari kata “patriarch” yang artinya kekuasaan bapak, yang dimaksudkan disini bahwa patriarki merupakan suatu sistem imajiner dan turun temurun meletakkan laki-laki dalam posisi tertinggi suatu struktur sosial. Hierarki antara maskulinitas dan feminitas kemudian masuk dalam aspek kultural, sosial, dan politik dengan bentuk subordinasi perempuan. Berbagai macam bentuk ketidakadilan yang diterima perempuan, sebaliknya menjadi tiang penegak maskulinitas laki-laki.

Di dalam dunia professional sekalipun, secara eksplisit banyak ditemui indikasi yang menekan posisi perempuan dengan macam-macam subordinasi. Sehingga secara general perempuan tampak hidup sebagai manusia tingkat dua. Serumpun perkara yang berakar dari maskulinitas laki-laki dalam ikatan patriarkis ini menjadi embrio lahirnya gejolak perlawanan kaum perempuan yang berbentuk semangat feminitas. Gerakan fundamental ini semakin membesar hingga menyentuh seluruh aspek dan elemen perempuan. Sehingga membentuk koridor ideologi baru beserta skema sistematisnya untuk tujuan perombakan konstruk sosial berlabel feminisme.

Dominasi kuasa maskulinitas yang langgeng bersama dengan praktek patriarkis dalam berbagai aspek, mewadahi penyimpangan seksual yang berbentuk pelecehan baik secara verbal maupun fisik dan bentuk lainnya. Pelecehan dilihat tidak hanya dalam pandangan salah satu gender atau jika terus hanya menguatkan simpatisan pada salah satu minoritas skala lokal maka ketimpangan dalam skala global tidak akan berhenti berkontradiksi.

Dalam konteks ini, paradigma kesetaraan bukan lagi menjadi format perlawanan atas dasar keperempuanan atau feminisime semata. Pelecehan yang terjadi, seringkali menjadi makanan empuk wartawan media kepada korban yang turut serta membangun framing kepada masyarakat untuk mengamini konstruksi sosial akan pelecehan seksual terhadap perempuan, seperti contoh kasus perkosaan terhadap seorang pasangan kekasih yang diopinikan oleh media sebagai asas “suka sama suka” tanpa melihat bagaimana terjadinya subordinasi yang dilakukan pihak laki – laki ataupun faktor lainnya, dan hal ini seringkali memunculkan konklusi perlawanan terhadap ketidakadilan.

Keaadaan seperti ini terkesan melompati diskursus basis dari suprastruktur yang turut menciptakan pola-pola pelecehan tersebut hingga menjadi sebuah keadaan yang “lumrah” dalam masyarakat. Pelecehan yang diterima perempuan akibat relasi kuasa dari dominasi gender dalam konstruksi sosial masyarakat tidak pernah dinarasikan sebelum terbentuknya kesimpulan melawan.

Seharusnya ketika berbicara kesetaraan, diiringi pula dengan tinjauan dasar tentang kemanusiaan, tetapi hal ini sangat jarang ditemui, jika dibandingkan dengan keseteraan gender yang diprovokasikan sebagai manifestasi dari hak otoritas tubuh hanya secara simbolik. Sehingga secara tematik, wacana perjuangan kesetaraan ini seakan berjalan ditempat dan hanya sebatas membicarakan stigma gaya hidup.

Inilah yang menyebabkan minimnya kesadaran atas kesetaraan gender dan pemahaman status sosial silang seksual. Minimnya kesadaran masyarakat secara umum atas kondisi sosial ini pernah dikemukakan oleh Paulo Freire tentang kesadaran Semi Intransitif yakni keadaan dimana masyarakat yang seolah – olah tunduk pada kenyataan tanpa berhasil memahami adanya banyak tantangan, kesadaran ini tidak bisa mengobjektifikasi fakta dan kehidupan sehari – hari yang sebetulnya mengandung banyak permasalahan sehingga persepsi strukturalnya kurang.

Linda Alcoff menyebutkan bahwa perempuan memiliki posisi tawar dalam masyarakat. Posisi tawar disini dapat dimaknai sebagai mobilitasnya dalam menghadapi tarik-ulur ketegangan dominasi. Hal ini menjadi landasan atas kesadaran gender yang mulai terbangun secara kolektif, sehingga menjadi manifestasi perlawanan terhadap pelecehan seksual. Sebaliknya, ketika kesadaran individual belum terikat dalam satu gerakan yang mampu menggebrak dan melawan ketidakadilan, maka akan sangat utopis untuk menumbangkan dominasi ini.

Saat ini, sudah banyak tumbuh gerakan feminis dimana mereka menghimpun basis massa perempuan dalam pergulatan yang sama melawan patriarki. Namun berbagai bentuk perlawanan ini terasa kurang efektif. Argumentasi foucalt tentang relasi kuasa menggambarkan adanya perbedaan orientasi gerakan dalam skala lokal dan global.

Sehingga kemudian, Foucault meyakini bahwa kelompok yang kecil namun memiliki solidaritas yang lebih dari kesadaran mekanik tapi lebih pada hal yang organik atau fundamental seperti halnya yang dikonsepikan oleh Emile Durkheim, akan lebih berpotensi melakukan perubahan sosial secara efektif karena pengekulturasiannya lebih mendalam dan panjang daripada kelompok atau organisasi dalam skala besar. Fenomena munculnya berbagai gerakan penolakan terhadap dominasi patriarki akhirnya menimbulkan banyak macam gerakan perempuan yang berbasis feminisime dengan fundamen yang sama, yakni penindasan.

Referensi:

Otonomi Perempuan, Najlah Naqiyah, 2005, Malang: Bayumedia Publishing

Cinta Seksualitas dan Matriarki : Kajian Komprehensif Tentang Gender “Love Sexuality and Matriarchy about Gender”, Erich Fromm, 1997, diterjemahkan oleh Jalasutra IKAPI Yogyakarta

Perempuan dalam Budaya Patriarki “The Hidden Face of Eve”, Nawal El Saadawi, 2001, diterjemahkan oleh Zulhilmiyasri, Pustaka Pelajar Yogyakarta

Menggugat Patriarki “What is Patriarchy”, Kamla Bhasin, 1996, diterjemahkan oleh Nug Katjasungkana, Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta

Ecofeminism, Vandana Shiva dan Maria Mies, 1993, diterjemahkan oleh Kelik Ismunanto dan Lilik, dicetak ulang tahun 2005 oleh IRE Press Yogyakarta

Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Mansour Fakih, 1996, Pustaka Pelajar Yogyakarta

Dominasi Maskulin, Pierre Bourdieu, 1998, diterjemahkan oleh Stephanus Aswar Herwinarko, dicetak ulang tahun 2010 oleh Jalasutra IKAPI Yogyakarta

Feminisme Feminitas dan Budaya Populer, Joanne Hollows, 2000, diterjemahkan oleh Bethari Anissa Ismayasari, dicetak ulang tahun 2010 oleh Jalasutra IKAPI Yogyakarta

Feminist Thought. Rosemarie Putnam Tong, 1998, diterjemahkan dan dicetak ulang tahun 2004 oleh Jalasutra IKAPI Yogyakarta

Bandel, Katrin, Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2016

Freire, Paulo, Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan ke - 6 2007.

--

--