Belajar Kritis dengan Menulis
Berita Bengkel oleh: Dewi Widyastuti
[icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:16px’]19 Juli 2014
Forum belajar penulis muda. Ingin melawan deideologisasi dan depolitisasi.
Menulis tak sekadar untuk mencoretkan kata, tetapi juga sarana mencurahkan ide, kritik, dan pandangan tentang berbagai persoalan yang ada di lingkungan. Potensi menulis inilah yang ingin dikembangkan lewat Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Dalam bahan ajar Bengkel Menulis tertulis, teknik menulis merupakan hasil perjumpaan dari refleksi secara jeli dalam mengamati realitas sosial dan merekam imajinasi. Hasil perjumpaan tersebut lalu diubah dalam bentuk tulisan yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Baik itu cerpen, puisi, esai, novel, opini, artikel, dan lain sebagainya. Tentunya, proses tersebut dilatih secara terus menerus layaknya pisau yang terus diasah agar semakin tajam.
Dwicipta, salah seorang fasilitator Bengkel Menulis, menceritakan, kegiatan ini diawali dari obrolan di warung kopi. Berawal dari kegelisahan mengenai tak adanya agenda kebudayaan yang jelas sejak tumbangnya rezim Sukarno, Orde Baru, sampai Reformasi.
“Mesin deideologisasi dan depolitisasi bikinan Orde Baru itu membuat orang lebih suka berada di ruang-ruang diskusi, asyik dengan pikiran-pikiran melambung, tapi tak memiliki kemampuan merespons secara kreatif berbagai persoalan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang ada di sekitarnya,” tuturnya. Deideologisasi dan depolitisasi juga membuat sebagian besar orang tak mampu bergerak dan mengorganisasikan diri bersama orang-orang lain yang sepakat dengan ide-ide perubahan.
Kegelisahan tersebut dibenturkan dengan sejarah Indonesia. “Lewat refleksi sejarah, terutama pada masa-masa tumbuhkembangnya Indonesia sebagai sebuah bangsa, kami kemudian memutuskan membuat sekolah-sekolah ideologi,” tambah Dwicipta. Sejarawan Takashi Shiraishi menyebut masa itu sebagai “an age in motion” atau “zaman bergerak”.
Dimaksudkan sebagai “sekolah” ideologi, Bengkel Menulis bertujuan untuk membangun gerakan literasi, menciptakan dan memperluas jaringan penulis, dan membuat ruang pertukaran ide di antara anak muda dari berbagai latar belakang.
Kurikulum Bengkel Menulis dirancang untuk menjadikan ruang ini sebagai sarana belajar menulis, berlatih menganalisis kondisi sosial, melatih kebiasaan berpikir logis, mengembangkan kecakapan menulis, dan meningkatkan kemampuan memaparkan ide.
Sebulan empat sesi
Bengkel Menulis dijalankan dengan mekanisme per angkatan. Tiap satu angkatan, yang terdiri dari 4–7 peserta, dilakukan pertemuan satu kali seminggu, sebanyak empat kali. Pada pertemuan pertama, agendanya adalah perkenalan, membuat kontrak belajar bersama, mendiskusikan topik yang akan ditulis oleh peserta, dan menentukan bersama karya apa yang akan diresensi peserta.
Di minggu kedua, peserta memaparkan kerangka calon tulisannya. Untuk memperkaya pengalaman peserta, pertemuan di minggu ketiga diisi oleh penulis berpengalaman yang akan berbagi cerita tentang proses kreatifnya. Karya penulis tersebut akan diulas, mulai dari ide hingga proses ia menjadi karya.
Pertemuan keempat adalah yang terakhir. Kali ini, karya-karya tulis para peserta yang sudah direncanakan dari pertemuan pertama telah selesai dan siap didiskusikan. Selain itu, juga didiskusikan resensi yang dibuat peserta, seperti yang telah ditugaskan di pertemuan pertama.
Dalam empat pertemuan tersebut, peserta didampingi sejumlah fasilitator. Mereka tak lain adalah para penggagas Bengkel Menulis, seperti Makhfud Ihwan, penulis novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia dan Lari, Gung! Lari!, Dwicipta, cerpenis, dan Bosman Batubara, penulis.
“Aku senang bisa mengikuti program bengkel menulis karena di sana aku bisa mengembangkan teknis menulisku. Dengan mengikuti program ini aku mendapatkan ilmu baru, pengalaman baru, dan jaringan atau kenalan baru,” kata Awanda Brima Destia, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, angkatan III.
Peserta lainnya, Arif, mengikuti kegiatan ini setelah mendengar cerita temannya, Ilham, peserta bengkel angkatan II. Arif kemudian bergabung di angkatan III, Juni 2013.
“Aku sangat bersyukur bisa gabung dengan bengkel. Selama ini bengkel sudah memberikan banyak hal. Yang paling jelas aku sudah punya karya sebuah cerpen, judulnya ‘Dongeng Gagak dari Rahmat’, dan itu bentuk pelajaran jelas. Bengkel itu mirip keluarga.”
Hingga saat ini, Arif mengaku masih sering menulis. “Kadang-kadang bikin tugas kuliah gaya bahasanya sedikit nyastra.”
Metode Sokrates
Umumnya, di awal pertemuan, para peserta masih sulit mengutarakan idenya yang berlandaskan logika kokoh. Untuk membantu, fasilitator memakai cara yang dinamai metode Sokrates.
Dengan metode ini, fasilitator menjadi penanya kritis yang terus mempertanyakan semua aspek dari gagasan peserta. Gagasan yang tidak bisa dijelaskan menunjukkan bahwa ide dasarnya rapuh. “Menguji ide semacam ini penting agar mereka tahu realistis atau tidaknya gagasan yang mereka miliki itu,” ujar Dwicipta.
Akan tetapi, cara ini juga mengundang kritik. “Kadang terlalu memburu dan membuat peserta menjadi tidak nyaman. Aku berharap ia bisa sedikit lembut,” kata Awanda.
Karena mewajibkan membuat karya tulis, tiap penyelenggaraan satu angkatan ditutup dengan kegiatan bertajuk Malam Apresiasi Karya Bengkel. Acara ini diadakan rutin saban tanggal 8 tiap bulan, di tempat-tempat publik seperti warung kopi. Pada gelaran ini, karya-karya peserta Bengkel Menulis diolah menjadi pementasan (teater, musikalisasi puisi, karya rupa, tari, dan sebagainya) atau diskusi. Dengan demikian, tercipta ruang dialog antara kreator dan penikmat.
Cikal bakal GLI
Bengkel Menulis hadir lebih dulu ketimbang GLI. Setelah GLI terbentuk, bengkel ini menjadi salah satu pintu masuk rekrutmen anggota baru GLI. Meski demikian, tidak semua peserta bengkel Menulis kemudian menjadi anggota.
“Secara pelan-pelan, karena melihat tumbuhkembangnya organisasi yang kami bentuk ini dan peran sertanya dalam mencoba mengatasi berbagai persoalan sosial-budaya, mereka tertarik untuk bergabung,” terang Dwicipta.
Pengurus organisasi dan kooperasi di GLI saat ini sebagian diisi oleh peserta Bengkel Menulis mulai dari angkatan kedua. Mulai Desember 2012 hingga Februari 2014, sudah tujuh angkatan yang “tamat sekolah”. Selain menulis, mereka kini aktif dalam kegiatan literasi dan aksi sosial.
Dengan adanya Bengkel Menulis, peserta diharap mampu melihat permasalahan-permasalahan di lingkungannya, kemudian menemukan jalan keluar. Menurut Dwicipta, Orde Baru hanya menciptakan dua jenis orang, para pemikir dengan ide melambung yang tidak bisa praktik dan orang-orang lapangan yang tidak memahami wacana. Menurutnya, diperlukan generasi yang terampil berpikir sekaligus cekatan dalam aksi.
Oleh karena itu, setelah lulus Bengkel Menulis, para peserta ini masih terus diajak untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan mintanya, seperti pengadaan diskusi publik, pertunjukan seni, aksi sosial, dan pembentukan kooperasi. [ ]
[icon icon=’FontAwesome/fontawesome-envelope-alt||size:16px’]dewi@literasi.co