Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (Bagian I)

Literasi.co
Literasi
Published in
3 min readJun 29, 2015

[caption id=”attachment_3512" align=”aligncenter” width=”541"]

Foto: Salah satu sesi dari Bengkel Menulis.[/caption]

Oleh Muhammad Yasir1

Begini; di suatu ketika — entah setan apa yang merasuki jiwa saya — saya mengikuti Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI). Jika saya tidak salah ingat, waktu itu yang mengikuti Bengkel Menulis GLI tersebut sekitar delapan orang.

Pertemuan pertama Bengkel Menulis GLI; pertemuan pertama ini adalah perkenalan, bercerita sedikit tentang mengapa kami, para peserta, tertarik untuk mengikuti bengkel menulis, menyampaikan ide/tema yang akan diangkat di Bengkel Menulis GLI, serta menyepakati kontrak belajar bersama, dan tentu saja tujuan kami mengikuti Bengkel Menulis GLI. Satu persatu peserta memperkenalkan dirinya dan menyampaikan ide/temanya dan mengutarakan ketertarikannya mengikuti Bengkel Menulis GLI.

Tujuh orang sudah selesai. Kemudian giliran saya. Saya jadi kebingungan saat itu. Kalau untuk tujuan, saya mengikuti Bengkel Menulis GLI sudah tentu karena ingin bisa menulis — bisa itu sudah cukup bagi saya ketika itu. Nah, untuk ide, saya masih bingung. Ide saya adalah soal ‘kegelisahan’. Tidak konkret betul ide itu. Soalnya tidak ada alat untuk mengukur kegelisahan seseorang. Saya kemudian ditertawai oleh yang lainnya.Tetapi, memang pada saat itu, dan sampai sekarang, saya memang orang yang selalu gelisah. Saya akan menceritakannya secara lebih rinci pada bagian berikutnya.

Pertemuan kedua;?kami, peserta dan fasilitator Bengkel Menulis GLI, telah menyepakati untuk bertemu seminggu sekali. Ini minggu kedua. Pada pertemuan kedua ini dibahas tugas yang telah diberikan oleh fasilitator kepada peserta, yaitu, Pemetaan Pikiran atau Mind Mapping dan menyepakati karya tulis apa yang akan kami kerjakan.

Singkat cerita, saya kemudian menemui titik terang tentang ide ‘kegelisahan’ yang saya ajukan. Jadi begini — saya maju ke depan: Saya menggambarkan satu struktur yang menggambarkan kegelisahan itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Kegelisahan terhadap pendidikan, lingkungan, sosial, dan keadilan. Dari bagian-bagian yang besar itu, saya membagi lagi, misalnya: kegelisahan sosial itu seperti apa, kegelisahan hukum itu seperti apa, dan seterusnya. Saya pun telah memutuskan untuk menulis sajak. Setelah itu kami diberikan referensi untuk dibaca dan diulas dan dijanjikan pada pertemuan berikutnya seseorang akan diundang untuk menjadi teman diskusi. Pertemuan berakhir.

Pertemuan ketiga; dalam pertemuan ini kami berdiskusi dengan seseorang yang paham atau yang menggeluti dunia menulis. Seorang penyair yang didatangkan waktu itu. Dan berceritalah ia tentang pengalamannya. Tidak lupa ia membacakan karyanya di depan kami. Begitulah.

Pertemuan terakhir:?judulnya Belajar dari maestro. Pada bagian mengulas buku dan pembahasan ini, saya betul-betul malu karena kekeliruan saya sendiri. Begini: Pada pertemuan kedua, semua peserta telah diberikan referensi untuk dibaca dan diulas. Sama halnya saya. Akan tetapi, saya keliru, buku yang seharusnya diulas oleh teman saya, malah saya juga ikut mengulas buku yang sama. Jika tidak salah, buku yang seharusnya saya ulas adalah ‘Sajak Pembangunan Dan Puisi’ karya W.S Rendra, tetapi yang saya bahas adalah ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam, Satra Harus Berbicara’ karya Seno Gumira Adji Dharma. Malu betul saya waktu itu, tapi, saya mengakui kepada fasilitator dan yang lainnya bahwa itu kesalahan dan kekeliruan saya. Mereka pun menanggapi saya dengan tertawaan. Apa daya. Saya yang salah. Jadi itu wajar. Akan tetapi, kalau masalah karya, saya tetap menulis. Menulis puisi dengan judul ‘Nyanyian Babu’.

Cerita di atas memang tidak lucu. Memang ini bukan cerita lucu. Tapi, bagi saya, setelah mengikuti Bengkel Menulis GLI, saya menemukan diri saya yang sebenarnya.[]

1 Peserta Bengkel Menulis GLI Angkatan ke-7

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)