Budi Ubrux Seniman Corong NYIA
Oleh Moh. Dzikri Hendika
Saat ini ada banyak kekacauan di beberapa daerah di Indonesia yang secara langsung merupakan proses penghancuran sosio-ekologis. Banyak contoh yang dapat dilihat, seperti kasus di Rembang, yaitu invasi PT. Semen Indonesia, eksplorasi geothermal di kaki Gunung Slamet, percobaan penambangan pasir besi di Urut Sewu, Kebumen (semuanya di Jawa Tengah), reklamasi di Teluk Jakarta dan Bali, hanyalah beberapa contoh saja. Namun, terbukti hal tersebut ternyata tidak mampu membuka mata hati beberapa seniman di Indonesia. Sebaliknya, dengan sengaja mereka acuh tak acuh mendukung sepenuhnya proses penghancuran sosio-ekologis ini dan manut pada titah pemodal dan negara.
Setelah dua tahun lalu “geger” Art-Jog yang didanai oleh Freeport, akhir-akhir ini dunia seni Yogyakarta kembali dikejutkan dengan munculnya nama Budi Ubrux ke perbincangan sosial. Dia adalah salah seorang seniman yang dari berbagai informasi di media sosial (medsos), tampaknya akan dipakai dalam proyek melukis tembok Bandara Internasional di Kulonprogo, selanjutnya disebut New Yogyakarta International Airport (NYIA). Rencana pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pusat melalui Perpres №36/2016 untuk membangun NYIA yang mengenai 6 desa yaitu, Jangkaran, Temon Kulon, Glagah Sindutan, Kebunrejo, dan Palihan telah terbukti merupakan proses perampasan ruang hidup rakyat dan menimbulkan konflik agraria secara telanjang. Dalam aksi melawan proses penghancuran sosio-ekologis ini, ada beberapa mahasiswa yang ditangkap oleh pihak aparat. Beruntung hal ini justru memantik perlawanan yang luas, tanpa rasa lelah hingga sekarang warga dan para aktivis solidaritas yang tergabung dalam pergerakan menolak NYIA tetap gigih melawan.
Dari kasus ini terlihat jelas bahwa seorang seniman bernama Budi Ubrux, kurator, dan beberapa orang yang selama ini sudah kondang serta berpengalaman dalam jagad seni, berpihak dan terlibat langsung pada proses pembangunan NYIA. Mereka tidak peka terhadap penggusuran semena-mena yang terjadi terhadap rakyat itu. Budi Ubrux dan kelompoknya berupaya mendekonstruksi fakta di lapangan melalui kontribusinya sebagai kreator gambar di NYIA yang akan muncul di masa depan. Pendekonstruksian fakta lapangan itu dilakukan dengan cara membangun argumentasi atas basis legitimasi dirinya sebagai orang DIY. Secara eksplisit, keterlibatannya itu mengartikan bahwa dia sebagai rakyat DIY mendukung NYIA, maka dari itu ialah tindakan yang saya maksudkan dengan “mendekonstruksi fakta lapangan”.
Selain menyedihkan, bagi saya, hal ini sangat berseberangan dengan sikapnya beberapa bulan lalu ketika dia mengadakan pameran lukis tunggal serta instalasi di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dengan tema “Raja Kaya”. Raja Kaya merupakan istilah yang dipakai bagi orang Jawa untuk menyebut hewan jenis sapi atau kerbau. Dalam pameran tersebut, terlihat bahwa Budi Ubrux mengangkat tentang kehidupan desa. Melalui karya-karyanya, Budi Ubrux dalam acara pameran tersebut mengajak para pengunjung berdialog untuk mengenang atau sekadar mengingat tentang segala hal yang ada di desa. Dalam lukisan-lukisannya, bila diperhatikan secara seksama, dijumpai ikon sapi; lukisan sapi, kandang sapi, patung sapi, dan kotorannya.
Ikon-ikon sapi itu, oleh Budi Ubrux disandingkan dengan simbolisasi yang lain, seperti mobil mewah sebagai simbol kemodernan di taruh di kandang sapi berbentuk segi empat dengan kayu besar yang mengelilinginya, ditambah beberapa tumpukan barang padi di sekitar mobil. Hal tersebut seperti menandakan bahwa di zaman serba kosmopolit sekarang ini, orang sudah lupa terhadap peternakan khas desa karena orang sekarang lebih nyaman menyimpan mobil di garasi dari pada memelihara si “Raja Kaya” alias sapi itu. Bisa jadi, hal ini adalah salah satu kritik dari Budi Ubrux. Kalaulah itu maksudnya, hal itu menunjukkan betapa eksotis cara Budi Ubrux melukis desa. Bahwa desa adalah sesuatu yang harus suci dan tidak tercampuri oleh ikon-ikon kemodernan seperti mobil.
Namun, Budi Ubrux yang terkenal di kalangan tertentu sebagai seniman yang membuat lukisan dengan objek bungkusan koran dengan coretan kuasnya tersebut, alpa melihat segala penderitaan dan keresahan warga di sekitar Temon yang sekarang sedang dihancurkan untuk lokasi NYIA. Interpretasi saya, bisa jadi di pameran berikutnya, mobil yang tadinya ditaruh di kandang akan tergantikan oleh pesawat. Sehingga pamerannya tidak mungkin di TBY karena tempatnya tentu tidak akan muat. Mungkin dia butuh berpameran di ruang tunggu bandara NYIA yang dia khayal akan dibangun itu.
Selanjutnya, sapi yang digambarkan di dalam kanvasnya benar-benar tidak akan mudah dijumpai lagi dan akan selamanya menjadi sebuah kenangan yang menempel di wajah kanvas lantaran sudah tidak ada lagi lahan untuk mencari rumput atau angon (menggembala) akibat dampak penghancuran lahan produktif di Temon. Eksotis!
Terlepas Budi Ubrux sebagai kreator tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, atau sebenarnya dia tahu tapi tetap tidak peduli, secara tidak langsung dia telah melakukan kekerasan kebudayaan lewat perjanjiannya untuk menggarap proyek melukis tembok Bandara NYIA ke depannya. Selain melakukan kekerasan kebudayaan dalam hal seni rupa, Budi Ubrux selaku seniman lukis telah mendukung kekerasan fisik atas nama pembangunan infrastruktur–saya sebut ini sebagai “kekerasan infrastruktur”. Dengan demikian, dukungan dan keputusannya bisa dibaca telah bertransformasi ke babak baru, yakni melegitimasi kekerasan (budaya dan infrastruktur) yang sudah berlangsung di Temon.
Hal itu sama artinya dengan membiarkan kontradiksi-kontradiksi di dalam realitas sosial yang ada di Kulonprogo menjadi status quo. Lebih tepatnya, Budi Ubrux sebagai seniman asal Bantul jelas menutup mata dan telinga atas kejadian yang menimpa warga Temon, Kulonprogo. “Biarkan saja mereka digusur, biarkan saja mereka menderita, yang penting aku bebas berekspresi!” kiranya begitulah Budi Ubrux. Inilah esensi ajaran para pemikir seni absurd cum–individualis yang dulu di Indonesia sepenuhnya didukung oleh Central Intelligence Agency (CIA) atau Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat dengan cara mendirikan lembaga Congress for Cultural Freedom (CCF) dan menciptakan beberapa boneka kebudayaan mereka (baca Kekerasan Budaya Pasca 1965, karya Wijaya Herlambang).
Seniman-seniman model Budi Ubrux seperti ini tentu banyak dijumpai dan bercokol di Indonesia. Apa yang terjadi jika seorang seniman sudah tidak mau tahu kekalahan masyarakat sekitarnya dan lebih memihak pada jumlah uang besar dari pada hati nuraninya sendiri? Mungkin pertanyaan seperti ini perlu dijawab oleh orang-orang yang sudah diakui sebagai seniman maupun yang mendaku dirinya sebagai seorang seniman. Apabila dulu para seniman atau yang seringkali dianggap budayawan itu didukung oleh CCF, mungkin sekarang seniman atau orang-orang yang dianggap, sekaligus mendaku, sebagai budayawan itu didukung oleh NYIA!
Hanya saja, tampaknya Budi Ubrux luput dan semoga dia keliru. Bahwa klaimnya di media daring dengan mengatakan bahwa NYIA Kulonprogo bisa memperkuat tradisi dan budaya Yogyakarta, bukannya menambah dukungan terhadap pembangunan NYIA, justru berdampak sebaliknya, semakin memperkuat perlawanan dan penolakan atas pembangunan NYIA, baik dari elemen masyarakat daerah Temon, maupun solidaritas dari luar Temon. Hal ini terlihat dari bertahannya warga yang menolak penggusuran terhadap rumah dan penghancuran atas ruang hidup mereka, serta gelombang orang yang bersolidaritas yang terus mengalir ke Temon serta upaya-upaya penggalangan dana solidaritas yang terus terjadi. Panjang umur perlawanan![]