Civitas Academica UNPAD Aksi Tolak Komersialisasi Pendidikan

Literasi.co
Literasi
Published in
7 min readJun 27, 2018

Oleh Ahmad Thariq

11 Juni 2018, Seorang mahasiswa terlihat sibuk mondar-mandir di sekitar trotoar Jalan Juanda. Greg, sapaan akrabnya, sesekali memeriksa telepon genggamnya untuk mengonfirmasi kehadiran massa solidaritas yang akan menggalang mimbar bebas solidaritas untuk mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan audiensi dengan rektor di UNPAD Training Center hari itu. Agenda memang terbilang cukup menyimpang dari jadwal, sebab mimbar bebas seharusnya sudah digelar sejak pukul 14:30 WIB. Sampai pukul 15:00 WIB massa solidaritas yang terkumpul baru berjumlah 6 orang.

Maju ke pukul 15:33 WIB, massa aksi mulai berdatangan ke lokasi yang ditetapkan. Melihat massa aksi yang bertambah sudah hadir, disepakati bersama aksi akan dimulai pada pukul 16.00 WIB. Selama sekitar 27 menit itu dipergunakan untuk mempersiapkan perangkat-perangkat aksi yang diperlukan seperti megafon, banner tuntutan, rilis dan lain-lain. Sementara itu, terlihat beberapa orang pun bertugas untuk tetap menjalin kontak dengan massa aksi lain yang masih dalam perjalanan.

Akhirnya waktu pun menunjukkan pukul 16:00 WIB. Sesuai kesepakatan, massa aksi pun mulai untuk mempersiapkan gelaran aksi. Rilis mulai disebarkan pada massa aksi, banner tuntutan mulai dibentangkan massa aksi pertanda aksi siap untuk dimulai.

Sayangnya persiapan tersebut tidaklah berjalan semulus apa yang semula diprediksi. Beberapa perwakilan massa aksi diajak berdialog terlebih dahulu dengan pihak kampus perihal aksi yang akan digelar hari itu. Alhasil, aksi kembali tertunda untuk beberapa saat.

Setelah melalui beberapa proses dialog menjalin saling pengertian dengan pihak setempat, aksi pun dibuka pada pukul 16:47 WIB. Orasi pertama dibuka oleh Ahmad Bacharudin, dosen mata kuliah Statistika di Universitas Padjajaran (UNPAD). Dalam orasinya, Abah, sebagaimana ia akrab disapa, menyampaikan bahwa walaupun bulan Ramadhan, tidaklah menjadi alasan untuk berhenti memperjuangkan hak-hak civitas akademika yang tidak digubris pihak kampus.

“ Sekarang memang bulan puasa, tapi bukan alasan untuk tidak menyuarakan hak seluruh masyarakat UNPAD” tukasnya dalam orasi pembuka aksi.

Aksi kali itu memang tidak hanya mendapat partisipasi dari mahasiswa secara khusus, namun juga civitas akademika lainnya, seperti tenaga pendidik atau dosen. Mereka tergabung dalam aliansi Gelora Aksi Masyarakat UNPAD (GAMU). Elemen yang tergabung pun tak hanya terjaring dari kampus UNPAD semata. Tercatat, Komite Perguruan Tinggi Negeri Jawa Barat (KPTN Jabar) yang baru saja berdiri semenjak menyatakan deklarasi pada Senin, 4 Juni 2018 di UNPAD pun turut terlibat dalam aksi tersebut sebagai wujud dukungan nyata. Memperhitungkan elemen yang tergabung, jumlah massa aksi yang terlibat diperkirakan berjumlah 17–20 orang.

Sementara aksi digelar, beberapa, mahasiswa, dosen dan tenaga pendidikan sebagai perwakilanMajelis Wali Amanat (MWA). Mereka telah dimandatkan sebagai delegasi untuk melaksanakan audiensi dengan pihak rektor.

Aksi tersebut digalakan sebagai respons atas kebobrokan yang terjadi di kampus UNPAD. Berdasarkan data kajian yang dirumuskan aliansi GAMU, pihak kampus telah berandil menciptakan kebijakan dan birokrasi yang tidak adil. Salah satu permasalahan konkret yang menjadi sorotan adalah kebijakan rektor UNPAD, Tri Hanggoro yang sentralistis dan prematur. Hal tersebut termanifestasi dalam kebijakan Tahapan Persiapan Bersama (TPB) yang diberlakukan 2016 lalu. Secara ringkas, menurut website resmi UNPAD, TPB terdiri dari tiga kegiatan, yakni kurikuler, ko-kurikuler dan ekstrakurikuler. Dari keterangan resmi UNPAD, teknis dari kebijakan pemadatan kuota mahasiswa dalam proses perkuliahan. Sebagai contoh, MKU yang merupakan mata kuliah wajib negara (Pancasila, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, serta Bahasa Inggris), akan diisi oleh 40–50 mahasiswa dari seluruh program studi.

Namun, dari hasil kajian GAMU kebijakan tersebut justru membuat situasi perkuliahan menjadi tidak teratur, sehingga mempersulit proses penilaian. Kondisi tersebut tidak terlepas dari keputusan prematur dan tergesa-gesa pengampu kebijakan UNPAD yang tidak mengecek kesiapan untuk mencanangkan kebijakan itu.

Selain itu persoalan anggaran pun menjadi hal yang disoroti. Kebijakan UNPAD yang menggratiskan biaya pendidikan program pendidikan dokter dan spesialis, pembukaan kampus pangandaran, juga pengambilalihan AKPER Garut dinilai prematur. Kebijakan ini dipandang tidak memperhitungkan dampak konkret terhadap anggaran dan sumber daya yang ada. Begitu juga dengan pengelolaan program dan anggaran yang sentralistis. Pembelian galon, pemeliharaan sarana-prasarana, hingga pendataan kegiatan ilmiah diatur secara langsung oleh pihak universitas. Kebijakan ini dipandang meniadakan kewenangan fakultas dan prodi dalam pengelolaan anggaran dan program.

Masalah kebebasan berpendapat pun turut disuarakan. Kehadiran Brigadir Mobil (BRIMOB) dan aparat kepolisian yang bebas berseliweran di lingkungan kampus telah menghambat terbangunnya iklim kebebasan berpendapat. Kasus akhir-akhir ini yang terjadi adalah intervensi pihak kepolisian pada saat pembukaan Open Recruitment dan Aksi Kamisan oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Polisi menanyakan ketersediaan izin kegiatan dari pihak kampus. Padahal, kebebasan akademik ataupun berpendapat sudah secara sah diatur dalam UU No 9/1998 dan menjadi hak prerogatif bagi mahasiswa.

Tak hanya mahasiswa, persoalan yang dialami oleh para pekerja dan dosen pun turut dikampanyekan dalam aksi itu. Salah satu yang menjadi sorotan khusus adalah upah pekerja Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L) yang tidak layak. Secara konsensus Kerja, ketidaktransparanan pihak UNPAD tercermin dengan tidak mencantumkan hak-hak bagi pekerja K3L, melainkan hanya mencantumkan kewajiban-kewajiban dari para pekerja. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 34 UU Nomor 13 Tahun 2013 yang mengharuskan diakuinya hak-hak pekerja. Upah yang diterima pekerja K3L pun terbilang jauh dari memadai. Upah yang diterima pekerja K3L UNPAD hanya dibayarkan sebesar 1 juta. Jumlah yang tidak sesuai dari ketetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sumedang tahun 2017 sebesar Rp. 2.463.461, Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2016 sebesar Rp. 1.300.000 juga Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Sumedang sebesar Rp. 1.924.585. Kasus ini secara perundang-undangan telah melanggar UU No 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Menyikapi isu ini, massa aksi pun menyuarakannya lewat orasi-orasi ilmiah. Greg sebagai koordinator aksi berpendapat fenomena yang terjadi di UNPAD adalah imbas dari penyematan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang dilegalkan UU PT No 12 Tahun 2012.

“Kebijakan sentralistis yang diberlakukan oleh kampus adalah akibat dari penyelewengan kewenangan oleh pihak kampus karena status PTNBH lewat Undang-Undang 12–12” tukasnya dalam orasi”

Respons serupa bermunculan dari massa aksi lainnya. Zuhhad, salah satu perwakilan GAMU dari Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (UKM LPPMD) berpendapat bahwa yang dialami oleh civitas academica UNPAD adalah salah satu bentuk komersialisasi pendidikan

“Yang terjadi hari ini pada masyarakat UNPAD adalah bentuk komersialisasi pendidikan akibat dari otonomi perguruan tinggi” ungkap Zuhhad

Selanjutnya, orasi-orasi dari massa aksi lainnya pun menyemarakan aksi kampanye massa tersebut, baik pesan solidaritas untuk mahasiswa UNNES, maupun tuntutan-tuntutan civitas academica UNPAD. Rokib, koordinator KPTN Jabar menyuarakan orasinya dengan memandang persoalan komersialisasi pendidikan di UNPAD sebagai masalah bagi masyarakat secara umum

“Bagaimana mungkin anak petani yang dimonopoli lahannya, anak buruh yang upahnya tidak layak, bisa mendapat pendidikan dengan kondisi begini?” kata Rokib dalam orasinya.

Aksi sempat ditunda beberapa saat menyusul tibanya waktu berbuka puasa. Beberapa massa aksi pun bergegas membeli takjil untuk disantap di lokasi aksi.

Setelah buka puasa, hasil audiensi akhirnya dapat diketahui. Menkominfo, Rudiantara waktu itu menjadi pihak yang mensosialisasikan hasil audiensi tersebut.

Membuka pembicaraan, Rudiantara melontarkan apresiasi pada metode persentasi yang digunakan oleh pihak tenaga pendidik. Penggunaan matriks data dalam menyampaikan argumen menurutnya akan mempermudah pengambilan keputusan

“Kalau substansi sih macam-macam, tapi tadi ada yang penyampaiannya bagus pakai matriks” kata Rudiantara

Lebih lanjut, Rudiantara berharap pada tanggal 30 Juni tuntutan yang diutarakan pihak Tendik dapat diselesaikan.

Tanggapan Mekominfo perihal pertanyaan data biaya operasional dan anggaran UNPAD akan diminta untuk diposting di website resmi UNPAD.

“Kalau laporan keuangan saya akan minta publish di website” Kata Menkominfo

Lebih lanjut, Mekominfo juga menanggapi pertanyaan dari massa aksi terkait mendorong partisipasi publik dalam perumusan kebijakan. Namun, beliau hanya menekankan itu dalam bentuk konsultasi ekosistem.

Oh ya-ya tadi saya sudah bicarakan soal komunikasi dan konsultasi dengan stakeholder, tapi ingat ya konsultasi, bukan uji ekosistem” ujar Rudiantara

Rudiantara berusaha untuk menegaskan bahwa tidak semua sistem yang sentralistis itu belum tentu salah

“Seolah-olah semua yang sentralistis itu salah, contohnya itu yang share resources, seperti keuangan akan lebih bagus kalo sentralistis”

Namun, Rudiantara juga mengatakan bahwa meski sentralistis, penting untuk memberikan otoritas bagi unit kerja (fakultas atau prodi) untuk melakukan pengelolaan.

“Apakah setiap unit kerja itu memiliki unit keuangan yang sama duplikasi, kan tidak, itu bisa disentralisasikan. Tapi, otorisasinya bisa di cascade ke bawah” kata Rudiantara

Setelah isya, aksi pun akhirnya usai. Massa aksi mulai membereskan kembali perangkat aksi dan sampah-sampah yang berserakan.

Massa aksi tak lantas bubar seusai aksi. Di salah satu pintu keluar UNPAD Training Center, terlihat beberapa dosen dan mahasiswa tengah beristirahat sambil berbincang ringan. Diselangi gelak tawa dan candaan, rupanya mereka tengah berdiskusi membahasa hasil audiensi kala itu. Mereka sepakat untuk merumuskan tindak lanjut seusai aksi ini sebagai langkah perjuangan berikutnya.

Dalam obrolan tersebut, wacana seputar pembentukan serikat pekerja pun menjadi topik perbicangan tersendiri. Baik mahasiswa ataupun dosen sama-sama antusias menanggapi ide tersebut.

Obrolan ini pun segera dikonfirmasi di tempat oleh Ahmad Bacharudin. Ahmad mengatakan bahwa membentuk serikat pekerja akan menjadi langkah baik untuk memulai pijakan perjuangan selanjutnya.

“Jadi ini nanti bentuknya serikat, bukan forum kayak Forum Rektor Indonesia, karena kita punya agenda tertentu. Yang jelas serikat ini harus independen” tegas Abah panggilan akrabnya.

Pendiskusian mengenai pembentukan serikat ini pun rencananya akan intens dilakukan, baik dengan kalangan dosen, pekerja, ataupun mahasiswa. Ini karena pembentukan serikat ini pun adalah langkah mengonsolidasikan diri dengan civitas academica lainnya.***

*Ahmad Thariq Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Pendidikan Indonesia, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Front Nadhliyin untuk Keadulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)