Dari Malang Untuk Warga Rembang
Oleh: Muhammad Luthfil Hakim
“Konflik ini boleh terjadi di Rembang, tapi sebagai masyarakat Indonesia apa yang diderita oleh warga Rembang adalah penderitaan kita bersama, karena kita saudara sepenanggungan atau dalam istilah Jawa adalah sedulur sepenanggungan.” Pernyataan inilah yang memantik beberapa mahasiswa dan aktivis masyarakat sipil Kota Malang yang malam ini begitu antusias mengikuti diskusi film Samin vs Semen.
Konflik antara warga Kabupaten Rembang dengan PT Semen Indonesia yang masih memanas hingga kini memunculkan respon gerakan dari berbagai daerah. Salah satunya adalah Kota Malang. Kota Malang merespon konflik ini dengan menggelar acara diskusi film Semen vs Samin, yang merupakan hasil karya dari Ekspedisi Indonesia Biru, pada hari selasa malam (31/3) di Kedai Tjangkir 13. Acara ini diselenggarakan oleh komunitas Pusaka Pemuda Nusantara (PUSDANTARA). Pusaka Muda Nusantara merupakan komunitas yang didirikan oleh beberapa mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya. Salah satu cita-cita dari pendiriannya yaitu membentuk suatu gerakan yang mampu memberikan sumbangsih dan manfaat bagi masyarakat di daerah.
Acara pemutaran dan diskusi film “Samin Vs Semen” ini dihadiri lebih dari 70 orang, mulai organisasi kemahasiswaan sampai aktivis masyarakat sipil Malang. Dua akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya dihadirkan sebagai pemantik. Pertama, Luqman Hakim yang fokus pada kajian politik lingkungan, kedua Rachmad Gustomy yang fokus pada gerakan masyarakat sipil.
Diawali dengan pekik “hidup mahasiswa” dan “Hidup Rakyat Indonesia” diskusi di mulai pukul 18.30 oleh moderator, Ogi Fadhilah. Ogi menjelaskan bahwa acara nantinya tak hanya sebatas diskusi, namun melahirkan kesadaran akan gerakan yang harus dikonkretkan. Inilah tujuan awal mengapa PUSDANTARA menggelar acara ini. Ia juga menekankan agar pada sesi diskusi nanti peserta bebas memberi tanggapan.
Film berdurasi kurang lebih 40 menit diputar dihadapan peserta. Beberapa adegan kekerasan yang dilakukan Polisi terhadap Ibu-Ibu desa membuat peserta mengerutkan dahi atau bertanya-tanya sinis: mengapa mereka (Polisi) begitu kejam berhadapan dengan aksi para ibu-ibu. Tidak hanya berhenti di situ, beberapa peserta bahkan misuh ketika melihat seorang Polisi menyeret paksa seorang Ibu agar keluar dari barisan aksi.
Bagi para peserta, pernyataan mengagetkan yang terekam dari film tersebut adalah petani membutuhkan pangan, bukan semen. Ketika beberapa kali adegan film menampakkan seorang Ibu berbicara bahwa mereka sebagai petani butuh beras dan makan — bukan semen — membuat para beberapa peserta bersuara. “Oh iya tuh, bener. Mending krisis semen daripada krisis pangan, mereka butuh makan,” bisik seorang peserta diskusi kepada rekan-rekannya.
Film berjudul Samin vs Semen karya Ekspedisi Indonesia Biru ini pertama-tama memberikan gambaran betapa hijau dan lestarinya kawasan karst wilayah Kendeng Kabupaten Rembang. Gambar kemudian dialihkan pada luas pertambangan pabrik semen yang telah menyingkirkan beberapa pesona hijau Gunung Kendeng. Selanjutnya, problematika masyarakat sekitar Gunung Kendeng atau warga Rembang yang menolak pertambangan semen mengalir dahsyat. Sesekali ditampilkan upaya Ibu-Ibu desa untuk menolak kehadiran perusahaan semen yang dihadang oleh Polisi. Sesi akhir film ini menampilkan solidaritas masyarakat yang menolak kehadiran pabrik semen dengan melakukan aksi di tengah hamparan sawah hijau dan membentangkan spanduk bertuliskan, “Tolak pabrik semen di Jawa,” beserta bendera warna putih.
Menurut Luqman Hakim, pemantik diskusi pertama, acara diskusi ini selain tema yang diangkat bagus, antusiasme peserta juga begitu hebat. Menurutnya ini harus menjadi awal dari gerakan di Kota Malang. Pak Luqman menyatakan bahwa salah satu dasar acuan mengenai persoalan lingkungan diurusi oleh Pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar. Segala kegiatan pertambangan seperti ini menjadi urusan negara dan bermanfaat bagi masyarakat. Idealnya pengelolaan izin pertambangan harus melalui tahap rembug atau koordinasi terlebih dahulu dengan warga sekitar. “Rembug antara warga dengan pihak yang memohon izin pertambangan diatur dalam salah satu undang-undang,” katanya. Dalam kasus Rembang, banyak warga yang tidak sepakat dengan pendirian pabrik semen dan pertambangan semen. Akar persoalannya adalah profesi masyarakat sekitar yang bertani dengan membutuhkan air. Sedangkan, pertambangan semen yang mengeruk batuan kapur akan berdampak pada mengecilnya debit sumber air yang dijadikan sumber kehidupan bagi penduduk sekitar. Apabila ini terjadi, maka masyarakat akan terdesak dan menjual lahannya sehingga mereka alih profesi. Dari situlah masalah muncul. Pak Luqman juga menekankan bahwa seharusnya perusahaan pertambangan memperhatikan AMDAL dengan baik, tidak serta merta memaksakan kehendak dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Oleh karena itu, di era seperti sekarang ini teman-teman harus kritis untuk melihat kondisi sekitar. Sehingga kerusakan lingkungan dan perusakan tatanan sosial tidak kembali terjadi.” Ujar Pak Lukman menjelang akhiir penyampaiannya.
Materi berikutnya diisi oleh pemantik berkopyah hitam yang akrab disapa Pak Tomi. Ia membuka paparannya dengan membaca puisi karya WS Rendra yang disambut antusias peserta. Kemudian Pak Tomi memaparkan materi mengenai gerakan dan nalar kritis yang harus dibangun. Menurutnya, mahasiswa sekarang ini kurang memiliki daya juang untuk melakukan gerakan.
“Bayangkan, beberapa kali saya bertemu dengan mahasiswa yang minta buatkan judul skripsi kepada saya. Hingga akhirnya saya bilang aku duduk bakul skripsi (saya bukan penjual skripsi),” guraunya di sela-sela materi. Pak Tomi juga menekankan bahwa apa yang terjadi di Rembang harus menjadi motivasi gerakan mahasiswa, bahwa masih banyak persoalan di sekitar yang harus diselesaikan. Kita bisa melihat bagaimana Ibu-Ibu Rembang dengan perjuangannya membela lingkungannya. Oleh karena itu sudah saatnya mahasiswa dan masyarakat sipil bergerak membela masyarakat yang tertindas. Jika antusiasme diskusi ini begitu tinggi, maka gerakan yang nyata harus lahir dari para mahasiswa khususnya. Di akhir penyampaiannya Pak Tomi kemudian membacakan puisi karya Widji Thukul.
Setelah sesi materi selama 45 menit, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, tanggapan, atau sanggahan. Beberapa peserta antusias mengutarakan pendapatnya. Salah satunya Pak Luthfi yang merupakan salah satu aktivis di Malang. Beliau menyatakan bahwa kasus seperti di Rembang ini banyak terjadi di wilayah Malang maupun daerah-daerah lain di Indonesia.
“Para aktivis dan mahasiswa harus peka dengan kondisi sosial yang ada, begitupun dengan para akademisi kampus. Saya terus terang salut dan memberikan apresiasi kepada para akademisi yang hari ini hadir, dan juga para peserta dari mahasiswa, kalangan pemuda, aktivis dan masyarakat lain yang begitu antusias,” katanya.
Selain Pak Lutfi, seorang mahasiswi program studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, Khairina Salsabila, mengutarakan pendapatnya. Dia bercerita tentang persoalan di Batam, tanah kelahirannya. Menurutnya, akibat industrialisasi yang begitu hebat di Batam telah membuat budaya dan kearifan lokal warga Batam yang banyak dari Suku Melayu menghilang.
Kemudian Khairina menyatakan bahwa, “Kisah di Batam yang saya ceritakan barangkali harus menjadi pelajaran, Perjuangan warga Samin dan Rembang harus kita dukung, karena mereka sebenarnya juga sedang memperjuangkan lingkungan sosial dan budaya mereka, selain juga ekonomi.”
Pada sesi akhir Pak Tomi memberikan kesempatan bagi para aktivis dan mahasiswa yang ingin bergabung dalam barisan warga Rembang, “Kalau kalian memang benar ingin mendukung secara nyata saya siap mendukung dan membuka komunikasi dengan para pegiat sosial di sana,” katanya.
Begitupun Ogi sebagai moderator, sebelum menutup dia memohon maaf apabila tidak bisa memberikan kesempatan berbicara beberapa peserta yang ingin mengutarakan pendapat. Akan tetapi Ogi mensosialisasikan bahwasanya pendapat itu bisa disampaikan dengan cara menulis yang nantinya akan di unggah di website PUSDANTARA. Akhirnya, acara ditutup dengan pekikan “Hidup mahasiswa” dan “Hidup Rakyat Indonesia.”[]
[icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:17px’]2 April 2015