Dikutuk Hidup di Dunia Panggung: Proses Kreatif Andy Sri Wahyudi

Literasi.co
Literasi
Published in
23 min readOct 31, 2015

Catatan

Proses Kreatif Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI) Angkatan 12 menghadirkan Andy Sri Wahyudi, pemain dan sutradara pantomim, penulis cerita, dan penyair. Dalam dunia kepenulisan ia telah melahirkan kumpulan naskah drama berjudul “Mak, Ana Asu Mlebu Ngomah,” dua buku kumpulan puisi, dan Sebuah kumpulan cerpen berjudul Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar. Lahir, tumbuh besar, dan memulai kerja-kerja kesenian dan kepenulisannya di Yogyakarta, Andy juga melanglang buana ke berbagai sudut Tanah Air agar dirinya mengalami proses dibuahi dan membuahi dunia panggung dan dunia tulisan. Selama hampir tiga jam kami berdialog tentang proses kreatif dirinya sebagai manusia panggung dan seorang pengarang. Penarasian ulang proses kreatif Andy Sri Wahyudi ini dikerjakan oleh Dwicipta dan Andy Sri Wahyudi.

Pada tahun 2008 kampung kecil saya benar-benar tergusur. Pikiran saya tumbang. Segalanya hilang: keluarga, saudara maupun kawan dekat, orang-orang tua yang biasa bercengkerama, dan hal-hal yag pernah intim dengan diri saya…”

Saya akan memulai proses kreatif saya dari latar dan panggung kecil tempat saya tumbuh besar sebagai orang panggung yang menuliskan pernyataan-pernyataan atau kesaksian saya. Saya akan berkisah tentang Kampung Sewu, suatu bagian kecil dari kampung Mijen, Minggiran Barat, Mantrijeron. Sebuah perkampungan kecil yang rumah-rumahnya berjubel terdiri dari sekitar 50 Kepala Keluarga. Orang biasa menyebutnya Kampung Sewu karena rumah berdinding anyaman bambu saling berhimpitan, menjadi seperti seribu (sewu) rumah. Seperti halnya semua tempat di dunia ini, wilayah yang juga disebut Kampung Vietnam ini dipenuhi dengan berbagai macam persoalan sosial. Di sana banyak tukang becak, pembantu rumah tangga, penjual angkringan, penjudi, dan pengangguran.

Perkelahian, mabuk-mabukan, dan pertengkaran rumah tangga telah menjadi pemandangan yang biasa di Kampung ini. Baik di kampung maupun dalam keluarga saya sendiri, unsur-unsur kelelakian sangat tinggi (bisa menggergaji, tukang kayu, mengayuh becak, membengkel, dan lain-lain). Saya sering ikut kerja bakti, membengkel dan kerja yang berbau laki-laki lainnya. Tapi saya sadar saya sangat lemah dalam pekerjaan laki-laki. Di kampung inilah saya sering melihat Pak Leo dari kampung sebelah, seorang pematung. Ia seniman yang sangat memengaruhi saya di masa kecil karena gaya eksentriknya. Saya sering menungguinya saat beliau bekerja. Intensitas beliau dalam bekerja hingga kini terekam jelas di benak saya.

Kalau dilacak jauh ke belakang, saya suka menulis dan berkesenian karena latar belakang keluarga dan panggung kecil bernama Kampung Mijen tersebut. Saya anak bungsu. Ayah saya seorang pensiunan PNS yang membuka usaha tukang tambal ban. Ia pengagum Sukarno, orangnya feodal namun berpandangan sangat liberal. Tidak ada aturan macam-macam. Suasana diskusi dalam keluarga sangat kental — meskipun harus dengan bahasa kromo halus — sampai hal-hal tabu bisa dipertanyakan dengan bebas. Jalan hidup saya sebagai orang panggung dan penulis dipermulus secara alamiah karena darah seni dari ibu mengalir kuat di dalam keluarga saya. Tiga kakak laki-laki saya ada yang senang melukis, bermain gitar, dan breakdance, sementara kakak perempuan saya suka balet. Di antara mereka saya orang yang paling bodoh dalam teknis seni.

Sejauh pengamatan saya, anak kecil punya kebiasaan diejek oleh orang-orang dewasa. Saya yang tidak bisa melakukan kerja seorang laki-laki juga mengalami ejekan atau diolok-olok (Bahasa Jawa: digarapi). Namun, dari perspektif saya sekarang, bagi saya olok-olok itu bukan bullying, sebab sifat bercanda dari olok-olok tersebut membuat saya bisa menertawai diri sendiri. Bisa merenungi diri dengan cara berbeda. Olok-olok itulah yang membuat saya lebih memilih menghabiskan banyak waktu dengan menulis buku harian. Ketika tumbuh sebagai seorang remaja, saya melawan olok-olok dalam keluarga dan lingkungan itu dengan melakukan berbagai bentuk kenakalan seperti mabuk, pacaran secara romantis, dan berkelahi. Tapi saya tetap menulis apa yang saya rasa dan pikirkan. Tulisan itu sering saya unjukkan di tengah pergaulan dengan sesama teman atau orang kampung lainnya. Ketika sekelompok anak sedang mabuk, saya suka membacakan puisi, dan kalau puisinya jelek, maka kertas puisi itu dibuang atau disobek-sobek oleh teman-teman saya. Kebiasaan itu membuat saya tidak peka merasakan tradisi kritik sastra akademik. Saya merasa kritik sastra di kampung saya lebih kejam dibandingkan dengan kritik sastra secara akademik.

Di masa menjelang dewasa, saya menjadi ketua pemuda kampung. Pada acara tujuh belasan, saya membuat acara panggung tujuh belasan. Bersama teman-teman sekampung saya membuat drama, pembacaan puisi, tarian, pentas dangdut, dan sebagainya. Apa saja ditampilkan. Selalu ada inovasi. Siapa yang menjadi sutradara, mementaskan cerita apa, di mana harus dipentaskan, dan siapa saja yang menjadi aktornya. Kalau tidak ada kostum, kami mencuri pakaian jemuran dan memakainya di panggung. Saya tumbuh dalam situasi itu. Sering kali dengan cara yang norak, konyol, dan wagu. Saya kemudian merasa bahwa saya dikutuk hidup di dunia panggung. Dari kecil, entah atas perintah siapa, saya wajib pentas kalau ada perayaan nasional seperti hari kartini, sumpah pemuda, tujuh belasan, atau ulang tahun teman. Hal-hal itulah yang terus-menerus membuat saya seperti diharuskan menulis dan berkreativitas.

Pernah ketika kami memainkan drama, teman saya — seorang cowok yang berperan jadi cewek — kesulitan mencari kostum daster. Ia lalu mengambil daster tetangga yang sedang dijemur. Tentu saja dalam acara pementasan ketahuan saat sang pemilik melihat dasternya. Sang pemilik berteriak, “Hei… itu daster saya! Dasar cah-cah edan!” Atau saat lomba joget dangdut ada seorang teman berkostum tokoh orang Arab. Ia meminjam handuk milik tetangga yang sedang dijemur sebagai perlengkapan jogetnya. Saat sedang asyik berjoget dan handuk itu dikenakan, si pemilik handuk tahu kalau handuknya dipakai dalam pementasan itu. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia naik ke panggung dan mengambil begitu saja handuk yang sedang dipakai sambil mengomel. Anak kecil yang memakainya menangis karena perlengkapan pentasnya diambil begitu saja. Pentas-pentas dengan keganjilan semacam itu sering terjadi di kampung kami.

Lalu hadirlah peristiwa 1998 yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Di masa-masa itu, saya merasa semua orang menjadi aktivis. Demonstrasi terjadi di mana-mana. Di setiap demonstrasi intel, polisi, dan tentara bertebaran. Situasi chaos terjadi di Yogya. Pada usia 18 tahun saya merasa mulai mengenal dunia di luar diri saya. Sebelum usia 18 tahun saya merasa hidup di dunia hura-hura, sangat bebas, dan tidak mengenal belajar yang disiplin. Sejak SD sampai SMP saya selalu juara di sekolah. Namun karena tidak pernah ada tradisi pengutamaan pendidikan dalam keluarga, saya jadi malas menjadi juara. Menginjak SMA saya mulai seenaknya dalam bersekolah. Namun di SMA itu saya mulai mengenal para mahasiswa yang sibuk mendiskusikan isu-isu politik, ekonomi, dan sosial. Saya mengikuti aksi pro-Mega, saya mulai tahu sosok Soeharto dan sejarah masa lalu. Sebelum Soeharto ada tokoh tokoh lain seperti Syahrir, Hatta, Agus Salim, dan seorang tokoh bernama Sukarno (yang selalu menghiasi dinding rumah saya). Saya mulai tumbuh dan berpikir bahwa orang punya masa lalu, di suatu latar tempat yang punya referensi sejarahnya sendiri. Sejak peristiwa 1998 tersebut tergaris batas antara dunia hura-hura, kehidupan yang sangat bebas, dan belajar seenaknya dengan dunia yang menuntut untuk lebih bertanggungjawab secara sosial dan belajar lebih disiplin.

Saya mulai akrab menjalankan diskusi dengan teman-teman sebaya. Selain stensilan Enny Arrow, saya mulai mengenal stensilan-stensilan politik. Keberuntungan menaungi saya karena memiliki guru sejarah (Bapak Suroso) yang punya kesadaran dan sensitivitas pada persoalan-persoalan sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Dia sering memutar video tentang aksi 1998 dan berbagai peristiwa politik di dalam negeri. Saya jadi suka ikut demonstrasi di sekolah ketika Romo Mangun meninggal supaya sekolah bisa pulang pagi dan bisa ikut melayat, atau demonstrasi jika tak sepakat dengan kebijakan sekolah. Ketika diselenggarakan acara diskusi, kami mulai mengenal istilah tirani, kekuasaan, demokrasi, aktivisme, politik, Megawati, Sri Bintang Pamungkas, Mochtar Pakpahan, Moedrik Sangidu dan tokoh-tokoh politik lainya.

Dalam kegiatan diskusi di kampung, di antara teman-teman saya, dan di tempat-tempat lain itu saya merasa memiliki ide-ide yang segar. Pengalaman paling menarik saat demonstrasi 20 Mei 1998, saya menjual slayer ikat kepala di Bunderan UGM, laku keras. Kemudian saya ikut barisan rakyat yang berbondong-bondong menghadiri Pisowanan Ageng di Pagelaran Keraton mendengar dawuh Ngarso Dalem (Sri Sultan Hamengkubuwono X). Di kampung, hasil penjualan slayer itu saya pakai untuk menghidupi usaha kolam lele dan ternak ayam bersama. Begitu saya masuk kuliah, saya berkenalan dengan banyak aktivis PRD, FPPI, LMND, dan berbagai organ lain. Di masa itu saya mulai menulis puisi-puisi bertema sosial. Kadang juga ikut demonstrasi, namun kemudian saya memilih ke jalur kesenian.

Pada tahun 2000–2001 saya aktif di Kelompok Belajar Seni dan Kebudayaan (KBSK) Telaga. Setiap bulan kami diskusi dengan masing-masing orang mempresentasikan karya, entah itu tulisan, musik, puisi, tari, karya visual. Sebagai mahasiswa saat itu saya menjadi cerewet sekali, banyak membaca, selalu ingin tahu, dan agak arogan. Saya percaya waktu itu bahwa seni harus berguna bagi masyarakat. Buku-buku itulah yang membuat saya menjadi cerewet. Mugkin karena euforia reformasi saat itu masih sangat kental. Komunitas-komunitas kecil bertebaran dimana-mana. Kecerewetan itu yang mendorong saya untuk sering menghadiri forum-forum diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas Solid yang bermarkas di Kampung Terban, diskusi yang diselenggarakan teman-teman mahasiswa, diskusi seni yang menghadirkan tokoh-tokoh seperti Sujiwo Tejo, Seno Gumira Ajidarma, Pak Faruk, Djaduk Ferianto, Bondan Nusantara, dan diskusi bersama kelompok tujuh yang dibentuk teman-teman dekat. Saat itu saya masih menulis puisi dan naskah drama.

Pada akhir tahun 2001 saya menemukan ruang baru berupa seni pertunjukan dalam bentuk pantomim dan teater sanggar. Saya belajar menghafal naskah. Melakukan olah rasa, jiwa, serta pikiran. Dan berusaha memahami filsafat. Saya belajar pantomim dan sangat menyukai Milan Sladek, Charlie Chaplin, Marcel Marceau, Stephen Chow. Di dunia pantomim, Jemek memengaruhi keberanian dan keunikan saya di pementasan pantomim. Sementara Milan dan Marceau lebih ke bentuk artistik dan teknis bermain. Dalam dunia film saya menyukai tokoh seperti Quentin Tarantino yang menginspirasi saya tentang sudut pandang cerita seperti dalam film Pulp Fiction, Stepen Chow menginspirasi dalam hal membuat kekonyolan yang gila, dan Charlie Chaplin dalam membuat narasi sederhana namun mengena dalam kehidupan sosial. Seni pantomim ini seni yang bisu, seni yang tidak banyak bicara, seni yang hening. Saya tak sadar bahwa itulah cara saya menyeimbangkan diri sendiri yang cerewet. Saya hanya merasa seni ini lebih konkret dalam menyalurkan ide, perasaan, dan pikiran saya daripada terlibat langsung dalam persoalan-persoalan atau gerakan politik yang sedang mekar-mekarnya. Meski begitu saya tetap bergaul dengan teman-teman saya yang aktif di dunia politik.

Di KBSK Telaga saya punya teman yang fokus pada pantomim seperti Asita Kaladewa dan Ari Dwianto. Kami membentuk kelompok pantomim A Mime dan mulai pentas di kampus-kampus di Yogya. Ada juga teman yang suka dunia teater, namanya Satrio Bangsat dan Popo (BW Purbanegara, sekarang menjadi sineas muda Indonesia ). Popo adalah seorang mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sehingga karya-karyanya sangat berbau filsafat. Kami berpikir membangun sanggar di kampung saya, namanya Sanggar Garputala. Sanggar itu lokasinya di kampung sehinggabanyak pula anak-anak dan remaja bahkan orang-orang dewasa turut berkesenian. Saya dan teman-teman kampung kemudian membentuk Teater TeMMU dengan bantuan Bapak Camat dan warga dari beberapa kampung di Kecamatan Mantrijeron. Teater tersebut sempat mendapatkan beberapa kejuaraan di tingkat provinsi.

Di sanggar itu saya memulai proses menulis dengan mesin ketik manual, menulis naskah-naskah yang berguna untuk teman-teman, kampung halaman, dan diri saya. Di sanalah saya mulai menulis puisi dan naskah-naskah drama. Muncul naskah pertama berjudul Wanita Insomnia yang dipentaskan olehSanggar Garputaladi panggungRealino Sanata Dharma. Naskah tersebut bercerita tentang sosok wanita yang selalu dihantui ironi masa lalu sekaligus mimpi-mimpi indahnya. Di era komputer menyusullah naskah adaptasi karya Noor WA: MEGATRUH (Kisah Orang-Orang Tangguh), Lelakon Urip Dilakoni Kanthi Waras lan Trengginas, Mak Ana Asu Mlebu Ngomah. Lakon-lakon tersebut berkisah tentang sejarah dan peristiwa yang terjadi di kampung seperti penembakan misterius, perjuangan bertahan hidup, harapan, rasa frustrasi, masuknya modal besar dan sistem yang meluluhlantakan kehidupan masyarakat kecil. Naskah itu dipentaskan oleh warga kampung sendiri di pendapa kecamatan dan di halaman rumah penduduk.

Saya merasa naskah drama dan tulisan-tulisan lain saya, selain berguna bagi pembaca atau penonton pentas saya, berguna untuk diri saya sendiri. Saya percaya bahwa tulisan tak sekadar untuk bangga-bangaan, namun untuk diri saya sendiri. Saya berpikir bahwa apa yang saya tuliskan — naskah drama, puisi, cerpen, atau esai — merupakan jawaban atas banyak pertanyaan-pertanyaan pribadi saya. Kenapa saya begitu dendam pada keluarga saya, kenapa kampung mungil saya harus digusur, bagaimana nasib kawan maupun kerabat yang kemudian hidup berpencaran, kenapa pengembang perumahan penggusur kampung memakai preman bayaran untuk mengintimidasi kami. Lewat karya itu perlahan-lahan saya dapat ikhlas menerima latar belakang keluarga, menerima segala yang telah lewat dan menghancurkan saya itu meluruh, dan memulai kembali pertumbuhan diri saya sendiri.

Manakala di dunia pantomim saya menemukan keseimbangan diri saya sendiri, di tempat kuliah saya mulai belajar merasakan jatuh cinta yang indah namun penuh dengan berbagai problematika asmara. Saya mulai mengalami benturan-benturan hidup. Saya patah hati, harus hidup dengan bekerja serabutan, dikecewakan oleh orang-orang yang saya harapkan, dan juga merasakan kebahagiaan-kebahagiaan hidup. Semua itu membuat tulisan-tulisan saya berkembang dan memprovokasi diri saya untuk berani mengambil keputusan dalam hidup. Di tahun 2006, Saya memutuskan tidak akan bekerja ikut orang lain. Saya merasa bekerja ikut orang membuat saya merasa canggung dalam menjalani hidup, terutama mengenai pilihan hidup. Saya putuskan untuk membuka usaha sendiri dan menghayati dunia seni. Saya menghidupi dunia kesenian saya dengan jualan donat. Perasaan merdeka memenuhi benak saya waktu itu: saya dapat bebas menulis, berteater, berpantomim, dan berkegiatan di kampung.

Sejujurnya, sampai tahun 2006, saya tidak mengenal dunia luas kecuali mengikuti orang-orang dekat yang dengan sabar mengasuh saya. Di kampung saya mengikuti seni untuk rakyat dalam bentuk yang paling sederhana. Orang-orang kampung belajar teater dengan tema-tema yang akrab dengan kehidupan mereka. Saya ikut lomba-lomba teater, menulis naskah. Saya membikin acara dengan mengundang warga, camat, lurah, juragan, dan lain-lainnya. Saya benar-benar terjun ke masyarakat seputaran saya untuk memahami bagaimana pekerjaan mereka, kesusahan mereka. Saya ingat dengan kata-kata Pramoedya. Apa yang kamu kerjakan tulis saja, dan praktikkan, sehingga nanti akan tahu apakah itu berguna atau tidak di masa depan.

Ucapan Pram turut mengobarkan cita-cita saya membangun masyarakat — terutama generasi muda — agar mereka mandiri mengasah keterampilan dan berkesenian. Saya sempat merancang konsep Pusat Keterampilan Masyarakat (PuKeRa) dengan pengandaian adanya kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha di kecamatan yang peduli untuk membiayai kegiatan PuKeRa. Banyaknya pengusaha yang sanggup menjadi donatur waktu kami mementaskan teater menjadi inspirasi bagi sumber pendanaan PuKeRa. Kegiatan tersebut meliputi keterampilan tata boga, montir, sablon, bercocok tanam, peternakan, komputer, dan lainnya. Guru bisa dari warga sendiri yang berkompeten atau mendatangkan para profesional di bidangnya. Konsep pemberdayaan masyarakat itu lahir akibat banyaknya teman-teman muda yang menganggur dan di sela-sela kegiatan teater saling mengajari keahliannya seperti membengkel, membuat kerajinan tangan, dan mengajarkan Bahasa Inggris. Saya terinspirasi sebuah buku “Sekolah Itu Candu” karangan Roem Topatimasang. Sayang, sampai sekarang konsep itu belum terlaksana.

Peristiwa yang membuat saya kacau adalah kabar akan tergusurnya tanah leluhur, yaitu kampung mungil saya. Tanah leluhur saya hilang akibat kalah sengketa. Pengembang yang tak mengenal sejarah mengerahkan preman dan orang-orang suruhannya untuk mengusir orang kampung. Isu pengusuran itu terjadi pada 2006–2008. Orang-orang kampung kebingungan ke mana mereka akan pergi, di mana lagi mencari pekerjaan, dan bagaimana nasib keluarga mereka kalau telah terpencar. Lalu timbul krenteg untuk bergerak bersama mereka, meyakinkan mereka bahwa kehidupan harus dijalani dengan waras dan trengginas, bersama-sama menjaga daya hidup, untuk tak takut terhadap para preman. Kehidupan yang jelas yang harus dijalani lebih dulu. Sebagai penulis atau orang yang menulis saya menggugah semangat hidup mereka lewat pementasan drama berjudul Lelakon Urip Dilakoni Kanti Waras lan Trengginas. Waktu itu saya berpikir saya masih muda, tak bisa berbuat banyak untuk membela, sehingga yang bisa saya sumbangkan adalah menyelamatkan daya hidup dan pikiran. Namun ketika kekalahan — baik secara hukum dan kenyataan — telah sampai, saya harus mengakui kekalahan itu dan menerimanya. Sampai sekarang saya terus menjaga semangat dari kampung saya, dari pengalaman buruk dan spirit perlawanan yang saya lakukan, dan mencoba melakukan metamorfosis atas itu semua, baik dalam karya saya maupun dalam kontribusi saya di konteks masa kini.

Saya menuliskan sejarah kampung saya itu dalam bentuk karya-karya baru sebagai kesaksian sekaligus untuk menyemangati kehidupan orang-orang kampung yang telah remuk. Lakon berjudul Lelakon Urip Kudu Dilakoni Kkanti Waras lan Trengginas merupakanrespons kreatif pertama atas apa yang telah dikerjakan orang-orang itu. Tujuannya adalah biar warga tetap bekerja, anak-anak sekolah, dan kehidupan kampung bisa berjalan sebagaimana mestinya. Beruntunglah saya yang sejak kecil dibuahi oleh dunia panggung, baik secara sadar maupun tidak sadar. Di dunia panggung saya sangat terpengaruh oleh Rendra. Saya sangat menyukai pentas Rendra di UGM tahun 1999, ketika ia pentas bersama sang istri, Ken Zuraida. Rendra dapat membawakan drama dengan santai dan menyampaikan isi dramanya dengan sangat komunikatif sehingga dapat membawa penonton hanyut. Di dunia teater saya mengagumi Cindil (Gunawan Maryanto) karena ia mengajari saya metode menyutradarai dengan pola-pola sederhana yang mudah ditangkap dan kelebihannya dalam memahami kemampuan aktornya. Dalam penyutradaraan saya sangat suka dengan Teguh Karya dan Suyatna Anirun. Saya belajar kesempurnaan pada detil garapan mereka meski masih sulit saya terapkan hingga sekarang. Dalam hal keaktoran saya sangat mengagumi Butet Kertaredjasa, Whani Darmawan, Jim Carey, Hillary Swang, Donny Yen, dan Chow Yun Fat. Baru-baru ini saya sangat menyadari keterpengaruhan pada Edi Sunarso pada karakter dan ekspresi karya patungnya yang dari kecil sering saya lihat di televisi namun belum tahu pembuatnya. Dulu saya membayangkan karakter yang saya ciptakan sekuat karakter patungnya.

Pada 2008 kampung mungil saya benar-benar tergusur. Pikiran saya tumbang. Segalanya hilang: keluarga, saudara dekat, orang-orang tua yang biasa bercengkerama, dan hal-hal yag pernah dekat dengan diri saya. Dan saya memutuskan hidup keluar dari kampung. Setelah saya membaca dalam konteks yang lebih besar, saya melihat kasus semacam ini terjadi di berbagai tempat. Orang-orang kecil tergusur, hilang tak tentu rimbanya. Saat itulah saya membuat naskah baru berjudul “Mak, Ana Asu Mlebu Ngomah.” Asu atau anjing adalah simbol bagi hal asing yang tidak dikenali atau sulit dipahami yang hadir di tengah-tengah masyarakat dan mengakibatkan kehancuran segala-galanya. Lewat lakon itu saya bersaksi atas seluruh kehilangan yang dialami oleh saya dan warga kampung. Lewat lakon tersebut saya juga harus melihat ke dalam diri sendiri supaya saya tetap bisa bergerak. Saya sampai pada kesimpulan bahwa diri ini bisa tergusur secara geografis, namun semangat, budi pekerti, impian, cita-cita, ajaran leluhur akan tetap mengikuti saya. Saya tetap tak bisa melupakan ketika ayah saya didatangi preman berambut cepak, meneror keluarga saya, dan memaksa kami segera minggat dan menghancurkan segala hal yang sudah terbangun lama. Dengan sisa-sisa tenaga, saya mengumpulkan teman-teman yang masih bisa berkumpul dan berkesenian bersama lalu mementaskan naskah saya pada 2009.

Sejak saat itu saya memutuskan akan membawa nilai-nilai dan energi dari kampung saya ke mana pun saya pergi. Saya mulai membangun sanggar pantomim Bengkel Mime Thetare di Nitiprayan dan mulai tumbuh lagi dengan membaca diri dan lingkungan baru. Pada masa itu saya sering melakukan perjalanan sendiri dari kota ke kota dan banyak menulis peristiwa seni budaya. Saya mulai mempublikasikan tulisan di media massa, beberapa dimuat di majalah Gong, Kompas daerah, InsideIndonesia, MingguPagi dan berbagai majalah Indie. Saya mulai memiliki tenaga besar untuk bergerak ke mana-mana. Kemudian saya mulai mengenal Yudhi Ahmad Tajudin, Ikun Sri Kuncoro, dan dipertemukan dengan Afrizal Malna. Mereka orang-orang yang memprovokasi saya untuk berkarya lagi. Saya tidak tahu kalau ternyata Afrizal orang yang terkenal di dunia seni. Setahu saya beliau pacarnya Fitri teman saya. Saya hanya sering mengantarnya pergi ke mana-mana, karena ia tak bisa naik motor. Saya kemudian menyadari bahwa masa lalu yang menggodok saya itu sebuah dunia kecil yang mengungkung.

Pada masa-masa itu karya-karya pantomim saya dan teman-teman Bengkel Mime Theater berlahiran: Aku Malas Pulang ke Rumah, Super Yanto, Potret Terakhir, Sang Veteran, Rudy Goes To School, Pangeran Bintang dan Putri Embun dan lain-lain. Karya-karya pantomim itu bicara tentang kota dan masyarakatnya yang gagap menghadapi perubahan, keluarga yang dimasuki tren dan budaya konsumeris, lingkungan hidup, pendidikan, pejuang bangsa dan kisah-kisah hidup sehari-hari. Selain berkarya di dunia pantomim, energi saya masih mampu untuk melakukan hal lain, seperti menjadi koordinator Festival Teater Yogya (2009–2011), pendamping artistik teater di tiga kampung dalam program Babad Kampung di Festival Kesenian Yogya (FKY 2008), Koordinator lapangan Paralel Event Bienale Yogya 2011 di 4 Kabupaten dan kota, pentas dari kota ke kota, dan bekerja macam-macam.

Di masa-masa ini saya dipertemukan dengan seorang perempuan aneh yang membuat saya marah dengan diri sendiri. Bersamanya saya dihadapkan dengan kenyataan yang membuat saya merasa bodoh dalam berelasi dengan lawan jenis. Saya ingin belajar berelasi, berkomunikasi, dan membangun pribadi yang kuat. Perempuan itu membantu saya membaca diri dan lingkungan lewat diskusi dan tulisan. Meski demikian kadang saya tetap menjadi melankolis, merenungi diri yang selalu merasa sendiri, kalah, dan tak tahu arah. Ia yang membuat saya berani tetap menulis dan membacai diri hingga di kemudian hari kami berpisah. Ia yang membantu mengumpulkan karya karya tulis saya dalam rangka membaca diri hingga menjadi buku-buku lucu.

Sejak 2010 saya mulai berkeliling dari kota ke kota di Jawa dan beberapa kota di luar jawa seperti Bali, Lombok, Sumatra, Bangka, Makassar dengan mengadakan lokakarya dan pementasan pantomim. Saya dipertemukan dengan Dwicipta. Ia memprovokasi saya untuk membuat konsep-konsep baru dalam program pentas keliling. Lahirlah “Mandala Pantomim Indonesia Cinta” dimana kami membuat acara tahunan yang berkelanjuan di kota-kota sebagai ruang belajar membaca situasi secara kritis di kota tersebut sehingga melahirkan tema-tema baru. Program ini dikerjakan oleh anak-anak muda di masing-masing kota tersebut setelah mendapat lokakarya pantomim. Konsep ini berhasil dijalankan di dua kota Solo dan Purwokerto, namun sayang hanya berlangsung tiga tahun. Selain itu kami juga menyelenggarakan pentas di luar ruangan seperti di halaman pesantren sewaktu kami melakukan perjalanan di Lombok Utara. Seiring dengan itu saya menerbitkan buku-buku yang berisi berbagai karya saya. Semuanya dengan biaya yang saya dapatkan dari berbagai macam lantaran. Saya bertemu dengan banyak orang dan di setiap pentas saya menjual buku-buku saya.

Dari perjalanan berkesenian itu saya menemukan ruang baru: dunia seni di luar kampung saya. Dari dunia baru itulah naskah berbahasa Jawa saya lahir lagi dengan judul “Ora Iso Mati (isih akeh wong jujur nangisor wit jambu air).” Lewat karya itu saya melihat keburukan dunia kesenian sama saja dengan keburukan dunia lainnya: kehausan eksistensi, saling tipu, kemunafikan, berebut kekuasaan, rasa frustrasi, penjilatan, mementingkan diri, saling serang dan sebagainya. Keburukan akan ada di mana-mana. Saya menulis Ora Isa Mati untuk mengatakan bahwa berbagai keburukan ada di mana-mana. Namun jangan melupakan bahwa masih ada hal-hal baik yang mesti diselamatkan mesti dijalani di mana pun. Saya bercerita tentang tokoh bernama Ganang yang di tubuhnya ada tato peta harta karun desa. Untuk mempertahankan harta karun yang diperuntukkan bagi warga desa ia harus berkelahi dengan teman-temannya sendiri. Naskah lakon ini mengantarkan saya pada kesadaran bahwa tulisan adalah pernyataan-pernyataan hidup. Segalanya hidup, yang baik dan buruk, dan tinggal kita memilih di mana kita menempatkan diri kita sendiri. Kita harus membaca banyak hal. Inilah tawar-menawar kita dengan dunia dan sistemnya. Saya ingin terus berkomunikasi dengan teman-teman dan dunia di luar saya.

Karya-karya saya seperti puisi dan cerita pendek lahir lebih sebagai efek samping dari kegelisahan saya di dunia panggung. Dalam puisi, orang pertama yang memengaruhi saya adalah Kirdjomulyo. Naskah teater dan esai saya terpengaruh oleh Indra Tranggono. Untuk cerpen, saya hanya menulis hal-hal kecil, kerusakan-kerusakan kecil dalam lingkup yang lebih mikro. Misalnya membuat narasi baru tentang Arjuna (Arjuna yang merasa tersiksa, berdosa dengan gaya hidup priyayinya dan ksatria yang ternyata banyak memakan korban). Kalau puisi, yang lahir hampir seiring dengan naskah, lebih dalam rupa letupan-letupan kecil. Seperti saya merenungi untuk apa sekolah, belajar membaca dan menulis untuk apa, dan siapa sebenarnya yang sekolah. Oh, ternyata hati nurani yang berangkat sekolah untuk membaca diri. Seperti di dunia panggung dan dalam proses penulisan naskah, di dunia penulisan puisi saya memanfaatkan kegelisahan saya atas berbagai hal yang terjadi pada diri saya dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar sana. Bagi saya setiap orang yang gelisah tentang diri dan sekitarnya itu orang yang beruntung. Sangat banyak orang yang tidak peka hanya gelisah untuk hal-hal materi — bukan untuk rohani. Apalagi ketika ijazah pendidikan dan lapangan kerja adalah segalanya. Banyak orang hanya mengejar uang, karier, dan seks. Mereka jenis manusia yang hanya berpikir untung rugi dan dapat dibeli. Jarang mengalami kegelisahan substantif yang membuat seseorang menjadi dirinya sendiri.

Barangkali itulah alasan kenapa saya menjadi penulis yang lamban. Saya jarang memaksakan diri ketika menulis. Bagi saya, pertanyaan seperti bagaimana menyalurkan emosi ke dalam tulisan menjadi pertanyaan yang bersifat teknis. Saya lebih lebih menitikberatkan pada laku dan penyatuan seluruh pengalaman dan pengamatan saya dalam karya yang menurut saya pribadi paling pas. Naluri, intuisi, dan perasaan itulah yang membimbing saya memilih bentuk tulisan apa yang kira-kira pas dalam menjawab kegelisahan saya. Saya selalu kagum dengan Puthut EA yang mampu menulis peristiwa yang sangat padat dalam tempo cepat. Sementara puisi dan cerpen saya kadang selesai beberapa bulan bahkan setahun kemudian. Di saat mengalami kebuntuan menulis, tulisan saya tinggal. Ketika saya buka lagi dan momennya dapat, saya melanjutkannya kembali. Ketika menghadapi tulisan lama saya seperti menghadapi rumah lama yang kotor yang harus saya bersihkan kembali di sana-sini dan menambahinya. Saya tak pernah memaksakan diri mencari solusi kebuntuan. Masih banyak hal yang harus dikerjakan. Masih banyak tempat yang harus saya datangi. Saya suka dengan berkelakar menyatakan bahwa orang yang menulis adalah orang yang kesepian atau mengingat ejekan orang di kampung: jika kamu merasa tak punya keterampilan apa-apa, maka menulislah.

Kalau dipikir-pikir, dunia kepenulisan saya tidak terbangun dari sebuah konsep ideal. Selama tumbuh dari orang yang tidak tahu apa-apa hingga memiliki kemampuan tertentu dalam menulis, saya melihat diri saya sebagai orang yang terus menapaki jalan pembelajaran menjadi manusia yang mengerti dirinya sendiri. Saya pernah mengalami fobia ketika dalam proses penulisan naskah teater. Waktu itu saya tidak tahu tata cara pemakaian tanda baca. Di mana meletakkan koma, titik koma, tanda sambung, dan tanda baca lainnya. Usia saya waktu itu 20-an tahun. Saya kurang memperhatikan jika diajari oleh guru tata cara menulis yang baik dan benar. Namun saya hanya ingin menuliskan apa yang ada di dalam pikiran saya. Saya lebih banyak berkembang dari dunia panggung. Saya belajar dari alam dan kehidupan sosial yang saya jalani. Pengalaman-pengalaman itu yang mengajarkan pada saya untuk jangan malu untuk mengakui masa-masa kalah, menjadi pecundang, menjadi pengkhianat diri sendiri, menjadi orang yang munafik, egois, dan manusia gagal. Saya mesti belajar lagi dan banyak mendengar. Dalam perkembangan penulisan puisi Afrizal mengajarkan saya membuat dunia imaji dari kosakata dan kalimat yang dijumpai dalam keseharian. Kemudian saya suka menjadikan kata-kata atau benda-benda menjadi aktor yang hidup, dan melahirkan impresi yang diolah dari dalam diri. Dalam hal impresi atau kesan saya cenderung kekanakan, melankolis, dan genit dalam berpuisi, yang tentu berbeda dengan Afrizal Malna.

Hidup dalam taman sari ekspresi kebudayaan yang beragam, saya tak pernah berpikir bahwa aktivitas menulis merupakan satu-satunya saluran ekspresi kreatif dalam merespons berbagai pengalaman hidup. Saya sadar tidak semua salurannya adalah menulis. Tidak semua manusia bisa melahirkan ekspresi seni dalam satu saluran saja. Banyak saluran atau ekspresi seni yang jadi media bagi orang untuk menyikapi lingkungan sekitar dan peristiwa yang melibatkannya. Ekspresi atas ketakberterimaan dan rasa syukur bisa lahir lewat ekspresi-ekspresi lain seperti seni tari, nyanyian, dongeng, dan catatan sejarah kecil lainnya. Misalnya Reog Ponorogo, itu adalah kesenian protes dari era kepemimpinan Brawijaya yang mulai melemah lantaran sang Raja banyak dipengaruhi istrinya, Putri Campa. Ekspresi protes dilakukan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker (sekarang Ponorogo). Raja dilambangkan singa yang dikitari kemegahan namun kepalanya diduduki seorang putri. Sesaji juga bisa dibaca sebagai cara menyikapi lingkungan seputar. Sebenarnya sesaji juga sebagai sistem kontrol. Sesaji buah-buahan dan hasil bumi menjadi alat kontrol atas berbagai produk pertanian yang sedang bagus atau sedang menghadapi penyakit atau hama. Ketika persembahan sesaji tidak lengkap, umpama kelapa yang biasanya berjumlah 9 berkurang 5, maka kita segera mengetahui bahwa daerah penghasil kelapa mungkin sedang diserang hama. Ritual sesaji ini bisa menjadi instrumen yang dipakai seniman kita di zaman dulu agar masyarakat segera memperhatikan pengelolaan dan pemeliharaan produk-produk pertanian mereka.

Sebagai seorang penulis, baik sebagai impuls sampai tindakan sadar, tindakan menulis yang saya lakukan adalah pernyataan dari kehilangan demi kehilangan yang terjadi pada diri dan masyarakat saya. Pernyataan atas kebahagiaan-kebahagiaan yang pernah saya alami. Pernyataan-pernyataan atau kesaksian atas segala hal yang terjadi pada diri saya. Semuanya itu bergerak sendiri. Ketika kekasih tercinta atau teman dekat saya membaca, mereka bertanya kenapa saya bisa menuliskan itu semua. Mereka merasa diri saya diemong atau diasuh oleh sesuatu yang tak pernah tampak. Saya punya pengalaman menarik, pernah pada suatu ketika saya membacoki pohon nangka dengan pisau di halaman rumah. Ayah saya marah sembari berkata bahwa pohon nangka itu adalah kakek saya. Saya selalu bertanya kenapa si pohon nangka bisa menjadi kakek saya. Saya juga berpikir pohon-pohon di sekitar pohon nangka itu adalah teman kakek saya. Di kemudian hari saya paham bahwa pada agresi militer Belanda kakek saya dibunuh tentara NICA lalu jasadnya dikubur di bawah pohon nangka, baru setelah merdeka dipindahkan ke pemakaman umum. Itulah yang di kemudian hari membuat saya sadar bahwa itu adalah pengalaman-pengalaman sastrawi saya.

Dalam interaksi di dunia kesenian, pengalaman masa lalu, masa kini, dan impian masa depan yang terekspresikan lewat berbagai tindakan kesenian saya nantinya membentuk prinsip-prinsip, pandangan, dan tatanan nilai yang menjadi pelita bagi saya agar menjadi orang kuat dalam menjalani hidup. Ada falsafah dari Ethiopia yang berujar begini: Kalau di depan orang yang menang segala-galanya dari kita, merunduklah rendah-rendah dan menghormat tapi kentutlah secara pelan-pelan. Falsafah ini saya pakai salah satunya dalam kasus Denny JA di mana saya pernah berinteraksi dengannya. Pada 2012 saya dipertemukan dengan anak buah Denny JA untuk menjadikan puisinya sebagai naskah drama. Saya mengambil puisinya yang bercerita tentang relasi beda agama. Saya kadang geli sendiri kalau mengingatnya. Sebab saya tak tahu siapa Denny JA. Saya hanya tahu Denny JA adalah orang kaya, yang ingin mencatatkan dirinya dalam sejarah seni sastra Indonesia. Bagi saya itu sah-sah saja selama ia mempunyai daya tawar dan kontribusi baru dalam dunia yang ingin ia geluti. Waktu itu saya ditunjuk sebagai salah satu penulis naskah drama dari puisinya yang paling muda. Saya menyepakati karena ada kata multiinterpretasi atas puisinya dan ada dewan redaksi yang menyeleksi. Saya mengerjakannya sesuai interpretasi saya yang tentu saja jauh berbeda dengan cerita di puisinya Si Denny. Saya mengirimkannya kepada dewan redaksi dan sudah gol. Namun kemudian naskah saya dikembalikan dengan stabilo merah karena tidak sesuai dengan dengan keinginan Si Denny. Oleh dewan redaksi saya disuruh agar disesuaikan dengan isinya lewat iming-iming tambahan honor tentu saja (waktu itu dapat lima juta). Saya dan Joned Suryatmoko tidak mau memperbaikinya karena merasa sudah lolos. Akhirnya naskah saya dan Joned dinyatakan tidak dipakai. Bagi saya dalam bekerja sama harus ada ruang tawar-menawar untuk kesepakatan bersama, karena masing-masing punya sikap berbeda. Apabila kesepakatan itu dilanggar ya sudah, tidak usah dijalani.

Akhir-akhir ini banyak kelompok kesenian yang pentas di luar negeri. Mungkin mereka kelompok-kelompok kesenian yang beruntung. Mereka dapat melontarkan gagasannya secara lebih luas dan universal. Keberuntungan ini mungkin disebabkan mereka punya kemampuan manajemen, komunikasi, dokumentasi, keuletan mencari sumber pendanaan, sponsor, dan jaringan di luar negeri. Hal-hal di atas menjadi persyaratan mainstream untuk ke luar negeri. Saya tak punya kemampuan itu semua. Pendidikan akademis saya terbatas. Kerjasama dan pentas ke luar negeri bukan menjadi obsesi saya. Lagipula saya selalu berpikir obsesi bisa menjadi penyakit. Saya berusaha melihat diri saya sendiri. Seni adalah ruang untuk mencari kebahagian-kebahagiaan kecil yang melahirkan daya hidup untuk membangun. Yang lebih fundamental, bagi saya seniman harus bisa menemukan gelembung-gelembung oksigen baru agar dapat terus menghasilkan karya seni sebagai cerminan atas kegelisahannya. Seni lahir bukan karena mengada-ada atau dipaksakan, ia membutuhkan nafas yang panjang untuk mendengar, melihat, berpikir dan merasakan. Gelembung oksigen itu berisi banyak hal, banyak nilai, yang masing masing berbeda. Saya berprinsip untuk bisa keluar negeri saya harus mencari jalur-jalur lain. Ada jalur ketidaksengajaan, karena saya pernah mengalami ketika teman saya tidak dapat berangkat saya menggantikannya. Kedua, jalur persahabatan yakni bekerjasama dengan teman yang sudah dekat secara emosional, sebagaimana ketika kami bekerjasama dengan teman antarkota. Jadi yang perlu diingat adalah kesenian itu bukan untuk ke luar negeri. Kesenian itu adalah oksigen yang membuat kita lebih (merasakan) hidup.

Saya baru dua kali ke luar negeri, yakni keTimor Leste dan Singapura. Pengalaman di Singapura tentu saja sangat berbeda dan bertolak belakang dengan di Timor Leste. Di Singapura teks-teks pementasan yang saya bawakan lebih pada hal-hal ringan dan bersifat hiburan meski tetap menawarkan imajinasi dan teknik bercerita yang komunikatif. Lebih memancing rasa penasaran dan keinginan penonton atau pelaku seni untuk belajar bahasa ekspresi baru. Mungkin karena itulah kemudian seniman dari Singapura mennggelar workshop di sanggar saya.

Ketika di Timor Leste, dalam rangka diundang acara “Arte Publiku”, saya sangat kaget melihat masyarakat di sana. Inilah negara bekas provinsi ke-27 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya merasakan pantomim sangat berguna sekali di sana, karena saya merasakan sedih sekali ketika memberikan lokakarya seni pantomim. Saya menyaksikan banyak tubuh-tubuh yang takut, tubuh yang sangat sulit berekspresi. Di Timor Leste itulah saya memberikan lokakarya berbeda dibandingkan di tempat lain. Saya seperti merasakan penindasan itu meresap hingga ke tubuh manusia. Saya jadi turut merasakan ketertindasan selepas penjajah Portugis jatuh ke tangan rezim militer Orde Baru yang sangat kejam, dan sekarang Australia, China, dan Amerika “bermain” di negara kecil tersebut. Orang-orang Timor-Timur menjadi manusia yang selalu dihantui oleh ketakutan dan kekhawatiran akan sesuatu yang menguasainya.

Panitia penyelenggara “Arte Publiku” sendiri berasal dari Australia. Mungkin masyarakat setempat dianggap belum mampu menginisiasi acara secara mandiri. Pandangan ini membuat mereka takut untuk berbuat atau melakukan sesuatu, takut salah dan selalu was-was hingga di bawah sadarnya. Saya menjadi sangat sabar dan memahami kondisi sejarah psikis para peserta lokakarya. Dengan hati-hati selama tiga-empat hari saya memberikan materi sampai para peserta mampu berekspresi dan membuat narasi kecil untuk dijadikan karya pertunjukan di atas panggung. Saya merasa keharuan mendalam saat melihat kebahagiaan teman-teman di Timor Leste pentas pantomim di atas panggung dengan lancar dan menggembirakan.

Untuk saat ini dan di masa-masa yang akan datang, saya kira tantangan dalam menulis adalah menemukan narasi-narasi baru. Bukan membuat cerita baru yang sudah ada, yang hanya melahirkan cuilan-cuilan impresi bahagia, ironi, tragis, dan sedih saja, tanpa mengetahui sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Tapi melahirkan gagasan, pandangan dan cita-cita baru, sebab banyak nilai-nilai positif yang hilang dan terdekonstruksi karena kepentingan kekuasaan yang menyebabkan kemerosotan mental dan semangat juang. Salah satu contohnya, saya terinspirasi oleh Noorca M Masardi dalam novel fiksinya September, yang diulas oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965. Noorca membuat pandangan narasi yang mencelat dari mainstream tentang peristiwa 1965 selama ini. Ia membuat tokoh-tokoh dengan anagram. Soeharto menjadi Theo Rosa, Nasution menjadi Tasnio Hanu, Ahmad Yani menjadi Mahya Nida. Dalam cerita tersebut Theo Rosa gagal melakukan kudeta dan bunuh diri karena terbongkar agenda rahasianya. Masih banyak yang harus kita kerjakan dan melahirkan narasi anyar demi menawarkan pemikiran dan cita-cita baru bagi kehidupan generasi yang lebih bermutu di masa depan.

Dengan cara ini karya seni tak hanya hadir sebagai sesuatu yang indah, namun juga menyuntikkan spirit dan mendorong perubahan nyata dalam masyarakat. Bukankah begitu? []

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)