Dituduh Menduduki Lahan Kekancingan, PKL Digugat 1,12 Miliar

Literasi.co
Literasi
Published in
3 min readSep 9, 2015

[caption id=”attachment_3734" align=”aligncenter” width=”585"]

LBH Yogyakarta mengadakan konferensi pers terkait kasus lima Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terancam diusir, Senin (7/9). Meski sudah ada kesepakatan bahwa PKL tetap bisa berjualan, gugatan terhadap mereka belum dicabut. FOTO: ARMA DHANY[/caption]

SENIN (7/9), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadakan konferensi pers terkait kasus lima Pedagang Kaki Lima (PKL) yang akan diusir dan digugat 1,12 miliar.Para PKL dituduh menduduki tanah yang sudah dibekali surat kekancingan Keraton Yogyakarta yang diberikan kepada Eka Aryawan. Tanah yang ditempati kelima PKL terletak di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta.

Disampaikan melalui rilis media, kasus ini mulai terjadi sejak 2012. Mula-mula para PKL didatangi orang-orang tak jelas yang mengatasnamakan Eka Aryawan.Orang-orang itu menunjukkan fotokopi surat kekancingan.Surat kekancingan adalah surat yang diberikan kepada warga yang memakai tanah milik Keraton Yogyakarta. Pemegang surat diberi izin pinjam-pakai atas tanah.

Berbekal surat kekancingan atas nama Eka Aryawan, orang-orang itu meminta para PKL untuk meninggalkan tanah yang sedang ditempati. Para PKL menolak. “Kami berjualan di sana sejak tahun 1960, dari nenek-nenek kami.Kami melanjutkannya untuk menyambung hidup,” kata Budiyono, salah satu PKL. Sejak itu, LBH Yogyakarta mulai mendampingi kelima PKL.

Puncaknya terjadi pada 20 Agustus 2015.Kelima PKL menerima panggilan sidang perihal adanya gugatan hukum perdata dari pihak Eka Aryawan.Isi gugatan tersebut adalah kelima PKL harus meninggalkan tempat dan sekaligus dipaksa untuk membayar kerugian sebesar 1,12miliar rupiah. Ada rencana pembangunan jalan masuk ruko milik Eka.

Atas rangkaian peristiwa yang menimpa para PKL, LBH Yogyakarta menyampaikan sikapnya. Pertama, LBH menyayangkan sikap pihak Keraton Yogyakarta yang secara sepihak mengeluarkan surat kekancingan tanpa memperhatikan klien mereka yang notabene adalah golongan ekonomi lemah. Kedua, LBH meminta Eka Aryawan patuh pada kesepakatan yang telah dibuat pada 13 Februari 2013, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi Eka Aryawan untuk mencabut gugatan. Kesepakatan yang dimaksud adalah perjanjian antara para PKL dan Eka Aryawan yang salah satu isinya memperbolehkan para PKL untuk tetap berjualan. Ketiga, LBH menyayangkan pihak Keraton Yogyakarta yang membiarkan pemegang kekancingan untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara menggugat ke pangadilan,sehingga terkesan tidak bermartabat dan tidak menjunjung tinggi kemanusiaan.

Saat konferensi pers, Sutinah, salah satu PKL, mengaku terkejut dengan surat gugatan yang tiba-tiba dilayangkan kepadanya. “Kita mau ambil uang dari mana? Kita ini kan hanya pedagang kecil yang sudah sejak lama berjualan di tempat ini.Sudah sejak dulu nenek buyut kami berjualan di sini,” ungkapnya. Baginya, hanya tempat itulah yang mereka miliki untuk mencari nafkah. “Kami membayangkan uang 1,12 miliar itu saja tidak sanggup, apalagi memiliki itu,” tandas Sutinah.

Suwani, PKL yang lain, menegaskan, “Tanah ini masih tanah Keraton dan kami tidak akan pindah dari tempat ini.” Ia melanjutkan, “Penghasilan kami pun tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari, apalagi diminta untuk membayar 1,12 miliar.Kita mau makan apa?”

Sutinah menilai Eka Aryawan melanggar perjanjian kedua belah pihak yang disepakati pada 2013. Ikhwan Sapta Nugraha, kuasa hukum para PKL, merasa kecewa dengan tidak adanya pengawalan dari Keraton Yogyakarta pada saat pengukuran batas hak kepemilikantanah Eka Aryawan,yang dilakukan sebelum perjanjian pada 2013 disepakati. “Sangat menyayangkan kalau sampai ada penggusuran secara paksa,” ungkap Ikhwan.

Kelima PKL terus berupaya mengumpulkan data dan surat-surat kepemilikan guna mendapatkan hak mereka kembali. LBH akan terus mengawal tuntutan mereka kepada Eka Aryawan. Sidang perdana akan dilaksanakan pada 14 September mendatang. []

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)