Ekonomi Politik Seni dalam Jogja Nduwe Gawe

Literasi.co
Literasi
Published in
18 min readJun 23, 2018

Oleh Kus Sri Antoro

Ilustrasi oleh Gegen Muhamad

“Selama ini pemerintah menempatkan aktivitas seni budaya sebagai bagian dari wisata, yang risikonya ialah komodifikasi…yang risikonya menempatkan kesenian di bawah agenda industri, dan kreativitas ditempatkan sebagai komoditas. Belum lagi ketika agenda tersebut saling menopang satu sama lain dengan agenda percepatan pembangunan, demi mengejar pertumbuhan fasilitas MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Industrialisasi wisata, ekonomi kreatif, dan gagasan tentang percepatan pembangunan adalah tiga bentuk rezim yang berkelindan di sekitar pekerja seni yang selalu perlu diwaspadai. Pada praktiknya, ketiga rezim ini berada di ruang yang sama, ruang-ruang seni budaya. Dengan kata lain, sebagai bagian dari elemen budaya, kita sesungguhnya berbagi udara dengan rezim tersebut. Praktik dominansi dan kuasanya juga sering kali tidak kita sadari, karena beroperasi dengan sangat halus, atau bahkan meminjam tangan dan tubuh kita. Dari sini, posisi ruang seni budaya cukup dipertaruhkan. Memilih bertahan di bawah rezim tersebut atau bergerak keluar untuk mengkritisi dan menjadi tandingan” (IVAA Archive Team)1.

Proyeksi Proyek-Proyek Seni

Pada 25 Mei 2016, sekelompok masyarakat pengelola pantai di pesisir Gunungsewu memperingati setahun kemenangan kecil mereka dalam perebutan ruang, yaitu kawasan pantai yang telah mereka buka dan manfaatkan sejak 1940an, antara untuk wisata subsistensi ala masyarakat2 atau untuk wisata industri ala investor3. Sekelompok masyarakat itu, bersama para seniman/pekerja seni kota, membuat perhelatan berupa festival yang isinya upacara (nasional dan adat); gelar pangan lokal; bersih pantai; pameran rontek; orasi budaya dari perwakilan komunitas-komunitas senasib; performance art, dan pentas musik urban hingga malam hari. Sekelompok masyarakat itu menegaskan dirinya sebagai kaum tak terpelajar dan terlantar, yang disimbolkan dengan kostum seragam sekolah dasar, namun mampu bertahan dari gempuran intimidasi antek-antek investasi dan isolasi pemerintah. Di tengah pengawasan aparat bersenjata dan sensor pemerintah, peringatan itu tentu saja berlangsung dengan sukacita sekaligus waspada, karena di mata penguasa peringatan itu hanyalah variasi aksi massa. Otokritik atas kolaborasi ini ialah seniman/pekerja seni masih mencipta ruang yang tak tersentuh masyarakat, terutama pada acara pentas musik dan performance art.

Pada 25 Mei 2017, peringatan yang sama kembali digelar, namun tak lagi dalam suasana mencekam. Seluruh mata acara digagas dan dikerjakan oleh masyarakat. Tak ada unsur seniman/pekerja seni kota yang tahun lalu berkolaborasi yang terlibat pada peringatan ke-2 ini. Tiada sambutan komunitas senasib, hanya himbauan moral lingkungan dari elit lokal dan ucapan selamat atas kemenangan perjuangan dari penasihat hukum masyarakat. Tiada pengawasan aparat bersenjata maupun sensor. Dan acara hanya berlangsung hingga sore dengan tertib dan damai. Seorang kolega menyebut peringatan kedua ini sebagai fase penjinakan. Beberapa waktu kemudian, kawasan itu dipromosikan oleh elit setempat sebagai wisata alternatif dengan memanfaatkan simbol-simbol perjuangan, berupa pesta acara pernikahan keluarga elit lokal dengan masyarakat setempat sebagai para pelayan berseragam sekolah dasar!

Pada 10 Mei 2018 (bukan 25 Mei 2018), peringatan ke-3 digelar. Kali ini jumlah aparat lebih banyak, namun untuk mengawal arak-arakan yang mengusung patung kertas katak raksasa berseragam sekolah dasar yang membawa tulisan: Tolak Investor Nakal Selamanya. Jumlah pemeriah juga lebih banyak, antara lain aparat keamanan, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Tak ada komunitas senasib yang hadir atau memberi sambutan, melainkan dari unsur pemerintah semata dan penasihat hukum masyarakat. Tak ada sambutan bernuansa perlawanan seperti tahun 2016, melainkan bujukan untuk menjadi bagian dari pemerintah dalam logika wisata industri. Wisatawan yang hadir pun tidak menjadi bagian dari acara, bertolak belakang dengan peringatan pertama. Seorang kolega mendakwa peringatan ke-3 ini sebagai penaklukan, karena pemerintah mendominasi hajatan pertunjukkan dan masyarakat sebagai badutnya.

Di ranah aktivisme seni, tanpa kerja pengorganisasian, aksi-aksi simbolik berpeluang untuk dibajak atau membunuh perlawanan itu sendiri bila tak dikoreksi secara aktif.

Cerita di atas saya pilih untuk menunjukkan bagaimana seni semula memposisikan diri di dalam arena ekonomi politik sebagai medium pembebasan; lalu akhirnya seni diposisikan oleh kekuatan ekonomi politik dominan sebagai simbol industri wisata. Kawasan pantai yang semula adalah ruang hidup masyarakat diubah-paksa secara halus menjadi komoditas melalui industri wisata oleh kekuatan investasi. Peristiwa seni yang semula menjadi bahasa perlawanan terhadap komoditisasi ruang diubah menjadi merk dagang industri wisata oleh kekuatan yang sama. Lalu, masyarakat diarahkan pemerintah4 mengikuti kehendak investor.

Kini, tentang Jogja Nduwe Gawe (JNG).

Menurut referensi acara yang saya terima dan pelajari, JNG berupaya untuk merekayasa event seni5 menjadi merek dagang (brand) bagi kota Yogyakarta yang tengah menggeliat menyambut percepatan dan pertumbuhan ekonomi di sektor wisata, yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur berupa pusat-pusat wisata baru, jalur kereta dan jalan lintas propinsi, dan bandara baru, beserta kebijakan di ranah seni budaya6. Alasannya, seni sebagai teks tinggal tak bernyawa tanpa Yogyakarta yang dipercaya merupakan pusat kebudayaan Jawa sebagai konteks, mengikuti pendapat Murphy (1997)7.

Sebelum jauh melangkah menuju branding-membranding, saya hendak mengajukan perdebatan awal mengenai Teks (Seni) dan Konteks (Yogyakarta, sebagai ruang dan sebagai salah satu entitas kebudayaan bercorak Jawa, mengingat identitas Jawa tidaklah tunggal) merujuk pada ide awal diskusi ini. Semoga tidak terjebak pada kritik yang membabi buta.

Tentang Yogyakarta sebagai konteks.

Keberadaan dan perkembangan Yogyakarta dipengaruhi oleh ekonomi politik yang hari ini dominan — lazim disebut kapitalisme8, yang oleh Bernstein (2015:1)9 kapitalisme ditakrifkan dalam konteks agraria10 sebagai sistem produksi dan distribusi yang didasarkan pada relasi sosial antara kapital (pemodal) dan buruh; kapital mengeksploitasi buruh guna mengejar laba dan akumulasi, sementara buruh harus bekerja untuk kapital agar bisa bertahan hidup. Artinya ada pekerja11 yang menggantungkan nasibnya pada pemodal.

Kelahiran Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat tata nilai; kekuasaan; dan identitas, selaras dengan maksud dan tujuan VOC yang diteruskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, keduanya penjajah, pelaku kolonialisme. Demikian pula, Kadipaten Pakualaman yang muncul di era pendudukan Inggris.

Sumber-sumber agraria (tanah, air, udara) dalam penguasaan rakyat secara fisik, namun secara politik rakyat tunduk pada Bupati yang patuh pada Sultan, Sultan taat pada penjajah. Apa yang tampak sebagai feodalisme di DIY bukan feodalisme dalam imajinasi klasik (yang umum dipahami sebagai tatanan prakapitalis yang lepas dari kepentingan zaman modal). Feodalisme di DIY merupakan perantara bagi peternakan modal melalui kolonialisme. Sehingga, zaman modal sudah melatari wajah Yogyakarta sejak ia dilahirkan.

Kolonialisme memerlukan ruang baru untuk menghasilkan komoditas (barang dan jasa), pengadaan ruang itu dicapai dengan menceraikan rakyat dari tanah yang digarapnya atau dihuninya. Marx menyebutnya Akumulasi Primitif. Zaman modal bertahan hampir tiga abad kemudian, kini kolonialisme berganti rupa menjadi Keistimewaan DIY, menghadirkan Akumulasi Primitif melalui Perampasan — [Primitive] Accumulation by Dispossession; istilah ini dikembangkan oleh David Harvey (2003)12, yang menyebabkan setiap jengkal Tanahmu Bukanlah Milikmu!13. Pada 2015, Kesultanan dan Pakualaman sebagai badan hukm swasta telah memiliki 10,67 % wilayah DIY yang berasal dari tanah negara; stanah berstatus Hak guna Bangunan; dan Hak Milik masyarakat14.

Bahkan, Keistimewaan DIY dibangun dari imajinasi bahwa Yogyakarta ialah negara yang merdeka dan berdaulat dari penjajahan (Sabdatama Hamengku Buwono X, 10 Mei 2012), imajinasi ini mengingkari bukti-bukti sejarah yang tercantum dalam akta kelahiran Kesultanan Yogyakarta, yaitu: Perjanjian Giyanti 1755, yang didahului Perjanjian Ponorogo 1749, dan dilengkapi dengan Perjanjian Klaten 1830 serta Perjanjian Hamengku Buwono IX dengan Belanda 1940. Demikian pula Kadipaten Pakualaman yang diikat dengan Perjanjian Paku Alam I dengan T. S. Raffles 1813. Artinya, Keistimewaan DIY lahir dari klaim yang bertolak belakang dengan fakta sejarah (Soekanto, 1953)15.

Selaras catatan Dian Yanuardy (2012, 2014)16, Keistimewaan DIY berperan dalam penyediaan ruang produksi baru yang luas dan murah bagi proyek-proyek MP3EI17 atau RPJMN18, yang menyebabkan konflik agraria, berupa perebutan ruang hidup, antara masyarakat versus negara dan/atau korporasi. Ruang hidup itu, dalam makna sumber-sumber agraria, artinya lebih dari ruang material yang bisa ditukar dengan sejumlah uang, melainkan ruang di mana ikatan-ikatan sejarah; sosial; religi, politik, dan kebudayaan suatu masyarakat dengan lingkungannya terbentuk. Ruang di mana seni lahir dan berkembang19.

Tentang Seni sebagai teks.

Seni yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta, baik tradisional; modern; maupun postmodern/kontemporer, juga dipengaruhi oleh ekonomi politik dominan. Di masa kelahirannya, Yogyakarta menegaskan perbedaan dengan Surakarta dalam ciri seni tradisional karena faktor politik20. Di masa kolonial, unsur-unsur barat masuk dalam seni Yogyakarta, misalnya arsitektur kota benteng Kesultanan Yogyakarta, gaya perabot interior Kesultanan dan tari-tarian klasik bernuansa keprajuritan21 yang sesungguhnya merupakan agenda penjinakan militer (Antoro, 201722; Sunaryo dkk, 201423; Septi dan Sachari, 200724 dan Onghokham, 1991: 116)25. Di era modern, pengaruh ekonomi politik dominan tampak pada gejala komersialisasi seni (Malna, 199126 dan Onghokham, 1991: 179). Pengaruh ekonomi politik dominan terhadap Seni di Yogyakarta tampak lebih jelas ketika UU Keistimewaan DIY diberlakukan, yaitu tersedianya Dana Keistimewaan (Danais) bagi proyek-proyek seni budaya.

Berbeda dengan Dana Otonomi Khusus propinsi Papua dan Aceh yang dibatasi periode penerimaannya, yaitu 25 tahun (Papua) dan 20 tahun (Aceh), DIY memperoleh Danais tanpa pembatasan waktu, meski nominalnya lebih kecil dari Dana Otonomi Khusus Papua dan Aceh. Danais merupakan cek kosong Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah DIY.

Pada 2013, Danais dicairkan sebesar Rp. 231,39 M (realisasi penyerapan Rp. 54,56 M), dengan alokasi Rp. 212,39 M (Bidang Kebudayaan); Rp. 6,3 M (Bidang Pertanahan), Rp. 10 M (Bidang Tata Ruang), dan Rp. 2,5 M (Bidang Kelembagaan), Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur masih kosong. Pada 2014, Danais cair sebesar Rp. 523,8 M (realisasi penyerapan Rp. 272,05 M), dengan alokasi Rp. 375,1 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 23 M (Bidang Pertanahan), Rp. 124 M (Bidang Tata Ruang), Rp. 1,67 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp. 0,4 M(Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada 2015, Danais cair Rp. 547,45 M (realisasi penyerapan 477,49 M), dengan alokasi Rp. 420,8 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 10,6 M (Bidang Pertanahan), Rp. 114,4 M (Bidang Tata Ruang), dan Rp. 1,65 M (Bidang Kelembagaan serta Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada 2016, Danais cair Rp. 547,45 M (realisasi penyerapan 531,72 M), dengan alokasi Rp. 179 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 13,85 (Bidang Pertanahan), Rp. 352,75 (Bidang Tata Ruang), dan Rp.1,8 M (Bidang Kelembagaan serta Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur). Pada 2017, Danais cair Rp. 800 M, dengan alokasi Rp. 439,90 M (Bidang Kebudayaan), Rp. 17,19 M (Bidang Pertanahan), Rp. 325,812 M (Bidang Tata Ruang), Rp. 14,25 M (Bidang Kelembagaan), dan Rp. 2,83 M (Bidang Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur).

Temuan IDEA27 menunjukkan, penggunaan Danais Tahun Anggaran 2015 terbesar untuk Belanja Modal (40%), menyusul kemudian untuk Pihak ke-3 (17 %), untuk Jasa Kantor (13 %), dan digunakan Event Organizer dalam Bidang Kebudayaan (4%).

Dengan demikian, dalam konteks membranding Seni atau Yogyakarta, hubungan timbal balik antara Seni sebagai teks dan Yogyakarta sebagai konteks hanya mungkin terjadi pada wilayah aksiologis, yaitu kebutuhan pragmatis antara teks dan konteks untuk saling menghidupi dalam iklim kapitalisme. Saya tidak menemukan dasar untuk memposisikan Yogyakarta sebagai ruang dengan makna tunggal dan entitas kebudayaan Jawa yang (dibayangkan) murni, unik dan eksotis, begitu juga untuk memposisikan seni sebagai ekspresi batin yang kasat indera (jiwa ketok, menurut Soedjojono), yang independen. Seni dan Yogyakarta tak hanya berubah mengikuti arus zaman, melainkan juga dibentuk oleh kekuatan-kekuatan kolonialisme yang tak kunjung usai. Dengan demikian, ketika Yogyakarta sebagai manifestasi ruang diposisikan sebagai konteks, maka konteks itu adalah ruang fisik di mana relasi ideologi, sosial, ekonomi, politik, budaya berlangsung, bentuknya bisa berupa event-event sebagai ruang produksi seni; perayaan Kamis Pahing di kantor-kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah dengan berbusana adat Jawa gaya Yogyakarta28, upacara bendera berbusana dan berbahasa Jawa gaya Yogyakarta pada HUT Kota Yogyakarta, pemajangan patung di situs-situs wisata atau ruang publik29.

Imajinasi ala kolonialisme tentang Yogyakarta bahkan dipopulerkan dalam panduan wisata:

“Daerah Istimewa Jogjakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa, berada diantara dua simbol mistis Jawa — Gunung Merapi di Utara dan Samudera Indonesia di selatan, yang merupakan rumah dari ratu Laut Selatan.” (Lonely Planet Indonesia, 1986 dalam Lusandiana, 2014)30.

Dalam karya ilmiah, yaitu Penduduk dan perkembangan kota Yogyakarta 1900–1990 (Djoko Suryo, 2005)31, juga dinyatakan bahwa berkembangnya Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata merupakan suatu periode yang muncul setelah Yogyakarta berkembang sebagai kota budaya. Sejak masa sebelum kemerdekaan hingga tahun 1950 dan 1960an, Yogyakarta menjadi tempat kelahiran banyak seniman dan karya seni, mulai dari seni lukis, sastra, teater, patung, musik beserta sanggar-sanggarnya. Tak lupa juga seni pedalangan dan seni tari tradisional Jawa pun berkembang. Sehingga ditegaskan bahwa dari sinilah Yogyakarta layak mendapat julukan sebagai kota budaya. Baru setelah tahun 1960an Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata.

Kini, Seni dan Yogyakarta hendak dirangkai kembali dengan konsep wisata, dalam imajinasi industri wisata. Kemudian, Seni ditempatkan sebagai merek dagang/brand dari Yogyakarta untuk mendongkrak industri wisata, yang umumnya berciri wisata massal beserta jasa-jasa pariwisata (transportasi, penginapan, agen perjalanan dll).

Sudah banyak kritik terhadap wisata massal dalam konteks masyarakat industri kelanjutan kolonialisme, yang terbukti menciptakan gejala tourism destroys tourism, akibat aktivitas wisata melampaui daya dukung dan daya tampung ruang/tempat wisata. Alternatifnya, konsep wisata alternatif yang dinilai lebih bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan budaya ditawarkan, misalnya ecotourism32, sustainable tourism33, voluntary tourism34. Namun demikian, pendekatan poskolonialisme menilai wisata tetaplah kelanjutan dari kolonialisme, utamanya pada wilayah mental (Gula, 200635 dalam Lusandiana, 2014), yaitu wisatawan menemukan kesenangan dengan melihat yang lain (eksotisasi).

Perebutan Ruang, Perebutan Kesadaran

Salah satu motivasi kolonialisme ialah hasrat untuk berpetualang dan menaklukkan, globalisasi menutupi hal ini. Wisata dalam ragam bentuknya, bagaimanapun juga, belum lepas dari hasrat untuk menikmati yang berbeda.

Ekspansi modal kapitalisme telah mengambil alih secara paksa ruang-ruang masyarakat, mereka berjuang mempertahankan tanah sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan di tengah agresi modal raksasa. Di saat yang bersamaan, para wisatawan secara sukarela dan sukacita mencerabut diri dari keintiman mereka dengan tanah asal-usulnya, kampung halamannya, lalu tinggal di manapun tanpa menjalin keterikatan dengan tanah manapun.

Proses ini telah memberikan gambaran bahwa di negara-negara asal wisatawan kapitalisme mampu memotivasi atau memaksa secara halus orang agar meninggalkan tanah asalnya dengan menciptakan keseharian yang membosankan (alienasi). Selain itu, kapitalisme mampu menarik orang dengan segenap wacana eksotisme dan membuat orang berdaya, merasa mampu, mau bahkan senang untuk bepergian dalam beragam jenisnya (Lusandiana, 2014).

Sebelumnya, Marx mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, kemudian Lefebvre mengatakan bahwa sejarah perkembangan globalisasi kapitalisme adalah sejarah perebutan ruang. Kapitalisme akan berakhir bila tak memperluas diri terus menerus dengan melakukan ekspansi geografis, sehingga reorganisasi ruang harus dilakukan (Lefebvre dalam Shohibuddin, 2018:27)36.

Tak ada ruang yang tak politis. Itulah dasar argumentasi Lefebvre dalam mengembangkan Teori Produksi Ruang, baik ketika ruang diposisikan sebagai produk maupun sebagai proses penentu hubungan dan praktik sosial.

Sebagai produk, ruang adalah produk dari kekuatan ekonomi, politik serta ideologi. Lefebvre menurunkannya menjadi tiga elemen yang terdapat dalam proses pembentukannya, yaitu spatial practice, representations of space dan spaces of representation. Ketiga elemen itu harus ditempatkan di dalam konteks sejarah dan masyarakat tertentu. Masyarakat urban perkotaan adalah konteks yang menjadi fokus perhatian Lefebvre, karena salah satu dampak globalisasi kapitalisme ialah industrialisasi yang menempatkan kota sebagai pusat produksi laba; pusat konsumsi; dan pusat administrasi dari penyelenggaraan negara. Negara dan kota adalah ruang material di mana proses produksi berlangsung dan kemudian menentukan karakter dari ruang tersebut. Di ruang kota itulah modernisasi terkonsentrasi, di ruang kota itulah alienasi terjadi. Kemudian, wisata hadir sebagai respons atas alienasi.

Krisis Seni (Teks), Krisis Ruang (Konteks) dan Wisata Krisis

Ekonomi politik dominan membentuk modernisme. Modernisme membentuk pandangan serba tunggal dalam memahami perkembangan seni, selain terjadi elitisme atau pemusatan perkembangan (Sanento Yuliman dalam Rizky Effendy, tanpa tahun)37. Lalu, muncullah standar-standar baku keindahan dalam seni modern Indonesia, yang diberontak oleh peristiwa Desember Hitam (1974) dan Gerakan Seni Rupa Baru (1975). Melalui kuasa rasionalitas, modernisme hendak menjadi kiblat kebenaran bagi ilmu dan seni, seiring waktu kebenaran ala modernisme menjadi legitimasi: bahwa ilmu dan seni lahir dan tumbuh untuk melayani industri. Kredo baru itu, meski tetap modernis, telah menggusur kredo positivisme lama: seni untuk seni, menjadi seni untuk ekonomi (pasar, wisata).

Ketika dominan, pasar berpeluang menentukan nilai dengan logika keuntungan/efisiensi dan perluasan/percepatan produksi demi produktivitas. Logika yang berakar dari kultur modern ini pada gilirannya menentukan relasi ekosistem antara seniman, galeri komersial, dan kolektor. Sifat pasar yang pragmatis menempatkan kepentingan kapital sebagai pengambil keputusan yang memaksa seniman untuk bersikap profesional: efisien dan menguntungkan, inilah ukuran ideal menurut pasar.

Akibatnya, proses-proses berkarya berlandaskan penelitian, eksperimentasi, atau hal-hal yang tidak sejalan dengan ukuran ideal pasar akan dihilangkan. Disadari atau tidak, nalar pragmatisme merasuk ke dalam kesadaran seniman, serta merta seniman melakukan sensor diri (self censorship) demi kepentingan pasar (Harsono, 2014)38.

Di DI Yogyakarta, industri wisata sudah mengubah ruang hidup masyarakat menjadi komoditas dan diikuti pengadaan fasilitas pendukung seperti transportasi khusus39; bandara baru; jalan tol; jalur kereta wisata; dan penginapan, yang mana dalam proses pengadaan tanah untuk berbagai fasilitas itu disertai perampasan ruang hidup, penggusuran, dan perusakan lingkungan; sebagai contoh di Seruni, Watukodok, Parangkusumo, dan Temon. Industri wisata juga memposisikan seni sebagai pelengkap industri yang digenjot dengan Danais.

Seni dapat melampaui zaman, namun ruang berkembang seiring zaman. Pada praktiknya, seni yang melampaui zaman akan dijinakkan agar tak mengganggu stabilitas ruang. Jika seni dan ruang telah mengalami krisis oleh modernisasi, maka wisata yang bisa ditawarkan hanyalah wisata krisis-krisis. Pertunjukan performance art di situs wisata yang ekstraktif atau pameran seni rupa kontemporer di galleri sebagai fasilitas suatu hotel atau apartemen yang tegak di atas krisis air bersih masyarakat sekitarnya bisa menjadi contoh konkret wisata krisis di Yogyakarta. Atau, bisa berupa pasar seni yang dibiayai oleh agen-agen finansial dari industri ekstraktif atau infrastruktur yang menghancurkan ruang hidup dan ekosistem; atau, propaganda perampasan tanah masyarakat dengan pentas wayang kulit di halaman kantor developer di lokasi calon bandara baru di Kulon Progo pada 15 Desember 2017 silam.

Lima Pertanyaan Kunci

Di manakah seni dan seniman ketika muncul ide membranding event seni untuk Yogyakarta kota wisata? Apakah seni ditempatkan sebagai pelengkap dari industri wisata yang berfungsi untuk menarik wisatawan agar berduyun-duyun berkunjung? Apakah seniman diposisikan sebatas pekerja seni, yaitu tenaga kerja produktif yang menjual tenaga dan idenya bagi industri wisata? Apakah ketika seniman berkarya demi pesanan industri wisata ia masih memiliki independensi sebagai seniman, atau sekadar menjadi pekerja seni, atau justru menjadi kelas buruh seni?

Ekonomi politik berpeluang menjadi alat analisis bagi seni ketika seni bersentuhan dengan kapitalisme dalam produksi, distribusi dan konsumsi. Bahkan, relasi antara ekonomi politik dan seni tertandai sejak karya seni diproduksi:

“…the relation between art and political economy… is expressed directly in the representations of art and indirectly through work that involves the economy of artistic production itself” (Moore, 2004)40.

Meminjam lima pertanyaan kunci ekonomi politik dalam studi agraria — untuk obyek material berupa lahan serta relasi-relasi kekuasaan di atas lahan, saya menawarkan pemeriksaan ulang terhadap seni (obyek material, teks) dan relasi–relasi kekuasaan yang membentuknya (ruang, konteks), utamanya kekuasaan ekonomi politik dominan sehingga seni beralih rupa menjadi komoditas atau sekrup-sekrup mesin industri wisata maupun pasar seni.

  1. Siapa menguasai apa?

Tampaknya akan sulit ditemukan seniman dan/atau masyarakat tempatan berperan sebagai pemilik modal dari industri wisata. Pemodal industri wisata biasanya pengusaha papan atas atau pemerintah. Ruang di mana seni akan ditumbuhkan dan diubah jadi laba tiada lain ialah ruang produksi, dimiliki/dikuasai oleh pemodal atau pemilik usaha wisata. Seniman berkarya (baik pesanan maupun mandiri) dan menghidupi diri dengan cara berintegrasi dengan perputaran modal melalui industri wisata yang bukan miliknya. Dalam skema ini, hidupnya tergantung dari kuasa kapital yang mengikatnya. Posisinya tak beda dengan buruh tani yang mengerjakan lahan pemilik tanah dengan upah, meski buruh tani mencangkul dengan cangkulnya sendiri, meski pekerja seni berkarya dengan perkakasnya sendiri, ia bekerja untuk upah atau menjual ide/tenaga demi moda produksi pemodal.

2. Siapa mengerjakan apa?

Pemodal industri wisata atau pemilik usaha wisata menyediakan ruang untuk berkarya bagi seniman, ruang pamer, pasar seni, bahkan modal untuk berkarya bagi seniman. Sedangkan seniman mengerjakan karya pesanan, atau karya yang menjawab kebutuhan pasar. Dalam penyediaan ruang bagi industri wisata, pemodal menceraikan lahan dari masyarakat pemilik/penguasa lahan (primitive accumulation by dispossesion); dan seniman mengkomoditisasi material, ruang41, atau waktu42 menjadi komoditas seni sekaligus komoditas wisata.

3. Siapa mendapat apa?

Pemodal atau pemilik usaha wisata memperoleh laba dari industri wisata, sekaligus modal untuk diputar kembali. Seniman memperoleh upah atau laba dari hasil penjualan karya di galeri, pasar seni, panggung, atau event yang diselenggarakan industri wisata. Namun, pendapatan pemodal atau pemilik usaha wisata berkali lipat daripada pendapatan seniman, sehingga posisi seniman akan selalu berada di bawah kuasa pemodal atau pemilik usaha wisata. Hidup seniman tergantung dari pelayanannya pada pasar.

4. Apa yang dilakukan atas apa yang didapat?

Pemodal atau pemilik usaha wisata akan mengembangkan usahanya, bermodalkan dari sebagian laba yang diperolehnya. Seniman pun demikian dalam jumlah yang sedikit, jika pendapatannya cukup; jika tak cukup maka hanya akan habis untuk biaya hidup atau gaya hidup. Produksi laba dari industri wisata dan karya seni yang melengkapinya akan berlangsung dengan komposisi yang tak banyak berubah, yaitu pemodal menjadi patron seniman, kecuali seniman mengambil alih industri wisata, naik kelas dari buruh seni menjadi pemodal atau pemilik usaha wisata nan berseni.

5. Apa yang dilakukan para pihak yang terlibat satu sama lain?

Pemodal atau pemilik usaha wisata adalah pihak yang diuntungkan dari penyertaan seni dalam usahanya, karena seni sebagai nilai lebih tak dapat mereka hasilkan. Maka dari itu, patronase ini akan dipelihara. Seniman adalah pihak yang dieksploitasi tenaga dan idenya, sukarela atau terpaksa. Boleh jadi akan ada seniman yang memberontak karena sadar kelas, namun itu tak akan berlangsung lama ketika seniman pemberontak tersingkir dari komunitasnya yang lebih menikmati hak istimewa dari posisi seniman selama ini. “Tak ada yang peduli pada nasib kaum buruh selama mereka memperoleh kenikmatan dari jerih payah kaum buruh” (Squidward Tentacel dalam episode Squid’s Strike)

Kembali pada tema JNG, apakah merekayasa Yogyakarta menjadi kota wisata dengan event seni sebagai branding-nya merupakan peluhuran pada seni dan kerja seniman atau justru sebaliknya?43 Ketika zaman modal mencetak pekerja-pekerja seni atau buruh-buruh seni, semoga masih terjadi keluputan yang menyisakan seniman sejati, atau seniman sejati hanyalah mitos belaka?

“Berbicara wisata pada hari ini, berarti tidak hanya membicarakan turis dan objek wisata, visa dan industri jasa wisata. Ketika membicarakan wisata, kita membicarakan masyarakat, manusia. Sesungguhnya, kita membicarakan diri kita sendiri” (Lusandiana, 2014)44

Karangwaru, 29 Sya’ban 1439

29 Ruwah 1951

[1] Lisistrata Lusandiana; Sukma Smita; dan Krisnawan Wisnu Adi. 2017. Katalog Data IVAA: Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban (Sejak reformasi hingga kini). IVAA, Yogyakarta.

[2] Subsistensi merujuk pada pengertian habis untuk membiayai kebutuhan primer

[3] industri merujuk pada pengertian berorientasi akumulasi laba dan reproduksi modal.

[4] Hendro Sangkoyo mengusulkan istilah pengganti untuk Pemerintah yaitu Pengurus Publik, sebab istilah pemerintah bernuansa otoriter ketimbang demokratis dan kedaulatan negara berada di tangan rakyat.

[5] Pameran, pertunjukan, pementasan, peristiwa seni

[6] Misalnya Blue print kebudayaan DIY merujuk pada UU Keistimewwan DIY yang mengukuhkan Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman sebagai sumber dan tolok ukur kebudayaan DIY.

[7] Without context, arts remain lifeless.

[8] Disebut kapitalisme karena corak produksi masyarakatnya bersandar pada sistem kepemilikan pribadi serta industrialisasi. Menurut Bernstein (2015: 28–230), corak produksi kapitalis dapat ditunjukkan dari ciri-ciri yang saling berkaitan, yaitu: Produksi kommoditas yang meluas; Keharusan akumulasi; Tenaga kerja sebagai komoditas; dan Akumulasi primitif.

[9] Henry Bernstein. 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agararia. InsistPress. Yogyakarta

[10] Di sini, agraria dimaksudkan sebagai ruang fisik di mana relasi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan tumbuh dan berlangsung.

[11] Di dunia pertanian posisi ini ditempati oleh buruh tani, di dunia pelayaran ditempati oleh anak buah kapal, di dunia administrasi perusahaan ditempati oleh karyawan swasta, perlu diperiksa apakah relasi ini terdapat di dunia seni budaya? Misalnya: asisten seniman, karyawan galeri, atau seniman yang berkarya atas pesanan. Upah menjadi ciri dari corak produksi kapitalis.

[12] David Harvey. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

[13] www.selamatkanbumi.com//id/tanahmu-bukanlah-milikmu

[14] Daftar Tanah kasultanan dan Tanah Kadipaten terbitan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY 2015

[15] Soekanto. 1955. Seputar Jogjakarta 1755–1825. Mahabharata Amsterdam, Jakarta

[16] a) Yanuardy, Dian. 2014, Bara Di Tanah Raja: Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta. Working Paper Sajogo Institute

b) Yanuardy, Dian. 2012. Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. International Conference on Global Land Grabbing II October 17‐19, 2012 Land Deals Politics Initiative (LDPI), Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, New York. https://www.academia.edu/12288247/Commoning_Dispossession_Project_and_Resistance_A_Land_Dispossession_Project_for_Sand_Iron_Mining_in_Yogyakarta_Indonesia

[17] Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, di Propinsi DI Yogyakarta diwujudkan sebagai proyek bandara NYIA dan kota bandara; jalan lintas selatan Jawa; dan tambang pasir besi di Kulon Progo. MP3EI dicanangkan di era Susilo Bambang Yudhoyono.

[18] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, bentuk kebijakan dari MP3EI di era Presiden Joko Widodo.

[19] Seni bercocok tanam, beragam alat pertanian tradisional, seni tari, lukis, musik, sastra bertema agraris merupakan contoh nyata dari kebudayaan berbasis agraria. Seni pertunjukan (tonil) di tambang batubara Sawahlunto merupakan produk kebudayaan kaum buruh (orang rantai). Seni bercorak punk merupakan produk kebudayaan urban yang memberontak pada kemapanan rezim industri. Seni mempunyai basis materialnya masing-masing.

[20] Misalnya tari klasik gaya Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta; wayang kulit purwa gaya Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta.

[21] Misalnya Beksan (tari) Bedhaya Ketawang; Lawung Ageng; Serimpi Padhelori, Serimpi Merak Kasimpir, atau parade prajurit Kesultanan yang melangkah anggun dengan senapan dan sepatu layaknya serdadu kolonial. Di Pakualaman pengaruh kolonial tampak pada Beksan Floret dan Sabel.

[22] Kus Sri Antoro. 2017. (menuju) Kritik Aktivisme Seni di Yogyakarta dalam Katalog Data IVAA: Seni, Aksi dan Jogja sebagai Ruang Urban. IVAA. Yogyakarta

[23] Rony Gunawan Sunaryo, Nindyo Soewarno, Ikaputra, dan Bakti Setiawan. 2014. Pengaruh Kolonialisme pada Morfologi Ruang Kota Jawa Periode 1600–1942. Seminar Nasional Riset Arsitektur Dan Perencanaan (SERAP) 3 Manusia dan Ruang dalam Arsitektur dan Perencanaan 22–23 Agustus 2014, Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada.

[24] Indah Septi dan Agus Sachari. 2007. Pergeseran Gaya Estetis Mebel di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, №1, 2007, 85–107 85

[25] Onghokham. 1991. Rakyat dan Negara. LP3ES. Jakarta

[26] Afrizal Malna. Seni dan Kapitalisme Tidak Bermutu. Harian Bernas 15 Agustus 1991. Sumber arielheryanto.wordpress.com diunduh 13 Mei 2018.

[27] Paparan Dana Keistimewaan untuk Rakyat, IDEA

[28] Perayaan ini bisa berfungsi ganda, yaitu: feodalisasi dan komodifikasi untuk tujuan wisata, meski dipaksakan atau tidak disadari. Hanya sedikit sekolah yang para siswanya tidak melaksanakan kebijakan Kamis Pahing.

[29] Misalnya patung penari topeng di Beji, Patuk, Gunungkidul; patung pemain volly pantai di pantai Sepanjang, Tanjungsari, Gunungkidul dan patung penari kuda lumping di lapangan Paseban Bantul.

[30] Lisistrata Lusandiana. 2014. Menolak Wisata, Menjadi Warga Dunia? Analisis Identitas Backpacker sebagai Subjek Wisata Alternatif. Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

[31] Djoko Suryo (2005), “Pendudukan dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900–1990”, dalam Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro dan Johny Alfian Khusyairi (ed.), Kota Lama Kota Baru, Penerbit Ombak

[32] Praktik tourism yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekosistem, konsep ini muncul sebagai revisi atas praktik tourism yang merusak struktur dan fungsi bentang alam.

[33] Praktik tourism dalam sustainable development, yang mana sustainable development hanyalah varian dari developmentalism.

[34] Praktik tourism yang menawarkan pengalaman berinteraksi sosial, misalnya berwisata sekaligus menjadi relawan kebersihan tempat wisata bersama warga pengelola tempat wisata.

[35] Lauren Gula (2006), Backpacking Tourism: Morally Sound Travel or Neocolonial Conquest, tesis yang tidak diterbitkan, Universitas Dalhousie

[36] Mohammad Shohibuddin. 2018. Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian Empiris. STPN Press. Yogyakarta

[37] Rizky Effendy. Sebuah Wacana : Menyikapi Keterbatasan Infrasktruktur Seni Rupa Indonesia, IVAA.

[38] FX Harsono. 2014. Seni Rupa dan Perkembangan Kebudayaan. http://koalisiseni.or.id/seni-rupa-dan-perkembangan-kebudayaan/

[39] Misalnya mobil angkutan Si Thole

[40] Alan W. Moore. 2004. Political Economy As Subject And Form In Contemporary Art. Review Of Radical Political Economics, Volume 36, №4, Fall 2004, 471–486

[41] Seni komersial di ruang publik

[42] Misalnya performance art komersial di waktu tertentu

[43] Pertanyaan ini masih dalam ranah modernisme, menyesuaikan nalar modernisme dari industri wisata berupa membranding event seni bagi Yogyakarta sebagai kota wisata.

[44] Ibid 72

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)