Eros Djarot dan Badai yang Pasti Berlalu

Literasi.co
Literasi
Published in
16 min readSep 11, 2015

Awal/intro: Musik Indonesia dan usaha menyambung kembali nafas Revolusi

Setelah era Wage Rudolf Supratman, Ismail Marzuki, Ibu Sud, H Mutahar, Cornell Simanjuntak dan para komponis jempolan zaman bergerak hingga era revolusi Indonesia, siapakah musisi yang bisa mengawinkan dengan indah antara visi revolusi dan kebangsaannya dengan karya-karya musikalnya? Boleh jadi ini pertanyaan yang terlalu mengada-ada bagi sebagian penikmat musik. Namun bagiku, pertanyaan ini harus terjawab tuntas, demi menemukan pemahaman yang lebih utuh pada sesuatu yang terus menerus menghantuiku: revolusi. Kesenanganku untuk terus memutar lagu-lagu perjuangan dari para komponis pada zaman bergerak hingga era revolusi fisik telah memicu pertanyaan itu selama bertahun-tahun. Sampai hari ini, misalnya, aku tak habis pikir bagaimana peristiwa kematian ayahnya yang tak pernah ia dengar hingga beberapa hari sang ayah dimakamkan membuat Ismail Marzuki mampu menciptakan lagu perjuangan yang begitu menggetarkan, Gugur Bunga. Peristiwa personal itu, kematian ayah Ismail Marzuki, mampu ia jahit dengan gelora revolusi fisik yang mengharu-biru Indonesia selama tahun-tahun 1940-an, yaitu gugurnya para pahlawan di medan perang.

Inilah era di mana komponis begitu ajur-ajer bersama situasi dan semangat zamannya sehingga karya-karyanya, di samping bisa dinikmati secara personal, juga membawa muatan sosio-kultural yang kuat. Para komponis legendaris di atas bisa menciptakan sebuah musik dengan lirik-lirik romantik yang mudah menghanyutkan sepasang kekasih yang sedang hanyut oleh gelombang asmara, tentang matahari, kabut pagi, senjakala magis yang mampu menyatukan diri manusia dengan alam maupun Tuhannya. Namun pada saat bersamaan karya-karya mereka juga memiliki simetri yang nyaris tanpa cela pada fenomena dan kenyataan sosial yang ada di sekeliling kita. Karya musik semacam itu menjadi penanda dan kunci-kunci yang diperlukan bagi generasi selanjutnya untuk membaca zaman di mana lagu itu lahir. Ia bisa pula menjadi alat-ukur bagi pendengarnya untuk membaca gerak zamannya saat ini dan menjadi mercusuar bagi perjalanan diri personal dan diri sosialnya di masa depan.

Saat hampir putus-asa menemukan musisi yang bisa mewarisi secara kreatif semangat para komponis di atas aku menemukan secercah harapan lewat pertemuan tak sengaja dengan lagu-lagu dalam album “Badai Pasti Berlalu” — selanjutnya disingkat BPB. Pertamakali menyimaknya aku sudah curiga dengan pilihan kata yang terus berulang hampir di sebagian besar lagu yang ada di album ini. Ada apakah dengan diri para pencipta lagu ini sehingga kata-kata ‘matahari,’ ‘musim,’ ‘fajar,’ ‘mega-mega,’ dan ‘kabut’ bisa terus menerus bermunculan? Kalau pun tujuan penciptaan lagu ini untuk soundtrack film dengan judul yang sama dengan album lagunya, benarkah lagu-lagu dalam album ini hanya untuk memenuhi kebutuhan film saja?

[caption id=”attachment_3406" align=”aligncenter” width=”518"]

Sampul Album BPB (Sumber: YouTube)[/caption]

Kecurigaan ini tak akan berbiak cepat seandainya aku tak menemukan sebuah tulisan pendek di website yang alamatnya terdengar pongah: www.utopiarevolusi.blogspot.com. Beginilah pembuka tulisan tentang album BPB di website yang hanya mengunggah ulasan beberapa lagu saja:

“Aku dilahirkan persis ketika album Badai Pasti Berlalu dirilis untuk pertamakalinya. Begitu aku memiliki telinga yang cukup mampu untuk mendengar dengan baik, kakek dan nenek tak pernah berhenti melolohkan kisah-kisah pertempuran fisik antara Belanda dan seluruh rakyat Indonesia demi membela jengkal demi jengkal tanah negeri ini. Dengan penuh kebanggaan mereka bercerita bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah pengorbanan rakyat, bukan hanya kerja segelintir orang yang di masa-masa selanjutnya mengklaim diri sendiri sebagai pemilik negeri ini. Di sela-sela ceritanya, mereka mengisahkan betapa memukaunya sosok sang pemimpin besar revolusi saat ia tengah berpidato di alun-alun kota kami. Seiring pertumbuhanku, beberapa tahun setelah masuk Sekolah Dasar, aku terjerumus ke dalam bacaan buku-buku sejarah palsu yang diterbitkan oleh rezim Otoriter-birokratik-militeristik Orde Baru — selanjutnya disebut rezim OBM Orde Baru. Dua arus narasi sejarah ini terus bertabrakan dalam diriku dan membayangi benak sampai aku memasuki masa studi di Universitas. Di kampus, satu demi satu pertanyaan tentang proses penghancuran Indonesia sejak era Orde Baru hingga sekarang mulai menemukan jawabannya. Pertemuan dengan lagu-lagu dalam album BPB tak akan menjadi bagian pijakan eksistensiku di dunia ini kalau aku tak memiliki masa lalu demikian. Pekerjaan membangun narasi tentang kemengadaanku itulah yang justru menjadi alasan paling personal bagiku dalam menelisik kisah-kisah di balik lahirnya album monumental ini.

Aku telah mendengar sendiri bagaimana Eros Djarot begitu mengagumi sosok dan ajaran-ajaran Soekarno. Sosok Soekarno pula yang hampir selalu diceritakan kakek, nenek, dan ayahku di waktu-waktu senggang mereka. Dari cara Eros mencipta lagu “Bunga Sedap Malam” itulah aku mulai menelusuri setiap lirik dan alunan musik lagu-lagu di album BPB. Maka, dihadapkan pada pilihan apakah akan merakit atau tidak berbagai peristiwa yang terjadi di luar diriku, dengan album ini aku memutuskan untuk merakit narasi yang ditawarkan oleh album ini dengan kemengadaanku di bumi Indonesia dan mau tidak mau menerima diri personal dan diri sosialku sebagai orang Indonesia.”

Membaca tulisan di blog itu, aku terperanjat. Alangkah kebetulannya: tahun rilis album BPB dan tahun lahir si penulis blog persis sama dengan tahun lahirku. Kalau ia pernah bertemu langsung dengan Eros, aku sebaliknya, tak pernah mengenal secara langsung seniman yang kumisnya bapang itu. Terpikat oleh cara sang penulis blog memasuki lagu-lagu dalam album BPB, aku memulai petualangan pribadi untuk membongkar narasi politik di baliknya. Perabaan dalam konteks politik apa lagu-lagu Eros lahir berlangsung lewat penyimakan terhadap salah satu video yang menceritakan latarbelakang dan proses lahirnya lagu-lagu Eros sendiri. Aku hanya membaca sejumput artikel dari pengamat musik Denny Sakrie yang membahas tentang album yang legendaris itu maupun artikel-artikel yang memaparkan Eros Djarot sebagai seorang musisi. Ada sebuah buku analisis musik yang terbit tahun 1970-an dimana di dalamnya si penulis membahas cukup panjang lagu-lagu dalam album BPB. Namun sayangnya sampul depan dan beberapa halaman awal yang memuat nama sang penulis lenyap sehingga aku tak bisa mencantumkan namanya di tulisan ini. Padahal dari analisis musik dalam buku itulah aku bisa merangkaian narasi politik di balik penciptaan lagu-lagu dalam album BPB. Di luar hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan Eros dan lagu-lagu besutannya, aku membaca faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang menjadi habitat dan lingkungan tempat tumbuhnya lagu-lagu itu.

Aku bukan musisi. Bukan pula kritikus musik profesional yang bisa menilai sebuah album dan lagu-lagu para musisi pertama-tama berangkat dari kajian musikologi sebelum melebar ke bidang lain. Aku hanya seorang penikmat musik amatiran, yang memahami musik dari seluruh pengetahuan yang kumiliki. Jadi kalau dari kajian permusikan analisisku salah, dengan hati dan pikiran terbuka aku mau menerima seluruh kesalahanku dan belajar memperbaikinya. Sebagai orang yang sedang mencoba merakit berbagai potongan narasi kebangsaan yang tercerai-berai sejak Orde Baru berkuasa dan dalam ikhtiar untuk menyuntikkan semangat revolusi para pendiri bangsa lewat lagu-lagu yang telah secara sistematis dibabat oleh kelompok nekolim dengan pisau pembunuh bernama kapitalisme, aku berusaha menemukan siapakah musisi yang bisa bertahan dari babatan pisau itu. Berkebalikan dengan kerja para seniman profesional, aku justru memasuki dunia kesenian dan kebudayaan lewat pintu pengetahuan sejarah, ekonomi, dan politik. Aku sengaja memakai cara kapitalisme dalam menghantam lawan-lawannya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Fernand Braudel: “Ketika kapitalisme ditendang keluar pintu, ia akan masuk lagi lewat jendela.” Ide-ide revolusi Indonesia — yang bertentangan secara diametral dengan kapitalisme — di masa sekarang tidak bisa disuntikkan secara langsung lewat kesenian atau kebudayaan karena para pelakunya telah mengalami kelumpuhan untuk keluar dari ruang keseniannya dan masuk ke gelanggang ekonomi-politik-sosial demi mengamalkan prinsip ajur-ajer dalam berkesenian. Doktrin Braudel segera memasuki benakku: Bagaimana kalau kita memasuki ruang kesenian/kebudayaan lewat pintu politik, ekonomi, dan sosial untuk menghidupan kembali ruh revolusioner dalam bidang kebudayaan?

Penghubung/Bridge: Jalan menuju penciptaan musik Eros Djarot

Berangkat dari pikiran itu, aku mulai menyelidik kehidupan Eros Djarot dan lingkaran teman-temannya. Perhatianku tertuju pada Eros Djarot karena lelaki yang dilahirkan pada 22 Juli 1950 inilah yang menjadi otak utama dari album BPB. Ia tipe lelaki serba bisa: menguasai ilmu teknik kimia, paham sejarah dan politik, dan mengolah bakatnya di dunia film dan jurnalistik sebelum mencoba ajur-ajer dalam dunia politik. Seluruh kemampuan itu hanya bisa lahir dari kehidupan seseorang yang bermandikan pengetahuan yang hampir total pada setiap segi kehidupan negerinya. Namun dari seluruh kemampuan yang ada pada dirinya, sesungguhnya ia hanya mencurahkan kemampuan terbaiknya di bidang musik. Ia sadar cara kembali pada ideal-ideal revolusi yang bergelora jauh di kedalaman jiwanya hanya bisa lewat musik. Kenapa? Karena rezim pemerintahan yang berkuasa sejak ia remaja sampai mungkin menjelang akhir hayatnya adalah rezim yang telah menghancurkan kehidupan yang ia idealkan. Keyakinannya ini terhitung menggelikan karena oleh teman-temannya, seperti Jockie Suryoprajogo dan Merde Christian — yang dikemudian hari dikenal sebagai Chrisye — Eros tak begitu paham musik. Dalam kisah kilas-baliknya tentang proses penciptaan album BPB, baik Jockie maupun Chrisye bercerita bagaimana lelaki pengkhayal ini mendiktekan nada-nada yang muncul begitu saja dari dalam benaknya kepada mereka berdua yang lebih menguasai akor dan notasi musik. Ia sendiri asyik bernyanyi dengan suara yang sumbang, menggerakkan jemarinya dengan lagak orang kesurupan, dan sering tak menyadari kalau dua teman karibnya itu menghentikan permainan gitar maupun keyboard mereka.

[caption id=”attachment_3407" align=”alignright” width=”339"]

Eros Djarot (Sumber: Sumber (newsmusik.co)[/caption]

Bagaimana orang yang tak begitu memahami akor atau notasi musik bisa melahirkan musik pop yang agung ini? Dengan apa ia mencipta karya-karya musiknya tanpa pemahaman tentang teknik musik standar? Untuk menemukan titik pijakan yang tepat dalam menjelaskan siapa sebenarnya orang ini, kita harus menemukan masa-masa kegelisahan eksistensialnya dan cara yang ia lakukan untuk mengatasi kegelisahan eksistensial itu.

Aku selalu merasa Eros tengah dilanda badai eksistensialnya yang mengerikan di tahun-tahun menjelang lahirnya album badai pasti berlalu. Pusaran badai itu berasal dari ingatannya atas hari-hari sesudah peristiwa 1 Oktober 1965, yang di kemudian hari oleh rezim OBM Orde Baru disebut peristiwa G-30-S/PKI. Badai kehidupan yang meluluh lantakkan Indonesia nyaris di berbagai bidang itu jelas mengguncang diri Eros karena salah satu korban dari pusaran badai itu adalah Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia hingga beberapa saat pasca peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut. Lewat pengakuannya sendiri, Eros begitu terpengaruh Soekarno: mulai dari ajaran-ajaran nasionalisme dan revolusinya, kecintaan sang presiden pada kesenian dan budaya Indonesia, hingga watak romantisnya pada kaum perempuan. Lagu “Bunga Sedap Malam,” menurut penuturan Eros sendiri, adalah perwujudan dari seluruh ajaran Bung Karno yang terus menerus membayanginya.

Keguncangan dalam dirinya itu tak sekedar lahir dari kecintaannya pada sosok dan ajaran Soekarno. Dalam kehidupan riilnya, ia akrab bergaul dengan Bambang Triatmojo, salah satu anak Jenderal Soeharto. Kedua-duanya bersekolah di tempat yang sama, yaitu SMA Budi Utomo, yang lebih dikenal sebagai SMA Budut. Dan kita tahu apa hubungan antara Jenderal Angkatan Darat yang satu ini dengan Soekarno: dialah orang yang menyungkurkan sang tokoh pujaan beserta ajaran-ajarannya ke dalam kubangan sejarah kelam negerinya selama 32 tahun lebih lewat kudeta merangkak-nya.. Pembunuhan ideal-ideal revolusi di negerinya sendiri dan hubungan problematiknya dengan putra Jenderal Soeharto serta anak-anak dari orang yang secara culas membunuh dunia utopian yang kelak membentuknya itulah yang memaksanya berangkat ke Jerman dan melarikan diri pada pelajaran-pelajaran Teknik Kimia. Sialnya, selama tinggal di Jerman, ia mengalami dilema Sitor Situmorang: Ia merasa menemukan keindonesiaan dalam dirinya justru ketika hidup di negeri orang. Sebabnya tak lain karena perlakuan sebagian besar orang Eropa yang menganggap ia dan kawan-kawannya sebagai orang kelas dua. Anggapan semacam itu sudah cukup meniadakan hak-hak sosialnya sekaligus kemampuan personalnya kepada pihak lain. Perlakuan rasialis itulah yang kemudian menumbuhkan romantisme dalam dirinya tentang Indonesia. Lirik-lirik lagu “Tanah Airku” karya Ibu Sud mengambang terus menerus dalam benaknya. Biar pun ia pergi jauh, tidak akan hilang ia dari kalbu.

Di Jerman Eros membentuk grup band yang dinamai Kopfjaeger sebelum berganti nama menjadi Barong’s Band untuk lebih menonjolkan keindonesiaannya. Tak bisa dipungkiri kalau selama di Jerman ia menenggelamkan diri pada musik klasik dan menyerap banyak elemen-elemen musik klasik dalam proses penciptaan lagu-lagunya. Namun pergaulannya dengan Guruh Soekarno Putra, salah satu putra Soekarno, makin menyadarkan siapa dirinya dan bagaimana ia harus melahirkan karya-karya musiknya. Keprihatinannya terhadap band-band rock di negerinya yang kebarat-baratan dan lebih memuja lagu-lagu berlirik Barat melahirkan reaksi kreatif: ia membeli kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta dan bertekad melahirkan lagu-lagu dengan lirik dari bahasa Indonesia yang puitis tanpa terkesan mendayu-dayu.

[caption id=”attachment_3408" align=”aligncenter” width=”569"]

Barong’s Band (Sumber: YouTube)[/caption]

Sepulang dari Jerman, Eros memulai petualangannya di dunia musik. Ia bergaul rapat dengan Nasution bersaudara — Keenan, Debby, dan Oding — , Jockie Suryoprajogo, Merde Christian, Guruh Soekarno Putra, dan para musisi yang biasa berkumpul di Gang Pegangsaan. Sejak pulang dari Jerman pekerjaan yang dilakukannya adalah mengumpulkan dan menyimak album-album musik yang dirilis saat itu. Ia menjadi saksi bagaimana grup-grup band yang ada saat itu hanya menjadi sapi perah dari industri rekaman. Sebagian besar lagu-lagu yang muncul saat itu terjerumus pada ketunggalnadaan dan lirik yang cengeng. Kritik pedasnya terhadap soundtrack dari film-film Teguh Karya membuat sineas kondang itu menantang Eros untuk menunjukkan bakat bermusiknya lewat pengisian soundtrack film. Eros memang telah menunggu-nunggu momen ini sejak pulang dari Jerman dan mendapati kenyataan bahwa lagu-lagu dengan lirik bahasa Indonesia dianggap najis di negerinya sendiri. Pengalamannya selama di Jerman bersama Guruh telah melahirkan kepercayaan diri tinggi: selain pengaruh musik klasik yang membasahi setiap relung jiwanya, ia telah belajar memanfaatkan keindahan bahasa Indonesia untuk dipadukan dengan musik-musik garapannya. Itulah sebabnya, meski oleh Jockie dan Chrisye ia sering diejek karena tak begitu piawai memainkan musik namun ia tak memedulikannya. Ada suara dalam dirinya yang bersabda lebih murni daripada kemampuan teknis dalam bermusik.

Sabda apakah yang lebih kuat dari kemampuan teknisnya dalam bermusik itu? Berikut ini penjelasannya.

Nada inti/Chorus: Muatan politik dari lagu-lagu di album Badai Pasti Berlalu

Setali tiga uang dengan lagu “Bunga Sedap Malam,” yang lewat pernyataan Eros sendiri terinspirasi oleh sosok Soekarno, lagu-lagu dalam album BPB begitu kental dengan simbolisme yang melekat pada diri Soekarno dan masa keemasan revolusi Indonesia. Bagi orang yang tak menyusuri patahan-patahan narasi sejarah Indonesia mungkin agak sulit melihat kaitan antara album BPB dengan kisah Soekarno dan masa-masa revolusi Indonesia hingga masa-masa awal berkuasanya rezim OBM Orde Baru. Namun pengalaman langsung Eros Djarot selama masa hamil besarnya Ibu Pertiwi dan peristiwa pengaborsian massal anak-anak revolusi yang kejam oleh rezim OBM Orde Baru begitu meninggalkan bekas mendalam pada diri Eros Djarot. Paling tidak kita bisa mengenalinya lewat kata-kata dalam lirik-lirik lagu dalam album BPB. Hampir di sepanjang lagu terdapat kata “matahari,” Fajar, “rimba kabut pagi,” “mega-mega,” “awan,” “daun layu,” dan lain sebagainya. Lagu “Merpati Putih” itu, misalnya, kita bisa melihat gambaran diri Eros Djarot sebagai merpati putih yang terbang berarak pulang-pergi ke Jerman dengan menerjang badai dalam pencarian basis eksistensialnya sebagai manusia Indonesia. Kepergiannya ke Jerman, selain karena alasan studi, pada dasarnya adalah usahanya untuk menyelamatkan dirinya dari keganasan rangkaian dampak peristiwa 1 Oktober 1965 yang mengerikan. Ia terbang tinggi di awan hanya untuk menghilang di langit hitam kekuasaan Orde Baru yang militeristik dan otoriter. Dengan nada yang begitu syahdu ia mengucapkan selamat berpisah pada sosok yang dicintainya, sosok Soekarno. Namun, dengan nada lagu ini yang menikam, tak menyurutkan diri si merpati untuk terbang tinggi menerjang awan, meniti karir kesenian dan politiknya yang di kemudian hari terbukti monumental.

Apa pandangan Eros tentang masa-masa revolusi, terutama masa-masa dari 1957–1965, ketika sosok yang begitu menginspirasinya itu menemukan perwujudan yang nyaris sempurna? Aku tak bisa menemukan romantisme yang lebih indah selain dalam lagu “semusim” di album BPB. Lagu ini tercipta di rumah Guruh Soekarno Putra yang notabene adalah anak Sang Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno. Lewat lagu ini, secara sadar atau tidak, ia menganggap bahwa pada periode 1957–1965 merupakan semusim paling indah dimana bunga-bunga bersemi atau bermekaran dalam kelembutan cakrawala senja. Lewat lembaran-lembaran sejarah kelam negeri ini kita tahu kalau bunga-bunga yang bersemi dan bermekaran di senja hari kekuasaan sang presiden itu — generasi terbaik dari manusia yang pernah dimiliki oleh Indonesia sejak era kemerdekaan — secara mengerikan sedang digiring menuju penghancuran oleh kekuatan-kekuatan nekolim dan antek-antek kompradornya di Indonesia. Dalam lirik lagu ini, pagi yang benderang diikuti dengan jernihnya semesta. Inilah pagi bagi generasi manusia Indonesia yang menikmati alam kemerdekaan yang membanggakan, ketika semesta — lewat pengakuan Negara-negara di berbagai penjuru dunia atas kehebatan Indonesia dalam membangun negeri serta keberaniannya menentang kekuatan imperialis Barat — tampak jernih di mata mereka. Suasana benderang dan kejernihan semesta inilah yang membuat nyaris di berbagai penjuru tanah air bagai terbaluri wangi bunga menyambut para insan yang tengah bercinta dengan nafas revolusi Indonesia. Lewat amsal sepasang manusia yang tengah dimabuk asmara, Eros menghayati semua masa-masa itu sebagai pagutan bibir seseorang yang membakar peluh pasangannya sehingga menciptakan gelora tak terlukiskan. Sukma dan dan jiwa mereka berpadu mesra dalam kabut cinta abadi. Untuk selamanya. Oh, betapa romantiknya!

Di lagu “Matahari” aku kembali tergoda untuk menghubungkan lirik-lirik lagu ini dengan Eros dan masa lalu kelam negeri ini. Dengan simbolisme ‘musim,’ ‘masa,’ ‘matahari,’ dan “daun layu” ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawabnya dan harapannya agar rezim yang tengah berkuasa segera berganti. Saat impian semusimnya lenyap, dan jiwanya kembali pada kenyataan faktual di depannya, Eros menyadari bahwa segala yang ada di sekitarnya bukan miliknya lagi. Era kekuasaan Orde Baru tak memberikan ruang pada idal-ideal revolusi sebagaimana yang diajarkan oleh Soekarno dalam buku-buku maupun pidato-pidato politiknya. Kalau sudah demikian adanya, bagaimana ia bisa terus menjalani kehidupan yang telah membuat sukmanya serasa tak memiliki apa-apa itu? Kebuntuan itu masih diikuti dengan pertanyaan penuh gugatan tentang ribuan korban pembantaian simpatisan Soekarno dan PKI demi tegaknya kekuasaan Jenderal Soeharto. Lewat permainan bahasanya yang cemerlang, dengan penuh keberanian Eros bertanya dimana seluruh mayat-mayat korban pembantaian 65 itu berada: dimana kau timbun daun yang layu (itu)? Kalau sedikit mau kurang ajar, sesuai dengan bidang ilmu Teknik Kimia yang dipelajari Eros Djarot sewaktu di Jerman (Teknik Kimia), kita bisa saja menghubungkan lirik ini dengan proses biokimia dimana daun-daun layu yang ditimbun baik secara paksa atau sukarela itu lewat proses kimia akan menjadi unsur hara yang menyuburkan tanah. Dengan kata lain, korban-korban dari serangkaian pembantaian pasca 1 Oktober 1965 itu pada suatu waktu bisa menyuburkan jiwa manusia Indonesia. Pertanyaan soal penguburan ‘daun layu’ itu diiringi dengan kegelisahannya menanti matahari pagi yang tersembunyi dalam rimbun kabut pagi 1 Oktober yang meluluh-lantakkan seluruh persendian tubuhnya (sekaligus persendian bangsanya).

Harapan Eros Djarot itu diikuti dengan kekhawatiran yang ia suguhkan begitu romantik lewat lagu “Khayalku.” Ia, yang tengah berdiri di malam kelam awal kekuasaan otoritarian Soeharto — di malam kelam kebudayaan Indonesia saat itu yang tengah gemar-gemarnya melap-lap lagu Barat dan menganggap lagu-lagu dengan lirik bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang najis — , menganggap bahwa harapannya untuk bertemu sosok pujaan beserta ajaran-ajarannya yang terejawantah di berbagai bidang kehidupan di negeri ini sebagai sebuah khayalan. “Juwita dambaan jiwa” Eros (Soekarno) itu berada pada suatu tempat yang terhalang dinding membentang dan terpisah selebar samudera. Kemustahilan untuk mencapainya itu membuat hati dan jiwanya merasakan kehausan yang meronta-ronta. Untuk kesekian kalinya, ia meyakinkan diri untuk menanti hari dan fajar baru tiba. Dengan penyajian lagu-lagu seperti inilah wacana subversif terhadap rezim OBM yang ganas tak bisa lagi dikenali. Ia tetap bisa menumpahkan semua uneg-unegnya dalam musik dan lirik yang romantik bagi pandangan kaum awam sekaligus menyampaikan pesan revolusi yang tengah sekarat pada mereka yang mampu menghidupkannya suatu hari nanti.

Album Eros ini ditutup dengan lagu “Badai Pasti Berlalu” dan musik instrumental “Merpati Putih” yang legendaris. Dalam lagu Badai Pasti Berlalu inilah kukira optimisme berbalut kekeraskepalaan Eros Djarot dalam membangun utopianya sendiri begitu kental terasa. Ia telah melangkah jauh, sejarak satu dekade lebih dari peristiwa 1 Oktober 1965 yang merupakan awal pembantaian ratusan ribu hingga jutaan orang yang dianggap PKI dan pengikut setia Soekarno. Ia tahu awan hitam terus bergelayut di atas kepalanya. Ia tahu daun-daun jatuh berguguran satu demi satu ke pangkuan ibu pertiwi, asal-muasal sekaligus tempat kembali yang sejati bagi daun-daun layu itu. Ia menyadari bahwa dirinya terus menerus berada dalam dekapan peristiwa masa lalu yang begitu romantik. Berdiri di bawah awan hitam di atas kepala dan awan hitam yang menyelubungi hati (dan jiwanya) hingga menimbulkan gelombang kegelisahan maha hebat, tegak di atas tanah tempat dipangkunya daun-daun layu itu hingga membusuk dan terurai menjadi zat asalnya, dan kukuh memanggul kenangan masa lalu yang romantik, Eros membuat pengakuan tegar bahwa segala yang ada di sekitarnya bukan lagi miliknya, musim dimana saat itu ia berada bukan lagi musimnya, dan sang matahari memang telah berganti. Di tengah-tengah pengakuan itu, ia merasakan kehausan tak terkira pada tetes embun pagi sekaligus menyaksikan matahari baru yang begitu garang menghabisi siapa pun yang punya nyali untuk melawannya, matahari kekuasaan rezim OBM yang terus menjatuhkan korban-korban baru.

Di tengah berbagai hal yang tak mendukungnya itu, Eros hanya bergantung pada keyakinannya sendiri, sekali pun keyakinan itu tampak rapuh di dalam lingkungan yang kejam. Dalam keheningan yang asing, dikepung situasi ekonomi dan politik yang makin otoriter, dihadapkan dengan produk-produk kebudayaan yang makin tak berkarakter, Eros menumbuhkan mantera yang terus menerus diulangnya: Badai pasti berlalu, badai pasti berlalu, badai pasti berlalu… Maka, serupa merpati putih, ia berarak pulang pada kenyataan. Ia terbang menerjang badai ingatan akan masa kejayaan revolusi dan masa kelam sejak peristiwa 1 Oktober 1965 hingga satu dekade tegaknya kekuasaan otoriter-birokratik-militeristik Soeharto yang mendaku dirinya sebagai Orde kekuasaan Baru. Ia terus terbang melewati dekade 1980-an hingga dekade 1990-an sebelum menyaksikan tumbangnya kekuasaan otoriter-birokratik-militeristik Soeharto dan Orde Barunya. Pertanyaan Eros Djarot tentang sampai kapan ia harus menunggu hari bahagia seperti dulu, masa kejayaan revolusi di paruh kedua 1950-an hingga paruh pertama 1960-an, itu menemukan titik terangnya pada 21 Mei 1998 saat Jenderal Soeharto turun dari kursi kepresidenan.

Penutup: Menuju era musik progresif-revolusioner

Lagu-lagu Eros Djarot, seperti pengakuannya sendiri, selalu memiliki cerita. Jadi, di samping menumpahkan citarasa musikalnya, Eros secara sadar menyisipkan narasi tentang porak-porandanya sendi-sendi kehidupan Indonesia pasca kekacauan politik 1965 kepada publik. Tak menutup kemungkinan pula kalau lewat lagu-lagu garapannya Eros memberi ruang pada orang lain untuk menyisipkan cerita dari lagu-lagu besutannya. Intensi Eros untuk menyisipkan cerita dalam lagu-lagunya itulah yang mengundangku untuk masuk dan menyisipkan narasi lain dari album yang semula ditujukan sebagai soundtrack dari film garapan Teguh Karya dengan judul serupa dengan judul album musiknya, “Badai Pasti Berlalu.”

Satu tahun sesudah runtuhnya rezim OBM Orde Baru, seorang musisi berbakat berusaha menggubah lagu-lagu dalam album BPB. Musisi berpenampilan sederhana ini — Erwin Gutawa — , yang lebih banyak mengawali gubahan lagunya dengan gaya sederhana, sadar bahwa nada pedih yang begitu kental dalam album BPB versi Eros dan teman-temannya harus menemukan konteksnya yang tepat di era pasca otoritarian dan alam kebebasan. Ia tak lagi mengusung nada pesimis yang puitik sebagaimana yang ada dalam album pertama. Sebaliknya, dengan penuh keberanian menyuntikkan optimism dalam citarasa musikalnya yang begitu megah. Berlainan dengan Eros yang sangat kental dengan citarasa musik klasiknya, Erwin berusaha memadukan unsur-unsur musik India, Jawa, dan lain-lainnya ke dalam lagu-lagu yang ia aransemen ulang. Lagu Badai Pasti Berlalu inilah yang di tahun 2014, dalam mengenang 40 tahun karir Eros Djarot, disajikan dengan begitu agung dan megah. Lengkingan vokal Berlian Hutauruk di usia paruh bayanya, dalam dukungan musik yang agung dan megah itu, bagai mengobarkan api yang membakar jiwa-jiwa pendengarnya. Lewat mata batinnya, para penikmat musik yang menyadari muatan politis dari musik dan lengkingan vokal Berlian dalam membawakan lagu Badai Pasti Berlalu menyaksikan api dari lagu itu tengah berusaha menghancur-leburkan virus distopia mematikan yang menyerang generasi manusia Indonesia pasca Orde Baru. Jika pada akhir 1970-an Berlian membacakan mantera ‘badai pasti berlalu’ dengan nada penuh ketidakpastian, maka pada enam belas tahun pasca reformasi ia menyanyikan dengan penuh kepercayaan diri, nyaris dengan kekuatan yang mampu mengajak pendengarnya untuk menghadapi hari-hari tanpa badai kehidupan yang mengerikan seperti sebelum-sebelumnya.

Cara yang sama dipakai Erwin Gutawa ketika ia menggarap lagu “Semusim.” Dibuka dengan sekali petikan gitar dan drum ala dangdut yang mampu membuat tubuh pendengarnya untuk menggoyangkan tubuh dan suara seruling yang seolah mampu meniupkan kehidupan baru, Erwin seolah ingin membalik cara pandang Eros bahwa semusim paling indah bagi manusia Indonesia tidak berada di masa lalu, namun di hari-hari yang akan datang. Ruh kehidupan baru ini dipanggil oleh nada-nada seruling dari berbagai penjuru arah, sebelum dipadu dengan dentuman drum dan ketukan kendang yang saling bersahutan. Vokal lembut Chrisye, yang biasanya tak memiliki tenaga keriangan berlebihan, di tangan Erwin Gutawa bisa berubah memiliki intonasi yang tegas tanpa mengurangi karakter lembut suaranya. Kegilaan Erwin dalam menggubah lagu ini, yang tak pernah kutemukan di lagu-lagu garapannya sebelumnya, barangkali diletupkan oleh sosok yang ingin ia lampaui: Eros Djarot. Barangkali lewat gubahan Erwin-lah kita bisa membuka lembaran kehidupan baru yang pernah dikhayalkan oleh Eros Djarot. Lewat sentuhan tangan Erwin pula, kita bisa berharap ruh revolusi yang pernah begitu menggelora sejak awal abad sampai paruh pertama tahun 1960-an kembali menemukan ruang hidupnya kembali. Dengan demikian, Sang Merpati Putih, yang dulu terbang berarak menerjang badai dan awan kelam, kini bisa menghadapi langit biru terang dan angin yang semilir. Badai memang telah berlalu, Eross…

Pertanyaannya sekarang: Kemana saja para musisi Indonesia sekarang? Sekaranglah sebenarnya masa-masa di mana lagu-lagu yang ditelurkan oleh para musisi Indonesia kembali mampu merakit secara indah gejolak zamannya dengan citraan personal yang mampu mengharu-biru pendengarnya. Sungguh tidak tahu malu kalau di hari-hari seperti ini mereka masih disibukkan dengan problem generasi musisi Indonesia ketika Eros Djarot baru pulang dari Jerman: terjerembab pada ketunggalnadaan! []

24 Mei 2015

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)