Gugun Muhammad: tagline kita tanah untuk penggarap!

Literasi.co
Literasi
Published in
26 min readJun 21, 2017

Gugun Muhammad (Gugun, dalam teks wawancara: G) adalah pendamping Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) sekaligus community organizer (CO) di Urban Poor Consortium (UPC). KAKC terletak di tepi Anak Kali Ciliwung Utara di Jakarta Utara dan memiliki anggota 3 kampung, yaitu Tongkol, Krapu dan Lodan. Pada 2014 yang lalu, kampung-kampung yang tergabung dalam KAKC ini mau digusur oleh pemerintah sebagai bagian dari program pengelolaan banjir Kota Jakarta. Anak Kali Ciliwung Utara masuk sebagai linkage dalam program pengendalian banjir yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemprov DKI, Jakarta Emergency Dredging Initiative/Jakarta Urgent Flood Mitigation Programme (JEDI/JUFMP), yang dijalankan dengan pinjaman dana sebanyak 139,64 juta Dollar AS dari Bank Dunia. Linkage di sini maksudnya adalah saluran yang tidak berada dalam program secara langsung, namun menjadi target program dengan skema pendanaan yang berbeda.

Namun warga KAKC melakukan berbagai inisiatif untuk menunjukkan bahwa mereka bukan masalah, melainkan adalah solusi terhadap penanganan banjir Jakarta. Berbagai inisiatif itu, misalnya saja, memotong sendiri rumah-rumah mereka sehingga membentuk jalan swa-inspeksi di pinggir Kali, membangun septic tank di rumah-rumah mereka sehingga air buangan rumah tangga tidak langsung di buang ke Kali, membentuk model rumah berlantai 3 dari bambu dengan konsep ruang multi-fungsi, menggalakkan pertanian perkotaan di sekitar tanggul kali, pembuatan pupuk kompos, mengurangi pemakaian plastik, dan tentu saja membentuk organisasi KAKC.

KAKC bergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), sebuah organisasi rakyat miskin di Jakarta yang pendiriannya didorong oleh UPC. Di tingkat nasional, bersama dengan berbagai komunitas rakyat miskin di berbagai kota seperti Surabaya, Lampung, Kendari, Makassar, Aceh, Sidoarjo dan Tulang Bawang, JRMK membentuk Jejaring Masyarakat Miskin Indonesia (JERAMI).

Wawancara ini adalah usaha untuk menggali lebih jauh tentang politik “hak atas kota” di Jakarta, terutama dalam bagaimana “hak atas kota” sebagai sebuah jargon politik dioperasionalkan dalam momen pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017. Dalam pilkada DKI 2017 JRMK-UPC melakukan “kontrak politik” dengan salah satu pasangan calon waktu itu, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Di media sosial kontrak politik bertajuk “Tanah untuk Penggarap” ini muncul dengan 5 poin turunan: 1)Perubahan tata ruang untuk perkampungan, 2)Legalisasi lahan perkampungan, 3)Program hunian terjangkau untuk rakyat miskin, 4)Perizinan usaha bagi pedagang kaki lima, dan 5)Bantuan alih profesi bagi tukang becak. JRMK-UPC, dalam kontrak politik atau perjanjian mengikat dengan Anies-Sandi, berkewajiban memenangkan Anies-Sandi di 125 TPS. Apabila di salah satu saja dari 125 TPS itu Anies-Sandi tidak menang, maka perjanjian batal. Dan ternyata JRMK-UPC sukses mengerjakan tugas sesuai janjinya. Wawancara ini, pada dasarnya berusaha membahas kontrak politik tersebut.

[caption id=”attachment_5394" align=”aligncenter” width=”700"]

Ilustrasi Oleh Moch Zikri Herdika[/caption]

Gugun diwawancara oleh Bosman Batubara dari Literasi.co (L) di halaman rumah keluarga Gugun, di bantaran Anak Kali Ciliwung Utara, Kampung Tongkol pada 24 Mei 2017. Dalam obrolan ini juga bergabung Sekjen KAKC, sehingga dalam beberapa kesempatan Sekjen juga memberikan pandangan-pandangannya. Rekaman wawancara ditranskrip oleh Muslich Bahaomed dari Literasi.co. Naskah kemudian dibaca ulang dan dikoreksi seperlunya oleh Gugun dan Wardah Hafidz (juga dari UPC). Selamat membaca.

L: Bisa anda ceritakan latar belakang kontrak politik JRMK-UPC, darimana datangnya kontrak politik itu?

G: Kita mulai itu sekitar tahun 2007 di Jakarta. Inspirasi untuk melakukan kontrak politik itu dari jaringan UPC di Amerika Serikat, ACORN yang dikepalai oleh Wade Rathke, yang membuat kontrak politik dengan Obama pada masa jabatan pertama. Wade bersama rombongan berkunjung ke UPC pada 2006, pada 2007 dia mengirimkan satu orang stafnya untuk mengajar UPC menerapkan metode one-on-one untuk organizing, yang ketika itu digunakan untuk melakukan mobilisasi suara (rap, canvass) pada pilkada 2007, yang saat itu UPC mendukung Adang Dorojatun, dan memberikan 10 ribu suara untuk Adang. Sebelum-sebelumnya gak ada sejarahnya UPC itu masuk dalam momentum politik. Walaupun sebelumnya pernah juga UPC dorong simbolik untuk calon gubernur, tapi masuk dalam salah satu kandidat itu belum pernah. Nah, 2007 itu salah satu inspirasinya. Karena latar belakangnya begini. Kita ini katakanlah begini, berjuang menyelamatkan satu-dua kampung, tapi puluhan kampung digasak gitu loh. Menyelamatkan di sini dimaknai bekerja bersama antara warga dan UPC. Data UPC sampai 2004: kita mendampingi sekitar 60an kampung di Jabodetabek. Kontrak politik bukan soal berkejaran dengan soal penggusuran tetapi soal visibility, legalitas dan partisipasi RMK [Rakyat Miskin Kota] sebagai warga kota sah dalam pengelolaan kota. RMK yang kebanyakan tinggal di kampung-kampung miskin yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai illegal, pemerintah tidak hadir kecuali ketika akan menggusur, tidak ada pelayanan publik, tidak ada hak-hak dasar yang dipenuhi, apalagi untuk bisa berpartisipasi dalam kehidupan dan pengelolaan kota. Dengan RMK Jakarta mengorganisasikan suara mereka saat pilkada untuk melakukan kontrak politik, mereka diakui keberadaannya, mereka menjadi visible, dan dipenuhi hak-hak dasarnya (jika calon yang didukung menang). Isi kontrak politik memang sengaja dibuat umum agar berlaku untuk semua RMK di kota terkait, tanpa ikatan legalitas resmi. Pengandaiannya kontrak politik adalah langkah awal untuk warga mengorganisasikan diri; setelah pilkada usai, RMK yang berkelompok per kampung melakukan kegiatan lanjutan agar tuntutan dalam kontrak politik terpenuhi. Dengan demikian, ikatan kontrak politik bukan ikatan legal formal tetapi pada kekuatan massa RMK yang terorganisasi. Salah satu penyebab masifnya penggusuran adalah kebijakan. Ini yang mencoba dengan pendekatan di luar kekuasaan itu masih sulit dijangkau. Akhirnya karena kekuasaan itu menentukan wajah kota, mau gak mau kita juga menggunakan cara politik. Salah satunya ya. Tidak meninggalkan cara-cara demonstrasi, tapi itu salah satu cara yang dipakai. Nah, pilihannya gak banyak. Waktu itu diskusinya begini. Apakah kita mau mencalonkan sendiri? Itu 2007, pilkada Jakarta waktu itu Foke melawan Adang. Pilihannya apakah memunculkan calon sendiri, ataukah mau ikut barisan kepartaian dan menjadi pendukung di dalamnya, ataukah mencalonkan independen di luar kepartaian, ataukah kontrak politik? Artinya kita tidak masuk dalam struktur mereka. Artinya kita memasukkan program lalu kita transaksi suara. Waktu itu, masuk ke partai, lalu ikut mendukung, lalu kita memasukkan calon ke partai itu, tidak disepakati. Bukan pilihan yang bagus. Terus calon independen belum bisa. Terus yang terakhir ya itu, kontrak politik. Tetapi waktu itu kontrak politik itu sudah sangat transaksional. Kalau transaksional artinya harus ada angka yang dihitung. Artinya, kalau kita mau ngajuin, nuntut calon transaksional pertukaran, kita minta program, si calonnya pasti minta suara. Nah suara itu ya hitung-hitungan jumlah. Nah waktu itu kita mikirin gimana caranya menghitung jumlah orang. Kita bisa bilang 100.000 suara, 200,000 suara, bahkan 700.000 suara. Ini bagaimana caranya. Nah, itu kemudian kita yang kerja bareng ACORN. Salah satu dari mereka datang dan ngajarin kita. Waktu itu kita kumpul bareng kader-kader UPC. Latihan itu yang namanya “nge-rap”. Istilahnya melakukan penyadaran, tapi orang per orang. Kenapa namanya rap? Itu dari musik rap. Musik itu kan cepat dan berulang-ulang. Nah itu persis dengan metode yang diterapkan. Nah, obrolan itu cepat dalam skala waktu. Jadi, metode rap adalah percakapan yang sistematis untuk mengubah dan menumbuhkan kesadaran. Tumbuhnya kesadaran itu dibuktikan dengan mau bergabung dalam kegiatan dan menjadi penggerak bagi yang lain. Jika yang bersangkutan belum mau gabung maka proses percakapan diulang dari depan lagi. Dari langkah penggalian itu, diulang lagi sampai dua kali. Dan masih gak mau gabung, setelah itu tinggal. Waktu pertama ditolak musti ngulang lagi, itu rap. Waktu itu latihan betul satu persatu orang. Terus juga datengin orang-orang luar [Jakarta] anggota UPC, waktu itu Jakarta sebagai eksperimen. Dikeroyok untuk semua. Ya waktu itu berhasil kita lakukan. Prioritas pertama adalah menggarap warga di kampungnya sendiri. Setelah selesai di kampungnya lalu harus jalan ke kampung lain untuk mengajak warga bergabung melalui proses rap. Karena kalau hanya kampung-kampung yang dalam jaringan UPC, gak akan cukup itu suara. Berarti mereka harus keluar kampung begitu. Terus terjadi kontrak politik dengan Adang, waktu itu Adang kalah. Itu konteks awal mulai adanya kontrak politik.

L: Oke itu kontrak politik dengan Adang, setelah itu?

G: Setelah itu Makassar. Makassar itu selang satu tahun atau dua tahun, 2008. Terus 2009 merencanakan kontrak politik juga. Sudah nge-rap. Tetapi dari sekian calon presidennya itu, tidak sreg semua. Kita mau pilih yang terburuk pun rasanya tidak sreg. Awal itu ada Megawati, SBY, Amien Rais, Wiranto. Satu itu tidak sreg, yang kedua orang yang pontensi menang juga gak mau. Waktu itu juga sempat ditolak, padahal waktu itu kita sudah kumpulin satu juta suara di nasional. Satu juta suara itu dalam arti, karena nge-rap itu tertulis ya hasilnya. Tidak sekedar orang bilang ya, tapi ya nya itu dibuktikan dengan tanda tangan. Artinya sudah ditangan itu satu juta suara itu, tapi akhirnya batal kita lakukan. Waktu itu yang potensial kan SBY dan Megawati. Tetapi akhirnya tidak kita lakukan. Dan belakangan beruntung tidak jadi dilakukan ya waktu itu. Kalau jadi dilakukan ya menjadi bagian dari masa kelam SBY yang sulit terkontrol. Terus 2010 Surabaya. Itu betul-betul dalam arti memunculkan calon baru. Tidak mendukung Risma. Dulu Fitra itu orang dari gerakan sosial di Surabaya. Tapi kalah. Itu kita lakukan itu di Surabaya. Warganya nge-rap ke kampung-kampung. Mulai dari Surabaya kita memperkenalkan ‘koin perubahan,’ warga yang bergabung diminta menyumbang kepada calon 1000 perak dengan tujuan dua hal: pertama, melawan politik uang dengan cara pemilih tidak menerima uang sogokan dari calon; kedua, koin seribu perak adalah simbol amanat pemilih kepada calon, jika nanti dia menjadi pejabat publik, dia bertanggungjawab kepada warga khususnya yang miskin dan telah memberikan suaranya, bukan kepada bohir seperti pengusaha atau partainya. Kampanye koin perubahan juga dilakukan pada pilkada Jakarta 2012 ketika mendukung Jokowi-Ahok. Terus 2014 dengan Jokowi dan menang juga. Dan terus yang terakhir yang kemarin ini, Anies-Sandi.

L: Kenapa kontrak politik dibandingkan dengan masuk dalam struktur tadi?

G: Alasannya begini. Kontrak politik itu secara posisi kita itu menjadi setara dengan si calon. Kita itu rakyat maksudnya ya. Kalau masuk dalam struktur mereka, artinya rakyat itu menjadi di bawah. Ini di analisis posisi yang disadari UPC. Kalau masuk itu artinya menjadi bagian dari skrup-nya dong kita ini di antara mereka. Dan kita tidak ada negosiasi apapun, karena hanya mensukseskan. Kalau ini kita menjadi setara dan kita tidak menjadi bagian dari tim sukses mereka. Ini manajemen yang berbeda juga. Lalu yang kedua, konteksnya itu waktu 2007, perpecahan di level rakyat miskin kota. Jadi reformasi pemilihan secara langsung ternyata dampak buruknya itu menimbulkan perpecahan di kalangan bawah. Jadi si A berkubu kemana, si B berkubu kemana dan tidak jarang terjadi pertiakaian, macam-macam begitu. Dengan kata lain, individu-individu RMK menjadi kontraktor politik untuk kepentingan sesaat misalnya, menerima sejumlah uang, dengan nominal tertentu untuk satu KTP, dan sebagainya. Itu dengan kontrak politik menyatukan. Jadi bukan soal aku senang kubu ini-kubu ini. Dengan kontrak politik bisa menyatukan. Karena apa bisa menyatukan? Ikatannya berubah, atau motif yang menyatukannya berubah. Kalau tadinya itu idola, lalu menjadi lebih rasional, program. Apa yang didapatkan? Kedua, yang tadinya sembako atau uang, paling satu hari dua hari habis. Ini lebih dinaikkan lagi: program. Paling tidak lima tahun. Tapi jika terjadi perubahan dalam lima tahun, bisa selamanya. Lalu mendorong kontrol, karena ini janji kan urusannya. Si calon menjanjikan kepada warga. Jadi ketika dia jadi, ini mendorong warga itu lalu nagih. Dulu dia pernah janji begini-begini. Itu nancap betul. Dan orang punya dokumen yang bisa dilihat. Yang hanya ngecap begitu, bisa ilang dan gak bisa dibuktikan. Nah karena ada bukti dokumen, orang lalu mendorong. Paling tidak mempertanyakanlah. Dulu janjinya begini, ini ada buktinya. Paling tidak ya, ini mempertanyakan. Yang 2007 itu, paling tidak kesitu. Belum memikirkan bagaimana supaya kontrak itu betul-betul terjadi. Belum! Karena itu juga eksperimen pertama. Jadi bagaimana fokusnya waktu itu mengumpulkan suara, merumuskan program, mengajukan, lalu memenangkan. Tapi begitu ini menang, karena 2007 itu kebetulan juga kalah, 2012 waktu itu begitu menang, itu belum ter disain dengan bagus. Nah itu kenapa pilihannya kontrak politik. Bukan hanya sekedar mencari kekuasaan. Bahkan dari sejak yang menang itu 2012, 2008 di Makassar itu menang, 2014, tidak ada sejarahnya orang UPC atau komunitas itu masuk dapat jabatan tertentu, itu tidak. Karena memang tidak diniatkan untuk mendapatkan kekuasaan. Karena berbeda dengan partai politik, perjuangan UPC adalah memberikan kekuasaan di tangan rakyat yang terorganisasi dan berkesadaran politik yang kritis. Tetapi itu yang mungkin menjadi hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut, apakah perlu orang dari dalam untuk mengawal kontrak politik.

L: Apa kira-kira pembeda kontrak politik yang terakhir ini dengan yang banyak sebelumnya?

G: Kalau tujuan yang pertama itu tetap ya. Nah tambahannya itu, kita mencoba memasukkan tambahan bagaimana kalau janji itu dilanggar? Makanya kita disain, sebenarnya bukan kontrak politik tapi perjanjian. Makanya di naskahnya bukan kontrak politik, tapi perjanjian. Kontrak politik itu hanya bahasa untuk publikasilah. Untuk umum supaya gampang dimengerti. Tapi sebenarnya perjanjian itu mengacu ke KUH perdata, terkait hukum perjanjian atau hukum perikatan. Nah, KUH perdata itu kan mensyaratkan beberapa hal terkait perjanjian, walaupun secara KUH, perjanjian lisan pun termasuk sah, tetapi akan repot di pembuktian di pengadialan jika terjadi sengketa. Nah, paling tidak ada kesepakatan kedua belah pihak, lalu ada hal yang diperjanjikan itu jelas, lalu pihak-pihaknya juga jelas subjek hukumnya itu, lalu yang terakhir itu hal yang diperjanjikan itu kausal yang halal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Nah, bedanya di situ. Jadi isi kontraknya pun yang sebelum-sebelumnya dengan yang sekarang itu berbeda. Sebelum 2017 itu, kontraknya itu sangat bersifat umum. Contoh yang di 2012 itu, penataan bukan penggusuran. Geser bukan gusur. Legalisasi kampung-kampung yang sudah menempati 20 tahun. Pelibatan rakyat dalam penyusunan peraturan tata ruang. Itu kan umum? Umumnya, karena subjeknya ini siapa? Kalau umpama pelibatan rakyat dalam penyusunan tata ruang, nah rakyat ini siapa? Kan banyak sekali, anggota DPR-pun juga rakyat! Nah, dalam hukum perjanjian tidak bisa, yang namanya subjek hukum berarti dia individu atau badan hukum. Nah kalau individu dia punya nama, dan kalau dikait dengan pilkada, dia punya hak pilih. Termasuk hal yang diperjanjikan itu juga jelas. Waktu itu kampung yang mana juga tidak terlalu jelas yang dimaksudkan untuk seluruh Jakarta. 2012 ke bawah, kontrak ini milik seluruh warga Jakarta dan berlaku untuk seluruh warga Jakarta. Itu ternyata risikonya kemudian, ketika terjadi pengingkaran sudah bisa ditebak bahwa tidak akan bisa digugat di pengadilan. Karena pernah ada satu contoh, itu si Boni Hargens itu pernah menggugat SBY. Yang digugat visi-misinya terkait pertumbuhan ekonomi. Ternyata itu tidak terjadi itu. SBY hampir turun tidak jadi [pertumbuhan ekonomi sesuai visi-misi]. Digugat oleh Boni Hargens. Oleh pengadilan akhirnya ditolak. Karena visi pertumbuhan ekonomi itu variabelnya banyak dan itupun terkait juga dengan kondisi global, artinya hal yang diperjanjikan itu tidak terlalu spesifik, terlalu umum. Nah kita pikir akhirnya pasti ditolaklah. Nah kalau menggugat dan ditolak itu akan menjadi preseden buruk. Lalu itu yang kemudian mendasari ada perubahan. Mesti detail betul. Makanya ketika menyusun isinya itu ada timnya memang yang menggodok. Maksudnya kita ada batasan-batasan, sebelum ada pemutusan itu, ada dua pihak, ada tim pakar, ada tim warga. Jadi ada diskusi di warga untuk menentukan usulan-usulannya apa saja. Lalu dikaji sama tim pakar. Dikaji secara hukum, dikaji secara tata ruang, pertanahan, macam-macam gitulah. Terus masukan-masukan ini dibawa lagi ke warga. Ada perubahan begini-begini. Nah, akhirnya disepakati. Ini hati-hati betul nyusunnya karena supaya tidak ada satu peraturan yang dilanggar. Karena jika ada satu peraturan atau hukum yang dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya batal secara otomatis. Itu beda satu ya, terus yang kedua, ada hal yang diperjanjikan juga itu dari warganya. Kalau dulu tanggungjawab warga adalah memberikan sejumlah suara sesuai kesepakatan. Misal Makassar, kita menjanjikan 70 ribu suara yang dibuktikan dengan fotokopi KTP dan tandatangan pemilih pendukung. Penting dicatat, kontrak politik 2017 bukan perbaikan dari kontrak-kontrak politik sebelumnya, tetapi model yang berbeda.

Sekjen: Dalam kontrak itu juga tercantum, jika salah satu kampung/TPS kalah, perjanjian itu batal semuanya.

L: 125 TPS?

G: Iya. Itu resikonya. Tapi mau tidak mau itu kita cantumkan. Karena perjanjiannya ada dua hal yang dipertukarkan. Apa nih? Mau tidak mau kita cantumkan TPS itu.

L: Dan dari warga usulannya spesifik untuk masing-masing kampung, atau kelompok ya, karena tidak semua kampung kan?

G: Iya.

L: Saya ingin bertanya tentang proses pengorganisasiannya; persisnya apa yang dilakukan oleh JRMK-UPC supaya bisa sampai 31 entitas; 26 kampung, Sebaja [Serikat Becak Jakarta], 3 PKL [Pedagang Kaki Lima], 1 rusun [rumah susun]; solid dalam kontrak itu, apa yang dilakukan dalam prosesnya?

G: Nah, dalam proses kerja ini, berubah, terus terang. Dulu itu untuk melakukan rap, sumber daya tenaga dan orang itu butuh banyak banget. Misalnya uang. Tapi sekarang UPC sudah tidak berdonor. Jadi strategi berubah.

L: Oke. Kira-kira kalau dibikin nilai antara 1–10 skalanya, berapa kira-kira nilainya kuantitas warga untuk yang aktif atau intens di organisasi? Kalau dibandingkan dengan seluruh jumlah anggota JRMK yang ikut kontrak politik?

G: Ini berlapis, jadi ukurannya berbeda. Lapis pertama pengurus JRMK nih, karena mereka juga bagian dari warga dari 31 [entitas] itu. Ada pengurus JRMK, ada CL, community leader kampung [Kader kampung], lalu tim di kampungnya sendiri, yang belum tentu pengurus di JRMK, nah ini levelnya beda-beda. Nah, pengurus JRMK itu menjadi fasilitator untuk CL. CL itu menjadi fasilitator tim di setiap kampung. Nah, kondisinya juga beda-beda, ada yang terorganisir, ada juga yang serampangan, ada juga yang tidak terlalu aktif juga, beda-beda. Jadi aku bingung juga harus ngasih nilai. Tapi levelnya begitulah kira-kira.

L: Pertanyaannya aku ganti, kalau JRMK ini rapatnya berapa kali dalam seminggu menuju kontrak politik itu, atau tiap hari?

G: JRMK itu rutinnya satu minggu sekali koordinasi. Tapi ketika untuk kontrak politik itu tidak terhitung lagi. Itu sudah dalam seminggu bisa 3–4 kali, kadang siang, kadang malam. Udah tidak terhitung lagi.

L: Tapi kan mereka lumayan berjauh-jauhan ya kampungnya, berjarak?

G: Kebetulan dekat, ya seputaran sinilah, Penjaringan, penggerak-penggerak. Kecuali Andy, ya tapi masih terjangkau lah. Apalagi masih muda, belum ada buntutnya. Tapi sebentar, ini tidak hanya ngorganisir yang kampung ya, ini juga mengorganisir yang kelas tengahnya ini, di kontrak politik ini.

L: Yang mana ini?

G: Ya tim pakar itu.

L: Oh, oke. Siapa yang menggarap tim pakar ini?

G: Itu di aku. Kalau di JRMK-nya aku menggarap pengurus JRMK. Pengurus JRMK menggarap CL. CL menggarap tim. Tim menggarap warga. Jadi berlapis begitu. Walaupun, ya kadang-kadang diperlukan aku ikut pertemuan sampai level kampung. Kadang begitu. Tapi untuk yang luar ini, tim pakar ini di aku.

L: Dan mereka bertemu intens juga?

G: Ya, waktu itu. Walaupun tantangannya agak berbeda. Karena musti orang-orang yang sudah punya lembaga sendiri. Sudah punya lembaga sendiri, kesibukan sendiri, pekerjaan sendiri, kemudian mencoba dikumpulkan, memberi kontribusi. Latar belakang ya beda-beda. Tapi ya tidak baru-baru amat sih, jadi relasi pertemanan itu cukup membantu.

L: Di tim yang ada sekarang, mereka yang di kampung-kampung itu, di entitas itu, sistemnya sudah sampai mana, apakah itu sudah punya iuran sendiri atau beberapa punya atau tidak?

G: Kamu bedakan iuran dan saweran tidak?

L: Apa bedanya?

G: Kalau iuran itu rutin, kalau saweran itu insidental. Nah, kalau di JRMK sebenarnya sudah ada mekanisme iuran bagi kelompok-kelompok usaha bersama yang waktu itu dapat pinjaman modal. Itu ada mekanisme iuran mingguan. Satu bulan itu 3 ribu atau seribu aku lupa. Tapi khusus untuk kontrak politik ini tidak ada iuran. Jadi itu gampangannya begini, untuk kegiatanmu, kebutuhanmu, kamu butuhnya apa, siapin sendiri.

L: Ada tips khusus bagaimana menjaga suara itu dan meyakinkan orang dengan perjanjian itu, bahasa apa yang paling cepat orang menangkap?

G: Tanah. Legalisasi tanah itu yang paling cepat. Tapi bahasanya bukan menolak penggusuran. Kalau itu bisa kita bayangkan akan ada penolakan. Karena sifatnya, lah emang mau digusur? Dapat informasi dari mana? Kan jadi aneh. Jadi lebih positif bahasanya. Sudah tinggal di sini berapa tahun? Terus status tanahnya bagaimana? Ini ada peluang, kenapa kita tidak ngajuin? Anies sudah janji banyak ini, tapi soal tanah kita mana? Gak ada! Iya kan? Gak ada? Jadi tanah itu yang jadi menarik. Lalu kita ngomong, kontrak politik kali ini berbeda. Kalau tidak terlibat, tidak masuk dalam kontrak politik, artinya tidak bisa menuntut secara hukum. Ya bisa jadi semua ikut merasakan program ini, tapi jika tidak terjadi di tempatmu kamu tidak bisa menuntut. Yang membedakan di situ.

L: Itu yang masalah legalisasi tanah berarti ya, atau saling menyambung sebenarnya itu dengan tata ruang, bagaimana?

G: Nyambung, kita sudah pelajari di kampung-kampung sasaran itu. Kita cek di tata ruang.

L: Secara umum bagaimana ceritanya soal legalisasi dan tata ruang itu?

G: Jadi, si fasilitator tadi, sebelum turun kampung, kita sudah pelajari dulu. Di perda zonasi itu kan ada tuh, kampung ini-kampung ini… Kita cek, kita crop, kita print. Masalah itu bisa menjadi peluang kan buat pengorganisasian. Masuknya lewat situ. Nih buktinya. Kalau jelek artinya kita dorong untuk mengubah jadi baik sesuai permukiman. Tapi kalau baik kita dorong tempatmu. Peruntukanmu sudah cocok, artinya punya peluang untuk ngurus soal tanahnya. Nah kalau warganya tidak gerak, ya tidak akan mengubah apapun. Tidak akan terjadi perubahan. Nah, jadi mereka senjatanya itu juga. Jadi tidak hanya ngomong, tapi juga bawa zonasi dan bawa informasi soal status tanah itu.

L: Maksudnya, status tanah adalah bukan hak milik di kampung-kampung itu, dan di dalam kontrak politik itu yang mau dilegalkan menjadi hak milik?

G: Iya, salah satunya. Hak pakai.

L: Dan perbedaannya bagaimana? Hak pakai ke hak milik bagi orang kampung itu bagaimana?

G: Respon mereka? Ya awalnya menginginkan hak milik. Tapi waktu itu kita ajak realistis sajalah. Bahwa kalau langsung hak milik, pilihannya begini, yang kita cari ini sebenarnya apa sih? Apakah keamanan tinggal? Ataukah kita ingin berinvestasi? Nah, mayoritas menginginkan keamanan tinggal. Kalau keamanan tinggal, lalu milih mana? Lebih baik tuntutannya kita turunkan sedikit, tapi peluang keberhasilannya gede, atau kita ngotot yang paling tinggi tapi peluang menangnya kecil? Ya pada akhirnya memutuskan oke. Awalnya HGB yang disepakati, tapi dari pihak Anies, tim hukumnya lalu mengusulkan hak pakai. Ya itu akhirnya keputusannya begitu.

L: Kenapa hak pakai menjadi rasional bagi warga itu? Naiknya dari apa ke apa? Sehingga rasional?

G: Titik komprominya itu bahwa, hak pakai itu dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Jadi kita bertahap, yang penting kita kunci dulu dasarnya bahwa sudah beralih dulu nih, dari yang kosong gak ada hak menjadi hak. Ada statusnya, ada hak. Dari yang terlarang, ilegal mejadi terdaftar. Ahok itu kan sebenarnya bilang ilegal, liar, itu kan dari sisi tanah sebenarnya. Ya gak punya surat tanah, ilegal dan liar. Ya keinginan orang itu pasti tinggi, tapi bagaimana kita merealistiskan. Karena kalau ketinggian juga, itu kalau tidak dapat, bahaya juga itu buat gerakan. Orang bisa putus asa itu. Dan itu yang menjadi titik kompromi. Akhirnya timnya Anies setuju. Aku merasa di titik itu akhirnya kita ketemu dengan timnya Anies. Semangatnya ini bukan bagi-bagi tanah. Rezimnya Anies semangatnya, jadi kita sampaikan bahwa kita tidak bermaksud pemerintahan ke depan itu, tidak istilahnya itu bagi-bagi tanah. Tetapi tanah dimaknai sebagai asas kemanfaatan. Selama ini toh warga sudah memanfaatkan, tetapi tidak ada jaminan keamanan.

L: karena tata ruang bukan pemukiman?

G: Karena tata ruang bukan pemukiman. Yang kedua juga tidak ada sepucuk surat pun yang jadi pegangan. Padahal sudah jadi penggarap. Jadi, tagline kita tanah untuk penggarap. Itu karena dasarnya warga menjadi penggarap. Lalu yang kedua, tanah dimaknai sebagai kemanfaatan, bukan menumpuk kapital itu loh. Sehingga yang kita usulkan hak pakai, karena apa? Rumah sebagai tempat tinggal juga sebagai ruang usaha, nah di sana ketemunya. Lalu dengan memberikan hak pakai kepada warga, pemerintah sebenarnya sedang berusaha mengembangkan kehidupan warganya, karena lalu bisa dimanfaatkan sebagai usaha. Dan selanjutnya juga koperasi, jadi hak pakai itupun diatasnamakan koperasi, bukan atas nama individu-individu.

L: Jadi hak pakai itu diatasnamakan koperasi?

G: Itu juga yang memperkuat mereka di tim Anies bahwa ini memang niatnya untuk pengembangan kesejahteraan, bukan untuk bagi tanah lalu jual-beli. Karena itu juga sempat disinggung juga. Nanti khawatirnya bagaimana mengontrol orang memperjual-belikan tanah setelah mereka dapat legalitas?

L: Oke, legalisasi, aku bisa lihat kaitannya dengan tata ruang.

G: Itu kayak jadi prasarat gitu loh. Itu bisa dilakukan kalau tata ruangnya sudah sesuai. Maka tata ruang kita tempatkan di posisi pertama. Nah penataan nomor tiga bisa dilakukan kalau legalisasinya jelas, tanahnya clear and clean. Itu bahasa mereka. Jadi itu saling terkait gitu lo antara satu-dua-tiga. Dan itu menjadi satu paket. Tidak hanya bisa berhenti di poin kedua, poin ketiga itu juga harus.

L: Poin program hunian terjangkau untuk rakyat miskin ini munculnya dari mana?

G: Itu sebenarnya isinya rusunawa ke rusunami.

L: Kalau yang perizinan usaha untuk paguyuban PKL itu?

G: PKL sebenarnya sudah ada ruang usaha. Mereka kan masih dikejar-kejar itu pengasong. Nah, kunci utama di kaki lima ini izin usaha minimal sepuluh tahun supaya ada jaminan gitu lo berapa lama dia harus berusaha.

L: Jadi sepuluh tahun minimal?

G: Iya. Jadi sepuluh tahun minimal. Dan ada kontrak jelas gitu loh. Karena sekarang tidak punya loh mereka sekarang. Bahkan mereka direlokasi, dan sudah bayar duit.

L: Bisa digusur sewaktu-waktu ya?

G: Iya, bisa digusur sewaktu-waktu, padahal bangunan milik mereka karena mereka bayar.

L: Kalau yang Sebaja ini, bantuan alih profesi untuk tukang becak?

G: Ya, itu kompromi juga. Karena sebenarnya tukang becak, teman-teman itu maunya itu perda-nya yang diubah. Dan itu berat karena harus melibatkan DPRD. Dan itu dikhawatirkan, kalau itu dimasukkan ke dalam kontrak politik, artinya itu di luar kewenangan gubernur, dan mengganggu asas legalitasnya perjanjian itu. Karena di luar kewenangan kan gitu. Lalu yang kita masukkan alih profesi. Tapi alih profesi ini kita maknai tidak harus, karena kan itu kewajibannya si gubernur untuk membantu alih profesi, bukan kewajibannya tukang becak harus alih profesi. Jadi strateginya selama alih profesi itu belum selesai, ya jangan digusur. Dengan kata lain sebenarnya tidak ada garukan becak. Lalu ada santunan di situ. Santunan untuk tukang becak. Karena itu kita tangkap dari janjinya Anies terkait Kartu Jakarta Lansia. Nah, teman-teman tukang becak ini tidak pernah dapat program-program kayak gitu, dan banyak sekali lansia tukang becak masih narik. Nah, itu gimana juga supaya bisa mengakses program itu.

L: Oke. Kemudian aku pingin menghubungkan isi kontrak itu dengan isu yang lebih besar di Jakarta seperti banjir. Salah satu alasan gusuran itu kan normalisasi ya, kayak Bukit Duri. Hubungannya bagaimana? Kalau hunian-hunian itu dipertahankan, dengan program-progam penanganan bajir seperti yang lalu, itu kan kontradiktif. Ide macam apa yang ditawarkan sehingga ide itu bisa diterima dalam hal isu besar di Jakarta seperti banjir?

G: Ide yang mau kita tawarkan itu sebenarnya, solusi itu tidak tunggal. Kalau sebelumnya itu solusi itu tunggal “rusunawa”. Yang kita tawarkan itu ide tidak tunggal. Solusi tidak tunggal. Makanya itu poin ke-tiga soal penataan itu. Itu yang masuknya nanti di situ. Terkait banjir, terkait sampah, terkait kegiatan sosial, terkait ekonomi, semua masuk di situ. Jadi penataan itu tidak hanya fisik, tapi bisa ekonomi, kegiatan sosial. Nah umpama terkait dengan banjir, nyambungnya di situ. Kemudian dikembangkan. Di soal penataan, itu harus berperspektif yang sensitif terhadap air. Sehingga dia punya kontribusi dalam mengurangi banjir. Jadi model, karena dari 26 kampung ini kategorinya macam-macam, ada yang di pinggir kali, ada yang di waduk, ada yang di rawa, ada yang di pinggir laut, ada yang di daratan. Nah ini kalau berhasil dilakukan penataan dengan mempertimbangkan solusi lokal, ini bisa menjadi model untuk kampung-kampung lain di Jakarta.

L: Contoh ide solusi lokal yang sudah jalan atau yang tergambar bagaimana?

G: Ya di sini contohnya, walaupun belum selesai ya. Contoh, warga pinggir kali itu selalu diidentikkan selalu berkontribusi dalam sampah penyebab banjir. Dari sini sudah kita buktikan bahwa, warga diberi kesempatan, warga bergerak, itu bisa memberikan perubahan.

Sekjen: Membuktikkan bahwa justru warga itu bisa merawat sungai.

L: Merawat sungai itu artinya tidak membuang sampah di sungai, terus?

Sekjen: Membersihkan sungai.

L: Terus apa lagi Pak Sekjen?

Sekjen: Dari pengolahan sampah saja ya, kalau khususnya yang di komunitas ya, itu 60–80% pengurangan sampahnya.

L: Satu kampung?

G: Individu. Karena yang tadinya hanya mengelola sampah dalam arti sampah yang tadinya membuang di kali, buangnya di tempat sampah, diangkut ke Bantar Gebang. Itu masih bermasalah, ini diubah lagi, mengurangi bukan memindahkan. Sebenarnya strategi 3 pintu itulah yang sangat menarik sebagai satu contoh tidak membuang sampah lagi di lingkungan. Strategi 3 pintu adalah strategi yang dikembangkan LabTanya [konsultan arsitektur dengan program “Kota Tanpa Sampah”] untuk mengurangi sampah. Pintu 1 mengurangi sampah masuk ke rumah atau kampung, pintu 2 mengurangi timbulnya sampah, pintu 3 mengolah hasil sampah yang masih ditimbulkan. Kalau itu bisa dilakukan di lingkungan, itu bisa mengajak yang di luar lingkungan itu dalam mengurangi sampah. Contoh kita belanja di pasar tidak bawa plastik, dari rumah kita bawa jinjingan itu.

L: Jadi pengurangan sampah secara individu itu bisa sampai 60%-80%?

G: Jauh loh 80% itu!

L: Iya jauh sekali.

G: Ide penataan di kontrak politik itu, memang pengembangan dari tiga kampung sini inspirasinya. Dalam arti scale up dari tiga ini meluas ke 26. Kalau 26 ini berhasil, diperluas sampai tingkat kota. Ide dasarnya di situ. Jadi tidak berhenti di sini. Itu tadi ya, penataan tidak hanya fisik tetapi juga non fisik. Lalu penataan ini juga masuk dari berbagai prespektif. Banjir, agraria, lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Itu ya contohnya. Jadi kebanyakan wilayah banjir. Nah, tetapi solusinya kemudian harus berdasar lokalitas. Jadi kemudian dikembangkan. Tidak tunggal gitu loh. Sesama pinggir kali mungkin berbeda. Jadi hasilnya kemudian dapat pola. Termasuk kemudian agragianya ya. Apakah di sini cocok konsolidasi lahan, apakah disini cocok relokasi, apakah geser, potong, itu lokalitas banget.

L: Sejauh ini apa yang dilakukan untuk menjaga kesolidan JRMK yang 31 itu?

G: Pakai pendataan. Jadi sebenarnya judulnya itu pendetailan usulan. Karena yang waktu kontrak itu kan usulan umum, seperti perubahan tata ruang kan sudah cukup jelas ya, legalisasi. Tapi kan untuk legalisasi itu siapa? Buktinya apa? Bentuk tanahnya, sejarah tanahnya kayak apa? Terus nama-nama orangnya ini siapa-siapa? Berapa KK yang akan mendapatkan? Berapa luasnya? Lalu penataannya akan model seperti apa? Usulannya kayak apa? Itu yang kemudian dipakai untuk menggerakkan warga. Untuk membuat usulan kan harus berbasis data, tidak sekedar keinginan semata. Termasuk tidak hanya program penataan. Program-program lain seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas lingkungan, itu termasuk. Makanya harus berbasis data. Semua kumpulkan data dulu. Sebar formulir. Nah, di situ ada latihan bagaimana mengisi formulir. Bagaimana menginputnya. Nah, bagaimana itu jalan di lapangan kita serahkan ke masing-masing kampung. Ada yang cukup terorganisir, membagi peran. Termasuk dana ya. Untuk foto copy itu dari kampung sendiri. Orang yang akan mengisi formulir itu dia yang bayar. Ya pasti ada juga yang mempertanyakan, lha ini kalau program dari pemerintah, pemberdayaan, harusnya mereka yang bayar, kenapa kita foto copy sendiri? Anies belum dilantik kok pendataan? Ada juga yang begitu.

L: Seberapa siap data itu sekarang?

G: Saya nanti kasih lihat formulirnya. Nah formulir itu selain untuk kebutuhan itu, ya tapi juga kita kaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan indikator kemiskinan. Supaya orang-orang ini bisa masuk pada program pengentasan kemiskinan. Supaya ada cantolan gitu loh. Nah terus bagi kertas. Terus mereka foto copy sendiri. Habis itu inputnya pakai google form. Jadi di setiap kampung dibentuk tim. Anak-anak muda begitu. Lalu setelah warga kumpulin, mereka input pakai hape. Jadi terpantau itu data yang masuk sudah seberapa sih, nanti saya bisa tunjukin. Terus ada diskusi selain formulir. Lalu ada diskusi soal tanahnya dengan tim lawyer. Mbak Vera di Aquarium, Andika sama Rizki di sini, di tempat kampung sini ngobrolin soal sejarah tanahnya, dokumen apa yang dipunyai, terus persiapan apa lagi yang harus dilakukan. Contoh diskusi di sini ada diskusi dua jenis ya. Diskusi jenis kegiatan sama diskusi sejarah soal tanahnya. Ide-ide kegiatan itu, karena waktu itu si timnya Anies kan sedang menyusun APBDP, mau gak mau kita harus masukin lebih dulu ide-ide keinginan secara fisik ya. Tetapi secara komplit belum, hanya mengisi kegiatan. Kayak perbaikan jalan, perbaikan rumah, pembuatan taman, begitulah. Nah dari usulan sini dibahasakan sama tim pakar. Di tim pakar lalu masukin form, lalu masukin ke tim Anies.

L: Dari diskusi-diskusi pertanahan ini, ada terobosan hukum yang menarik gak, ada ide yang keluar muncul gak, yang dirasa, baru, menarik, penting?

G: Yang baru adalah pemberian informasi konkret dan detail tentang fokus isu kepada warga, sehingga langkah tersebut menjadi pendorong warga bergerak, mempunyai harapan, mengorganisasikan diri, dan menjadi kritis. Well-informed. Sebagai contoh, warga menjadi tahu soal RTRW dan RDTR, bisa bicara rinci dan akurat soal tersebut, dapat memberikan usulan sesuai kebutuhan mereka. Kita pelajari tata aturannya itu. Justru secara aturan itu warga sudah terjamin bisa dapat tanah, tetapi selama ini terjadi pembohongan gitu loh, atau dikaburkan. Contoh begini, pertama soal definisi tanah negara, lalu yang kedua, apakah tanah negara bisa menjadi milik dari warga? Lalu, bagaimana syarat-syaratnya? Itu kan ternyata sebenarnya secara aturan tidak sulit-sulit amat. Tanah negara sudah terjadi pembiasan, bahwa tanah negara itu artinya kan tanah pemerintah. Itu kan keliru. Secara definisi di dalam aturan UUPA, di pendaftaran tanah, di PP HGB, HGU dan hak pakai, itu ternyata gak benar sama sekali. Itu istilahnya tanah bebas. Lalu yang kedua, tanah negara bisa enggak menjadi tanah milik? Itu juga sudah sangat gamblang, bisa. Bahkan tanah pribadi, tanah HPL bisa ditempelin dengan hak pakai, bisa ditempeli dengan HGB. Syaratnya juga sebenarnya cukup mudah. Jadi kalau pemerintah bilang tidak bisa, itu bohong karena di aturan jelas. Mau dibikin sertifikat pun sebenarnya bisa. Buktinya apa, ya kan dituliskan juga soal ada girik, ada gini-gini, tapi juga data yuridis yang lain. Alas haknya itu, sebenarnya kalau tidak ada, namanya juga tanah negara, artinya tidak ada alas haknya kan, artinya ada penguasaan fisik. Dan sudah ditulis ada pasalnya, prioritas bagi yang menguasai. Jadi kalau tanah negara mau ditempelin hak, yang diprioritaskan adalah orang yang menguasai tanah itu.

L: Itu yang disebut penggarap?

G: Itu yang disebut penggarap! Lalu kemudian data yuridis yang dibutuhkan ada akte pelepasan tanah. Pelepasan kita runut lagi, ke siapa nih. Pelepasan kalau tanah negara ke hak pakai itu setingkat menteri atau yang ditunjuk. Tak lacak lagi siapa pejabat yang ditunjuk, ternyata wali kota. Wali kota cuma cukup bikin SK atau penentuan lokasi pendaftaran tanah. Gitu saja sudah jadi. Artinya itu sebenarnya tinggal political will-nya pemerintah saja gitu. Bukan soal gak bisa itu menurutku. Bukan hal baru, karena sudah diatur, tetapi tidak banyak diketahui warga.

L: Kalau ada kelompok warga miskin kota di luar jaringan JRMK yang 31 entitas itu nanti mau gabung bagaimana?

G: Secara itu gak masalah, jujur kita mendapat kawan baru, justru itu gak papa. Justru memang dimaksudkan sebagai sarana memperluas basis.

L: Tapi ada mekanisme yang disiapkan, apakah pernah dibicarakan di tingkat 31 entitas itu, kalau ada kelompok lain yang gabung?

G: Gabung ya di BLUD itu. Badan layanan umum daerah itu. Maksudnya tentu kalau kontrak itu hanya berhenti pada 26 kampung 31 wilayah ini, sangat eksklusif banget jadinya, oleh karena itu tidak ada perubahan sisitem akhirnya. Nah untuk mengantisipasi itu akhirnya kita usulkan untuk bikin badan khusus soal kampung. Karena kayak dinas perumahan dan PU itu urusannya masih campur itu. Antara bisnis perumahan dengan pelayanan perumahan, itu masih campur. Jadi mereka sendiri gak bisa bedakan mana yang bisnis, mana yang pelayanan. Jadi penting sekali ada badan pelayan yang khusus ngurusi kampung. Itu yang salah satu alternatif jenis badan memungkinkan, yaitu BLUD itu kita usulkan dulu. Tapi untuk badan pelayanan. Mirip sekali dengan CODI. Jadi kita ambil contoh CODI Thailand. Itu yang akan mengurus khusus soal kampung. Nah sebagai langkah awal untuk pembentukan ini, 26 kampung ini, ya maksudnya anggaplah sebagai proyek pertama. Dari situ supaya ketahuan nih, jenis-jenis aktivitasnya seperti apa, tenaga-tenaga yang dibutuhkan, anggaran yanag dibutuhkan, produk hukum yang dibutuhkan, supaya nanti ketika sudah ketahuan ini, baru dibentuk lembaganya. Nah lembaga ini kemudian tidak ada lagi kontrak politik. Jadi seluruh kampung yang punya niat untuk penataan, legalisasi, datanglah ke BLUD itu. Tanpa harus menjadi bagian dari JRMK. Tanpa harus didampingi oleh UPC atau Rujak. Tanpa harus didampingi UI gitu. Jadi membuka akses untuk seluruh kampung.

L: Ini pertanyaan soal organisasi. Di banyak organisasi rakyat, ada banyak kasus elit-elitnya itu kemudian membusuk, dalam artian misalnya masalah tanah, pengurus-pengurusnya ngambil fee. Pernah dibicarakan tidak di JRMK, kalau pernah, misalnya mekanisme apa yang disiapkan untuk mengantisipasinya?

Sekjen: Kalau di kita kan ke depannya akan dibuat anggaran rumah tangga koperasi itu. Jadi koperasi itu sudah ada aturannya. Untuk mengantisipasi khususnya para pengurus-pengurusnya itu. Dan masyarakat kan juga bisa mengontrol, supaya menjaga orang itu jangan menyeleweng dari kesepakatan bersama. Kita harus transparan. Segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Keputusan itu berdasarkan musyawarah. Itu penting. Jadi pengurus itu tidak sewenang-wenang, karena berdasarkan musyawarah itu.

L: Jadi pengambilan keputusan itu berdasarkan musyawarah?

Sekjen: Iya, berdasarkan musyawarah.

G: Ini penting, yang dibilang Sekjen itu. Kuncinya informasi. Bahwa contoh mengurus sertifikat ini prosedurnya bagaimana, biayanya berapa? Nah, itu harus diinformasikan sejak awal dan tertulis. Tidak boleh hanya dengan lisan. Kalau lisan bisa berkembang, bisa berkurang, kebanyakan berkembang. Jadi harus tertulis. Terus yang kedua idealnya ya tim bukan dikerjakan sendiri atau segelintir orang. Itu musti dipastikan sejak awal itu. Mesti ada tim kerja yang melibatkan banyak orang dan banyak segmen, laki-laki, perempuan, muda, tua. Itu yang menjadi kontrol. Jadi peran dan informasi, itu yang menurutku basisnya untuk mengantisispasi. Kalau semakin banyak yang berperan semakin banyak yang tahu. Kalau semakin banyak yang tahu, artinya tidak bisa dibohongi. Kalau semakin banyak orang tahu, ya semakin takutlah orang itu berbuat curang begitu.

L: Kalau perempuan, sejauh ini bagaimana keterlibatannya di dalam JRMK?

G: Kamu tahu sendiri sebagian besar penggerak JRMK perempuan.

L: Itu kok bisa begitu?

Sekjen: Karena perempuan itu kebanyakan ada yang di rumah, itu yang pertama. Kedua, karena mereka banyak waktu. Juga karena mereka yang lebih responsif ketika diajak bicara tentang masalah kampungnya. Karena mereka yang sehari-hari menangani dan mengatasi permasalahan di rumah tangganya dan yang terkait kampung.

L: Oh jadi semakin aktif di organisasi?

Sekjen: Ya itu. Kalau suaminya kerja kan. Yang cari duit. Mereka setelah masak kan bisa nyambi berorganisasi. Karena organisasi itu kan di wilayah masing-masing.

G: Tapi ada hal lain juga yang aku lihat ya. Perempuan juga lebih aktif dibanding laki-laki di JRMK, itu yang aku lihat. Tingkat solidaritasnya itu cukup tinggi perempuan dibanding laki-laki. Sehingga lebih ringan tangan dibanding laki-laki. Membantu untuk saling berbagi dengan yang lain, itu yang aku lihat ya, lebih mudah di perempuan. Sehingga ketika kita minta atau kita dorong ke tempat lain, ketemu orang lain itu lebih cepat dibanding laki-laki. Laki-laki kadang itung-itungannya banyak. Gak semua ya, tapi lalu itung-itungannya njelimet. Ada ongkos lah. Ada makanlah. Walaupun sudah tau, semua itu gak ada. Itu kadang-kadang yang tidak jalan. Selain juga musti punya tanggung jawab pertama tadi, cari nafkah ya. Tapi banyak juga di kita perempuan yang cari nafkah.

L: Mereka mainkan fungsinya di organisasi juga ya?

G: Iya, ya itu gak ada angkanya gitu ya.

L: Tapi kira-kira dari jaringan yang bergerak aktif berapa persen laki-laki, perempuan?

G: Sebagai penggerak ya? Di atas 60% itu perempuan. Bahkan yang di tingkat fasilitator itu cuma dua, Andi dan Pak Warno. Kan Andi baru ya, dulu cuma satu laki-lakinya.

L: Bisa muncul begitu itu bagaimana caranya?

G: Ya itu tidak terkatakan ya. Itu lalu disadari dari proses, bahwa ternyata perempuan juga bisa berorganisasi, perempuan bisa mengambil peran, perempuan tidak hanya di rumah, itu dari proses yang berjalan gitu, tidak dari dalam arti pendidikan kelas gitu.

L: Pertanyaan terakhir; dari semua ini, menuju pilkada serempak 2018 di banyak tempat, apa rekomendasinya untuk, atau refleksi apa yang bisa disampaikan pada gerakan rakyat di tempat lain?

Sekjen: Ya untuk saran khususnya yang ke depan pemilihan secara langsung, satu, masyarakat itu jangan terkena isu adanya agama maupun ras, karena itu akan memecah belah. Tapi kalau mau melihat calon itu dari program. Itu yang penting. Karena program itu yang akan mengantarkan suksesnya wilayah itu.

G: Aku nyambung si Sekjen ya. Jadi titik beratnya ada di program, bukan soal primordial nya ya. Tetapi program ini juga musti digarisbawahi, program yang berasal dari warga. Jadi bukan program yang dari calon gubernur atau calon kepala daerah datang bawa program. Sekarang peluangnya gede, karena memilih secara langsung dan suara dibutuhkan. Musti pemilik suaralah yang mengusulkan program, itu satu. Yang kedua, program itu tidak akan bunyi kalau diusulkan masing-masing, maka musti harus diusulkan secara bersama-sama. Maka itu akan menjadikan posisi tawarnya kuat di hadapan para calon.

Sekjen: Program itu dari bawah, dilanjut, diikat dengan kontrak politik.

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)