Kampung Kota Bukan Slum

Literasi.co
Literasi
Published in
4 min readOct 5, 2016

Kampung kota itu bukan slum. Tetapi hari-hari ini justru kita sedang menciptakan slum. Kampung kota tercipta di luar perencanaan, sedangkan slum itu merupakan dampak dari perencanaan. Akarnya berbeda.

Dilihat dari sudut pandang manapun, kampung kota bukan slum. Sejarah kota kita tidak mengenal slum. Sejarah kota kita menunjukkan bahwa kampung kota itu wajah kota itu sendiri. Sebuah kota yang terbentuk karena manusia yang survive dan bergerak liat dalam bayang-bayang eksploitasi negara (post)kolonial. Struktur kota kita dibangun dengan logika kolonial sebagai area pusat (pemerintahan, administrasi, jasa, peristirahatan, dll.) upaya pengerukan sumber daya dan kapital dari negeri jajahan. Namun begitu, kampung kota justru tumbuh memenuhi dan menyeruak bak cendawan di musim hujan, menghiasi wajah rasis-kelas yang menjadi nafas kota kolonial. Dengan kehadiran kampung kota, justru sesungguhnya wajah rasis-kelas kota dijembatani: disparitas fisik-sosial kota menjadi blur, relasi-relasi kelas dan ras antarpenduduk kota diterabas, daya hidup informalitas kota dibangkitkan, gradasi kehidupan urban lebih cair tanpa membentuk enclave-enclave kota yang kaku, dan lain sebagainya. Lihatlah, dari atas maupun dari bawah, kehidupan urban di sebuah kota kita yang beraneka ragam pola dan atmosfirnya, membentuk peta geografi centang-perenang, tetapi sangat hidup. Tidak ada duanya, tidak seragam, dan unik di masing-masing kota.

“City without slums 2020” yang digelontorkan — salah satunya — di Indonesia merupakan jargon Bank Dunia, tidak lain dan tidak bukan, sebagai kendaraan penguasaan lahan-lahan kota global tanpa slum. Kota-kota global (dengan standar fasilitas, simbol, dan gaya global tentunya) merupakan sebuah arena pengembangbiakan kapital global supaya terus hidup dan berlipat-lipat.

Dalam konstelasi ini, kampung kota dilihat sebagai slum (padahal bukan). Akibatnya kampung kota akan (dan sudah) disapu bersih dari wilayah kota (karena dianggap slum), dengan pembiayaan hutang dari Bank Dunia yang ditanggung rakyat. Dan ketika secara kewilayahan kampung kota posisinya banyak di pinggiran sungai yang membelah kota, maka jargon “normalisasi sungai” merupakan anak kandung dari nalar penguasaan lahan di (tengah) kota. “City without slums” adalah agenda global penguasaan lahan kota dengan jargon yang kelihatan humanis dan disukai kelas menengah serta elit kota.

Pararel dengan penyapuan kampung kota melalui jargon normalisasi sungai, kota global dengan slogan “city without slums” juga mengembangkan sebuah ruang steril yang sayangnya belum bisa dibangun di luar angkasa. Ruang steril tersebut dibangun di tengah laut dengan cara: reklamasi. Laut diurug, pulau ditenggelamkan, laut dikosongkan dari sumber produksi rakyat banyak. Reklamasi merupakan ide “brilian” kaum elit psikopat dalam menciptakan kota global yang steril.

[caption id=”attachment_4852" align=”aligncenter” width=”940"]

Gusuran Bukit Duri, 2016. Sumber foto: Media sosial group Kampung-kota.[/caption]

Beberapa hari ini kita telah melihat, Kampung Bukit Duri di pinggiran Sungai Ciliwung diratakan dengan tanah. Sebelumnya ada Kampung Pulo yang lenyap, dan masih ada ratusan kampung kota lagi yang akan menyusul di buldozer atau dengan cara-cara lain. “City without slums” sebagai sarana penguasaan lahan dalam mewujudkan kota global, di Kota Jakarta didekati dengan wajah keras: Ahok, buldozer, satpol PP, tentara dan beton talud pinggir sungai. Di Kota Bandung dimanifestasikan dengan wajah santun dan penuh moral keagamaan. Di Yogyakarta dengan jubah monarki, keistimewaan palsu dan pariwisata. Di Surabaya dengan sentuhan keibuan, kebersihan, dan kerapian sebuah kota industri. Semua kota kita saat ini bermimpi menuju standarisasi kota global (tanpa slum). Hotel-hotel didirikan, tempat-tempat wisata diciptakan, bandara-bandara internasional diperbarui, mobil-mobil disubsidi, taman-taman, apartemen, dan lain sebagainya.

Di dalam standarisasi kota global, atmosfir (tengah) kota akan menjadi nyaman, aman dan steril. Tetapi semua itu harus berbayar, alias tidak ada yang gratis, apalagi pakai tawar-menawar kayak di pasar. Kecil kemungkinan jalanan kota global membuat kita tersesat dan harus nongkrong di warung untuk sekedar bertanya apalagi kemudian harus dipalak preman mabuk di jalan. Dalam atmosfir kota global, semua sistem berjalan tanpa kita perlu bertanya-tanya jika tersesat. Kita bisa panggil heli(copter), taksi, ojek, atau sepeda, hanya dengan koneksi internet ataupun sistem petunjuk yang lain, yang mudah, praktis, dan aturan main fiks. Ya, atmosfir kota global itu seolah-olah adil dan humanis.

Tetapi, tunggu dulu. Begitu kita keluar dari (tengah ataupun simbol) atmosfir kota global yang nyaman, aman, dan steril, kita akan segera disergap oleh sebuah enclave-enclave kota yang bernama: slum. Di situ segala macam atmosfir kenyamanan, keamanan, dan keindahan, akan lenyap. Slum adalah mimpi buruk kaum elit dan kelas menengah kota, tetapi justru hari-hari ini kita mulai menciptakannya dengan menghancurkan wajah kota kita sendiri: kampung kota.

Penghancuran kampung kota secara sistemik disediakan solusi dengan relokasi melalui rumah susun. Ini sebuah paket humanis. Opsi lain paling kejam dalam kacamata ini, yaitu dihancurkan tanpa perlu solusi karena dianggap tidak legal, melanggar aturan, apalagi ditambah telah melanggar aturan norma, seperti kampung-kampung yang dicap sebagai kampung prostitusi.

Rumah susun yang dianggap sebagai solusi penghilangan kampung kota itu ibarat sebuah oven. Ratusan keluarga dijejalkan di dalamnya, dan dipanggang, tetapi dikasih AC, kulkas, TV, listrik, air PAM, dan barang-barang konsumsi lainnya. Dasarnya beda: manusia yang hidup di kampung kota itu adalah manusia yang survive, tangguh, dan penuh siasat ruang. Tetapi manusia yang hidup di rumah susun adalah manusia konsumen, lemah karena dibelenggu aturan konsumen, serta tidak punya ruang gerak bersiasat dalam hidup yang keras karena batas-batas kepemilikan sangat jelas. Realitas ke depan akan menunjukkan, bahwa manusia kampung kota tidak akan tahan menjadi manusia rumah susun. Mereka akan lari di suatu hari, menyelip di segala penjuru kota.

Mimpi buruk kelas menengah dan elit kota justru akan menjadi nyata. “City without slums” justru akan menjadi “city with big big biger slums”. Kita tunggu 2020 nanti…

Memang, saya tidak sedang berbicara soal pemimpin kota. Lebih karena masyarakat yang sakit pasti membutuhkan sosok dewa penolong yang heroik. Jika sekarang kita merindukan sosok pimpinan yang populis, keras, dan banyak kerja, itu wajar saja. Lain hari kita akan merindukan sosok sengkuni semacam Donald Trump atau bahkan sosok keras fasis semacam Hittler. Eitsss, tapi bukan disitu masalahnya. Siapapun pemimpin kota atau pemimpin negara ini hanyalah bagian paling kecil dari sistem yang sakit akut. Selama sistem yang sakit ini tidak direvolusi dan dihancurkan biangnya, sebuah masyarakat yang sakit hanya akan merindukan sosok demi sosok. Negara ini — dengan birokrasi dan aparatusnya — mirip sebuah kartel mafia yang sudah membusuk tetapi menggurita, menjadi tukang pukul modal global yang haus darah.

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)