Ketika Wiji Thukul Baca Puisi di Malam Ramadan
Oleh Hairus Salim*
Pada Ramadan seperti ini saya sering terkenang ketika mahasiswa dulu ikut mengelola secara partikelir kegiatan di Masjid IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Seperti masjid-masjid kampus lain, kami juga ikut menggerakkan kegiatan Ramadan, tapi dengan program-program yang agak lain dan topiknya yang agak berbeda.
Salah satu program kami adalah menggelar “tadarus” puisi. Tadarus adalah kata Arab untuk ‘pembacaan’. Di lingkungan umat Islam, kata itu diambil untuk menggambarkan kegiatan “membaca” Quran. Jadi, tadarus Quran sama dengan membaca Quran. Pada malam Ramadan, tadarus Quran, baik di rumah ataupun di masjid, sendirian atau bersama-sama, merupakan kegiatan lazim dan rutin.
Kami meminjam kata itu untuk menyebut kegiatan saling membaca dan memperdengarkan puisi. Waktunya sama, pada beberapa malam Ramadan. Tentu saja tanpa maksud menandingi kegiatan tadarus Quran yang merupakan ibadah tambahan dan sudah membudaya di malam Ramadan. Intermeso bagi suatu kecenderungan yang kuat, deras, kencang, rutin, dan terus berulang barangkali perlu juga. Itulah tadarus puisi.
Biasanya acara ini kami gelar tiga malam berturut-turut seusai tarawih pada pertengahan Ramadan. Kami yang kebanyakan bukan penyair membaca puisi buatan sendiri maupun puisi orang lain. Untuk memeriahkan pembacaan, sesekali kami mengundang penyair beneran.
Salah seorang yang kami ingin dan sepakati untuk diundang waktu itu adalah Wiji Thukul.
Saya lupa alasannya, mungkin situasi politik yang berkabut dan murung membuatnya benderang seperti rembulan dan kami melihat pendarnya. Demikianlah, saya kemudian didapuk ke Solo untuk menghubunginya.
Saat itu Mas Thukul tampak agak kaget. “Iki tenan soko mesjid [ini benar dari masjid]?” tanyanya sambil membaca surat undangan yang saya serahkan.
“Iya, Mas,” jawabku tegas.
“Wah, lagi pisan iki aku diundang mesjid [wah, baru sekali ini aku diundang masjid],” jawabnya sambil tertawa dengan keheranan yang belum berkurang. “Ning aku ora traweh e, piye [tapi aku enggak taraweh, bagaimana]?” sambungnya agak ragu.
“Lha, undangane maca puisi, ora undangan traweh, kok, Mas [lha, undangannya membaca puisi, bukan tarawih, kok, Mas],” sela teman yang mengantarku ke rumahnya.
“Yo wis, mengko aku teko dhewe [ya sudah, nanti aku datang sendiri],” sambungnya. Demikianlah kira-kira perbincangan kami di rumah sangat sederhananya yang berlampu temaram, dalam perkampungan agak kumuh.
Pada malam yang sudah ditentukan, Thukul benar-benar datang: bercelana jin biru belel, baju panel lengan panjang kotak-kotak, topi pet, dan sebuah gitar. Ia muncul di depan masjid ketika salat tarawih hampir selesai. Kami menyambutnya dengan senang.
“Wah, tenanan soko mesjid, yo [wah, benar-benar dari masjid, ya],” komentarnya waktu itu seperti masih tidak percaya.
“Aku nggowo gitar ben sisan ngamen ning bis, ora mbayar malah entuk duit [aku bawa gitar biar sekalian mengamen, tidak bayar malah dapat uang],” katanya.
Malam itu kami menikmati pembacaan puisi dari Wiji Thukul, penyair yang dekat dan menjadi bagian dari rakyat. Frase puisinya “Maka hanya ada satu kata, lawan!” sudah terkenal saat itu, menjadi slogan gerakan mahasiswa dan aktivis.
Ia membacakan puisi-puisinya yang terhimpun dalam antologi Mencari Tanah Lapang (?) yang terbit dalam bentuk gandaan fotokopi. Puisinya sederhana, lugas, tapi bertenaga sekali. Suaranya yang pelo membuat puisi-puisi protesnya semakin terasa benar-benar datang dari rahim rakyat yang terpinggirkan dan dikalahkan.
Tak seorang pengamat sastra pun memasukkan Wiji Thukul sebagai penyair religius. Puisi religius, atau lebih khusus lagi puisi sufistik, pada saat itu masih menjadi kecenderungan utama dalam dunia sastra Indonesia. Meski demikian, Thukul sama sekali tidak menjadi bagian dari kelompok tersebut. Memang dalam puisi-puisinya ia hampir tak pernah bicara tentang keterasingan spiritual, ibadah, tuhan, atau sejenisnya. Tapi, di tengah kesumpekan dan rezimentasi pemerintahan Orde Baru, (setidaknya) saya merasakan puisi-puisi Thukul sangat religius. Terutama malam itu. Religiusitasnya terletak pada gugatannya yang terbuka dan lugas pada ketidakbenaran, persekongkolan jahat kekuasaan, penindasan, represi, dan pada “diamnya” agama atas semua itu. Bukankah fitrah kelahiran agama adalah untuk menggugat kezaliman, kesewenang-wenangan, dan penindasan?
Pembacaan puisinya di teras masjid malam itu seperti menegaskan diktum lama: pada mulanya semua karya sastra itu religius.
Entah mengapa Ramadan kali ini mengenangkan saya kembali pada Wiji Thukul: penyair, tukang becak, pengamen, aktivis rakyat yang menguap tak jelas rimbanya ketika kisruh menjelang jatuhnya rezim Orde Baru. Barangkali karena kini, seperti kesaksian salah satu puisinya, terlalu banyak percakapan-percakapan dan omong besar di parlemen, televisi, media, dan tak terkecuali juga mimbar keagamaan.
mari pulang saja
sebelum tipu menipu tambah seru
malam makin beku
aku tidak betah
aku ingin masuk
aku tak terhibur lagi
oleh percakapan-percakapan
yang menyelamatkan kita bukan omong besar
bukan mimpi bukan ketakutan
Wiji Thukul, “Untuk D” (1987)
Di mana pun ia sekarang, hidup atau pun sudah wafat, doaku semoga ia selalu dalam kedamaian![]
*Direktur Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS)