Kisah Pemakan Anjing

Literasi.co
Literasi
Published in
10 min readJan 12, 2018
lustrasi Oleh Moch Dzikri Hendika

Belasan tahun dendam dan kebencian meruyak dalam benak, dalam kesadaran, dalam perasaanku. Lalu, seperti terjadi begitu saja, dendam dan kebencian itu menemu muara untuk terlampiaskan saat suatu malam aku membunuh seekor anjing yang kupergoki di jalanan kota yang lengang.

Sejak saat itu, aku jadi pemburu dan pembunuh anjing. Kenapa anjing? Bukankah para anjing yang menghancurkan keluargaku? Para anjing pula yang membuat kami bak penderita kusta paling paria. Bahkan kematian pun jauh lebih menyamankan ketimbang segala perlakuan yang kami alami bukan?

Setiap kali memperoleh buruan, kuikat tali ke batang pohon, kujerat leher anjing itu, lalu kutarik ujung tali yang lain sampai binatang itu mampus. Tak ada darah keluar agar aku bisa makan darah anjing itu ketika menyantap dagingnya. Bukankah para anjing sudah mengisap habis segala yang hidup dalam jiwa kami? Itulah wujud balas dendamku pada mereka.

Jangan bilang aku menjijikkan. Bukankah para anjing itu lebih menjijikkan lantaran telah membunuh kami berulang-ulang ketika kami tak punya daya untuk melawan? Mereka tak pernah memberi kesempatan pada kami untuk tahu apa kesalahan kami. Bahkan mereka pun tak peduli kami tahu atau tidak apa yang mereka tuduhkan pada kami.

Kau bilang aku biadab? Ya, aku memang dididik jadi biadab oleh orde kebiadaban bukan? Kini, bau busuk orde itu tak bakal hilang. Justru makin keras menyerbu penciuman siapa pun. Masa bagi para anjing untuk binasa makin dekat. Kami, para pemakan anjing, tak hendak berhenti berburu anjing di mana pun, kapan pun.

Pembalasan dendam dan pelunasan kebencian memang menjijikkan. Dan, akulah wajah kebiadaban itu.

***

Sepekan sekali pada malam hari aku berkeliling kota, menaiki sepeda tua berbekal karung goni dan seutas tali. Begitu menemu anjing yang kuinginkan, dengan berbagai cara kupikat binatang itu. Biasanya hewan itu mengendus-endus mendekatiku. Lalu kukalungkan seutas tali ke lehernya dan ketika sudah tak lagi berkutik karena jerat itu membuatnya lemas, kukarungi binatang itu dan kutaruh di boncengan. Pulang!

Di pekarangan belakang rumah, ujung tali jerat di leher anjing kuikat di sebatang pohon jambu. Ujung lain kutarik sekuat tenaga. Anjing itu mati tanpa menguik.

Selanjutnya, kau tahu, kubakar bangkai anjing itu hingga semua bulu di tubuhnya lenyap. Bau daging hangus menguar. Sedap! Nah, barulah kukuliti bangkai itu dengan hati-hati. Mula-mula torehkan ujung pisau ke belahan dada hingga ujung pangkal kaki belakang. Lalu, sibak kulit dari daging dan pelan-pelan, hati-hati, kuliti seluruh tubuh.

Kemudian potong-potong di setiap persendian sesuai dengan kebutuhan. Daging terbaik menjadi sate, sisanya menjadi rica-rica dan gule. Kepala anjing itu? Ah, jangan serakah. Pendam saja dalam tanah. Biarlah jadi pupuk, jadi rabuk!

Nah, setelah semua matang, dengan nasi putih hangat mengepul, santap dengan riang. Maka, aku pun berpesta. Bisa sendirian, tak jarang bersama beberapa kawan. Dan, tegukan tuak melengkapi pesta kami semalaman.

Sudah tak terhitung berapa puluh ekor anjing telah kubantai dan kusantap tanpa sisa. Kemiskinan bercampur-baur dengan dendam dan kebencian pada sesuatu yang tak terlawan memantik perilaku itu. Tak mengherankan, muncul desas-desus: akulah sang pemakan anjing. Tak ayal, makin hari kian banyak tetangga melarang anak mereka berkawan denganku. Mereka mengasingkan aku dalam pergaulan. Namun pengasingan dari lingkungan itu justru membuatku makin brutal.

Setiap malam aku ngelayap ke mana pun ke seantero sudut kota, ke pojok-pojok gelap pedusunan. Makin lama kian jauh kawasan yang kujelajahi. Bukan cuma anjing, kini segala binatang bernyawa jadi buruanku. Burung piaraan kusambar. Ayam di kandang kusergap. Kambing kujungkalkan dalam sekejap. Aku jadi pemakan segala.

Aku jadi horor, meneror para petani dan peternak. Darah yang muncrat dari leher binatang yang tertebas parangku meruapkan bau anyir makin memompa semangatku. Aku menderap dalam gelap. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!

Sial! Suatu malam, ketika aku menyeret seekor kerbau menuju tepian sungai, sekonyong-konyong bunyi kentongan bertalu-talu dari segenap penjuru. Bersamaan dengan itu seruan dan teriakan merobek langit. Langkah orang-orang berdentaman. Mereka mengepungku dari setiap arah. Aku tak berkutik.

Mereka menggebuki aku, lalu menyeret tubuhku ke balai desa. Mereka makin kalap, makin beringas, ketika tahu tak ada darah keluar dari tubuhku. Ya, sekuat dan sekeras apa pun mereka menjadikan tubuhku sebagai bola, sebagai sansak, tak bakal darah terciprat. Lalu, mereka pun mengambil parang dan segala macam senjata tajam. Mereka membacok, mengiris, menusuk, menyobek, menyayat daging tubuhku. Namun, lagi-lagi, tak ada senjata mampu melukai tubuhku. Menggores pun tidak.

Mereka makin beringas. Berkali-ulang mereka menjojohkan segala apa yang runcing dan tajam. Namun, nihil. Tubuhku kebal. Kau tahu itu!

Tiba-tiba aku merentakkan tubuh, berdiri tegap di tengah kepungan. Mereka kaget, mundur-mundur. Kepungan melebar, dan itu memberi ruang bagiku untuk ancang-ancang. Lalu, aku pun menerjang, melompat, dan terbang! Bebas, lepas….

***

Perutku mual ketika dia mengakhiri cerita. Aku berharap kisah itu fiktif, rekaan, dia bikin-bikin. Ya, aku tak memercayai cerita lelaki separuh baya itu.

Penampilan lelaki kerempeng, ompong, berwajah penuh keriput, serta uban merata di kepala itu tak meyakinkan aku bahwa pada masa muda dia bertubuh pengkuh, kukuh, liat, dan kebal menghadapi bacokan senjata tajam. Kini, dengan sekali dorong saja, aku kira dia bakal menjelepak, terkapar di tanah. Padahal, usianya belum lagi berbilang tahun melewati angka 50 tahun.

Ya, sulit bagiku memercayai marbot masjid di kampungku di pinggiran kota itu dulu jagoan, jawara, yang tak mempan dicelurit. Lagipula, dendam dan kebencian terhadap apa pula yang membuat dia berubah menjadi pribadi telengas, brutal, dan menjijikkan? Pemakan anjing! Bah, jika benar, manusia macam apa dia?

“Boleh saja sampean tak memercayai saya. Boleh saja sampean meragukan kebenaran cerita saya. Namun setidaknya ada hikmah yang bisa sampean petik dari kisah itu,” ujar sang marbot.

Aku terenyak mendengar ucapannya. Dia tahu isi pikiranku. Sialan!

“Saya menceritakan sebagian dari masa lalu itu bukan untuk menakut-nakuti sampean, bukan untuk tampil lebih gagah dari semestinya yang tampak di mata sampean sekarang, Anak Muda. Bukan. Jauh panggang dari api,” ujar dia. “Saya tahu betapa menjijikkan masa lalu itu. Bahkan ketika saya menuliskan sebagian dari cerita itu, istri saya marah. Dia bilang malu sekaligus mual. ‘Tak perlulah mempermalukan diri sedemikian rupa hanya untuk dianggap baik, Pak,’ begitulah ujar dia. Sampean tahu, saya menceritakan sebagian dari masa lalu yang kelam itu sebagai monumen kebodohan. Monumen yang bakal mengingatkan siapa pun yang saya kenal, kepada siapa saya menceritakan kisah ini, agar tak menempuh jalur yang sama: jalur yang mencelakakan bukan cuma bagi saya, melainkan bagi banyak orang.”

Belum lagi aku menyahut, sang marbot bangkit, mengenakan bakiak, lalu melangkah perlahan-lahan seperti tak mempunyai kebutuhan lain selain harus berjalan. Aku termangu di undakan serambi masjid. Sendirian.

Terdengar dari kejauhan suara kentongan. Aku menengok jam dinding di atas pintu serambi masjid. Hah? Hampir tengah malam! Namun aku bertahan, duduk sendirian.

Jika sekarang berusia 55 tahun, berarti dia kelahiran tahun 1961. Jika kisah yang dia ceritakan tadi terjadi saat berusia 20-an tahun, itu berarti awal 1980-an. Peristiwa besar macam apa yang terjadi pada masa itu, yang telah sedemikian mengguncang perasaan dan menorehkan dendam mendalam bagi dia? Tentu bukan terbakar dan tenggelamnya Kapal Tampomas. Juga bukan kerusuhan anti-Cina. Apalagi kepulangan para tahanan dari Pulau Buru bukan?

Lalu apa?

Ah, kenapa aku mesti pusing memikirkan perkara itu? Bukankah sejak awal aku tak hendak memercayai ceritanya? Jadi kenapa mesti menebak-nebak peristiwa apa yang melatarbelakangi kebergajulan dia semasa muda? Apa pula peduliku jika cerita dia benar? Tak cukupkah dia sebagaimana adanya? Tak cukupkah mengenal dia semata-mata sebagai marbot masjid? Sialan!

Aku bangkit, melangkah, meninggalkan masjid. Ketika melewati rumahnya, aku memperlambat langkah. Lampu ruang tamunya masih menyala, pertanda dia belum tidur. Ya, itulah kebiasaan dia sebagaimana pernah dia katakan. Dia pun pernah bilang, aku tak perlu ragu bertandang kapan pun, sepanjang lampu ruang tamu masih menyala. Aku, tanpa sepenuhnya sadar, membelokkan langkah melewati pintu pagar pekarangan rumahnya. Namun beberapa langkah mendekati teras rumah, aku berhenti. Ah, buat apa aku ke sini? Aku berbalik.

“Hei! Anak Muda, kenapa berbalik? Kemarilah. Tak perlu sungkan,” suara sang marbot mengagetkan.

Aku merandek dan menengok, mencari arah suara itu. Dia berdiri tak jauh di sisi kiri tempat aku berdiri. Aku tepergok! Dia belum masuk ke rumah. Entah apa yang dia perbuat di pekarangan tak terlalu luas ini. Ah, kenapa pula aku tak memperhatikan benar. Sekarang, seperti pencuri ketahuan sebelum berhasil memasuki rumah, aku terpaku; malu, bingung, mati langkah.

“Ayo, duduklah,” ujar dia seraya melangkah ke teras.

Seperti tergendam, aku menyeret langkah, mengikuti dia. Lalu duduk.

“Santai saja. Tak perlu tegang macam itu,” ujar dia lagi.

Sialan, benar-benar sial!

“Sampean pasti tak memercayai cerita saya. Atau, sampean percaya, lalu penasaran dan ingin tahu lebih banyak, lebih gamblang,” kata dia sambil tersenyum samar. “Ya kan?”

Saya mengangguk. Pelan.

“Kenapa ragu-ragu?”

Saya terdiam. Tak tahu mesti omong apa.

“Tunggu sebentar,” ujar dia sambil bangkit, kemudian masuk ke dalam rumah. Terdengar percakapan, entah apa. Mungkin bercakap dengan sang istri.

Aku berdiri, menghadap ke jalan. Sepi. Tengah malam seperti ini tak ada lagi warga kampung berseliweran. Pintu semua rumah sudah tertutup seperti biasa. Selepas isya nyaris tak ada dan tak pernah warga kampung keluar rumah jika tak penting amat.

Sepulang dari masjid atau musala, kami mengurung diri di rumah. Nonton televisi, itulah hiburan kami. Jangankan anak-anak, remaja dan orang tua pun memilih bergelung di kasur berselimut rapat-rapat melawan dingin yang menggigit tulang saat tengah malam menjelang dini hari. Bagiku, berada di luar rumah, apalagi di teras tetangga, macam ini pun baru sekali ini. Dan aku merasa tak nyaman. Muncul keinginan segera pulang.

“Anak Muda, silakan duduk. Nih kopi, biar hangat,” ujar marbot itu.

Lagi-lagi aku terkejut. Aku berbalik, kembali duduk.

Dia melolos sebatang rokok, lalu meletakkan bungkus rokok itu di atas meja. Dia pantik korek, menyulut dan mengisap rokok. Sejenak kemudian dia mengangkat cangkir kopi dan menyeruput. Asap mengepul dari permukaan cangkir. Bau harum kopi meruap. Aku menelan ludah, tetapi rada segan segera menyeruput pula.

“Aku tak pernah membunuh orang. Tak pernah,” ujar sang marbot pelan. Namun dalam kelengangan malam menjelang dini hari itu, suara dia serasa mendentam dalam kupingku. Aku terjengak.

“Sejahat apa pun orang menilaiku dulu, sekelam apa pun orang melihat masa laluku, aku tak pernah membunuh orang. Tak pernah. Bahkan dalam pikiran sekalipun,” kembali suara marbot itu mendentam dalam telinga.

“Minumlah dan merokoklah,” ujar dia setelah beberapa saat terdiam.

Aku mencekau cangkir dari meja, menyeruput kopi panas itu, meletakkan kembali ke tatakan. Lalu kududut sebatang rokok dan kusulut. Asap isapan pertama yang panjang hangat memasuki mulut dan kerongkonganku. Lalu pelan-pelan asap itu kuembuskan. Aku terbatuk. Dia tertawa kecil.

“Tak perlu tergesa-gesa. Malam ini akan menjadi malam terpanjang bagi sampean, Anak Muda. Sampean kadung bertandang, maka dengarkan cerita saya,” kata dia. “Dulu, ketika saya belum lagi tahu apa arti mati dan hidup, tanpa kemauanku, kusaksikan peristiwa yang terus-menerus membuat hidup terasa percuma. Hidup seperti hanya menunda kematian yang bisa datang tiba-tiba, kapan saja, di mana saja.”

Aku mendengarkan ucapan dia, tetapi tak sepenuhnya memahami maksudnya. Aku terdiam, mendengarkan. Hanya mendengarkan, tanpa suara, tanpa kata.

***

Saat itu aku berusia lima-enam tahun. Suatu malam aku terbangun, menggeragap. Aku mendengar dinding rumah digedor-gedor dan genting pecah bertemperasan. Secuil kreweng jatuh melukai keningku. Darah menetes dari luka.

“Hei, keluar!”

Alah, tak usah banyak cakap. Bakar saja. Bunuh!”

“Ya, bakar! Bakar saja! Bunuh!”

Seruan-seruan itu bersahutan bersamaan dengan dentam kaki. Lalu pintu terdobrak. Aku meloncat dari dipan di kamar dan keluar. Di ruang tengah kulihat bapakku dipukuli, lalu digelandang keluar rumah. Ibuku meringkuk ketakutan mendekap adikku di pojok ruang. Ketika melihat aku keluar kamar, Ibu melambaikan tangan, meminta aku menghampiri dia. Namun aku berlari keluar rumah, mengejar bapakku.

Puluhan orang itu menyeret Bapak sambil terus menggebuki, memukul, menendang. Aku berteriak, meminta mereka melepaskan bapakku. Namun suaraku tertelan keriuhan. Mereka tak menggubrisku. Seseorang menghalau aku dengan mengamang-amangkan tongkat pemukul. Aku merandek, berhenti. Begitu mereka menjauh, aku mengendap-endap menguntit.

Mereka menyeret tubuh bapakku menuju ke tanggul bengawan di tepian desa. Di atas tanggul, mereka menjelepakkan tubuh bapakku. Di keremangan malam dari jarak yang kurasa aman, kulihat entah berapa tubuh tak berdaya berjajar. Pandangan mataku terhalang ketika para lelaki yang menyeret bapakku dan orang-orang yang sudah lebih dulu ada di atas tanggul itu berdiri berbanjar. Lalu terdengar seperti aba-aba. Mereka membungkuk dan sekejap kemudian mereka menyorongkan tubuh-tubuh yang berjajar, menjelepak di tanggul, itu ke dalam air bengawan yang mengombak-ombak.

Kembali tersengar serupa aba-aba dan orang-orang itu pun berhamburan menuruni tanggul, lalu menghilang dalam kegelapan malam. Merasa aman, aku keluar dari balik sebatang pohon dan segera berlari menaiki tanggul. Namun di tanggul tak ada apa pun. Bapakku lenyap!

Aku berlari menghilir di sepanjang tanggul. Namun sejauh aku mampu berlari tak kulihat apa pun yang timbul-tenggelam di atas aliran alir bengawan yang mengolak deras. Tak ada bapakku. Bapakku lenyap.

Aku terduduk, tersengal-sengal, menangis, memanggil-manggil Bapak. Suaraku lenyap tertelan suara air berkerosak. Aku menggigil seraya terisak-isak. Sendirian.

Kejadian itu mengganggu tidurku sampai berbelas tahun kemudian. Bapakku lenyap. Dilenyapkan begitu saja. Dan, aku menyaksikan tanpa bisa berbuat apa pun, tanpa tahu kenapa mereka menghanyutkan bapakku entah ke muara mana di dunia ini. Sampai sekarang, sampai setua ini, aku belum tahu apa kesalahan bapakku.

Sejak saat itu, tidurku tak pernah pulas. Aku acap berpapasan dengan orang-orang berkepala anjing yang menggeram dengan air liur menjijikkan terus-menerus menetes dari lidah yang menjulur-julur ketika mereka bersirobok pandang denganku. Aku tahu, merekalah penghanyut tubuh bapakku.

Tubuh-tubuh berkepala anjing itu kutemui setiap hari, setiap kali, ke mana pun aku melangkah. Aku jijik. Aku muak. Jika mungkin, aku ingin menebas setiap kepala itu. Namun apa yang bisa kulakukan? Bahkan tinggi tubuhku pun tak lebih dari pinggul mereka. Apalagi setiap kali berpapasan dengan mereka, aku teramat-sangat takut. Aku bersembunyi sebisa mungkin. Aku tak ingin mereka menggigit dan menyeretku ke tanggul bengawan seperti mereka menyeret dan menghanyutkan bapakku.

Para anjing itu membunuh bapakku. Para anjing itu kelak harus kubunuh! Tekad itu makin hari kian kembang, mengeram dalam benak, menelusup dalam setiap denyut nadi dan setiap isap dan embusan napasku. Aku bertekad menghabisi setiap anjing. Ya, akan kubunuh anjing-anjing itu. Akan kubunuh anjing pembunuh bapakku.

Namun hasrat dan tekad itu tak bisa segera terlampiaskan. Pagi-pagi benar, sembari menggendong adikku, Ibu menyeret lenganku, bergegas-gegas pergi dari rumah kami. Pergi dari kampung kami. Kami terusir tanpa semau kami! Kami terusir setiap kali ada yang mengenali ibuku. Berkali-kali, sampai kini.

***

Aku terlongong begitu dia usai bercerita. Kengerian sekaligus kenyerian menelusup dalam perasaanku. Aku tak mampu berucap apa pun, bahkan ketika sejenak kemudian berpamitan pulang. Aku menyeret langkah, tersaruk-saruk di jalanan kampung yang kehilangan lapisan aspal.

Kenapa dia menceritakan perkara itu kepadaku? Untuk apa? Apa yang dia harapkan dariku? Bagaimana aku mesti bersikap bila kembali bertemu dia? Menghindari dia, tak mungkin. Kampung kami tak seberapa luas dan hanya ada satu masjid tempat kami bisa salat berjamaah. Padahal, dia marbot masjid itu dan ke masjid itu pula setiap kali aku bersembahyang. Untuk menuju ke masjid pun aku harus lewat di depan rumahnya.

Apakah sebaiknya aku salat di masjid di kampung sebelah? Namun apa jawabanku jika orang-orang bertanya? Ah!

Rasa nyeri memberual ketika aku melangkah membelah kegelapan dini hari yang basah menuju ke rumah. Rasa nyeri itu terus menggerumiti batinku. Entah sampai kapan.

Patemon, 21 September 2016: 18.42

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)