Lagi, Solidaritas untuk Saut Situmorang

Literasi.co
Literasi
Published in
3 min readOct 20, 2015

[caption id=”attachment_3923" align=”aligncenter” width=”564"]

Wahmuji sedang memberikan paparan terkait kriminalisasi Saut Situmorang. Foto oleh : Wikan Tri Sambodo.[/caption]

Setelah dijemput paksa oleh pihak kepolisian pada medio Maret 2015, proses hukum penyair Saut Situmorang telah sampai ke babak baru. Saut Situmorang telah ditetapkan sebagi tersangka. “Menunggu berkasnya dari polisi menuju ke kejaksaaan, baru ke pengadilan,” ungkap Saut tentang status hukum yang dikenakan kepadanya.

Saut menerangkan bahwa dia akan terus melawan. “Kalau saya disuruh berdamai seperti Iwan Soekri dan harus meminta maaf, saya tidak mau karena saya tidak bersalah,” tegasnya. Penyair yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara tersebut menegaskan bahwa dirinya hanya mau berdamai apabila pihak pelapor mencabut laporannya kepada polisi.

Kasus kriminalisasi yang menimpa Saut Situmorang berawal dari penolakannya terhadap buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia. Buku tersebut memuat nama-nama yang dianggap oleh para penyusun buku itu sebagai 33 orang tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Yang janggal dalam buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia ini adalah masuknya nama Denny JA sebagai salah seorang tokoh sastra Indonesia berpengaruh. Menjadi janggal karena Denny JA sendiri adalah penaja (penanggung biaya) buku ini. “Buku itu sebuah penipuan sejarah, mulai dari metode, pemilihan pengarang, bahkan sampai cover buku depan itu sendiri, itu tidak benar,” pungkas Saut.

Kriminalisasi terhadap Saut Situmorang, memunculkan banyak reaksi dari publik. Para pegiat sastra yang tergabung dalam Aliansi Anti Pembodohan memberikan dukungan kepada Saut Situmorang. Rabu, (14/10) organisasi yang tergabung dalam aliansi menyelenggarakan acara “Kriminalisasi Saut Situmorang & Bencana Sastra Indonesia”. Dialog Sastra yang diadakan di depan halaman kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) ini dipantik oleh tiga pembicara yaitu penyair Saut Situmorang sendiri, Wahmuji (koordinator umum laman mediasastra, dan, Maulana Patra Syah (mahasiswa pascasarjana jurusan hukum Universitas Gajah Mada).

Maulana Patra Syah membedah kasus yang tengah dihadapi Saut Situmorang dari sudut pandang hukum. Maulana menjelaskan, kasus yang menimpa saut terkesan dibuat-buat. Maulana juga menuliskan pemikirannya soal kasus ini. Terkesan dibuat-buat, sebab pasal yang digunakan untuk menjerat Saut tidak sesuai dengan prosedur hukum. “Tafsir pencemaran nama baikpun harus dalam tafsir perdata yaitu bisnis. Bukan pidana, sehingga ini tidak memenuhi unsur hukum. Pasal yang dikenakan kepada Saut itu tidak mengenai sasaran,” jelas Maulana.

Lebih jelas lagi Maulana menjelaskan bahwa Saut tidak menujukan kata “Bajingan” pada seseorang. Saut menulisnya dalam sebuah status di Facebook, sehingga tidak jelas Saut mengatakan kata “Bajingan” untuk siapa. “Kata bajingan itu ada tapi tidak merujuk kepada siapa ini ditujukan,” ungkap Maulana.

Dalam sesi akhir dialog, Edi Sentoso, seorang mahasiswa Sastra Indonesia, UAD yang lain, memberikan tanggapan terhadap kasus yang dihadapi Saut Situmorang. “Ya, saya sendiri ikut prihatin,” ungkap Edi. Dia mengatakan bahwa dia baru paham dengan kasus yang dihadapi Saut Situmorang setelah dijelaskan dalam acara dialog sastra itu. Edi menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan seperti itu akan sangat baik bila digunakan sebagai momen solidaritas bagi para mahasiswa sastra.

Dialog sastra ini juga diisi dengan pembacaan puisi. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan sikap dari mahasiswa sastra Indonesia UAD. Dedek Gunawan, perwakilan mahasiswa sastra Indonesia, UAD, menyatakan menolak kriminalisasi yang dilakukan terhadap Saut Situmorang dan pembodohan sastra Indonesia. Aksi serupa ini juga telah diadakan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan itu, para mahasiswa dan pegiat sastra menandatangani petisi menolak kriminalisasi terhadap Saut.[]

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)