MENANAM GERAKAN RAKYAT DI PEDESAAN PEMALANG

Literasi.co
Literasi
Published in
8 min readJul 24, 2015

Malam Menjelang Lebaran

Sudah sejak malam takbiran titik-titik tertentu di desa Sokawangi, Kec. Taman, Kab. Pemalang itu dipenuhi oleh sekumpulan anak muda. Mereka adalah anak-anak muda yang lebih banyak menghabiskan waktu di perantauan, baik karena alasan mencari nafkah, sekolah, atau karena alasan lainnya. Sebagian besar di antara mereka hanya memiliki sedikit waktu berkumpul dengan teman-teman atau sesama warga desanya karena padatnya jadwal kerja. Akhirnya, waktu libur panjang seperti lebaran ini yang mereka pakai untuk kembali ke kampung halaman, bertemu sanak saudara, dan berkumpul dengan teman-temannya. Cerita keberhasilan dan kegagalan selama di perantauan, drama rumah tangga, ajang perjodohan, rencana kegiatan selama lebaran atau di kampung halaman, dan keadaan desa mereka biasanya menjadi bahan obrolan yang seru.

Sepanjang memasuki kelompok-kelompok anak muda ini, bahan obrolan yang selalu muncul dalam acara kumpul-kumpul ini adalah keadaan desa yang tak pernah mengalami perubahan berarti. Bangunan fisik memang semakin bagus-bagus. Rumah gubug atau kayu hampir tak ada lagi. Namun lapangan pekerjaan di desa, yang sangat kental dengan ciri agrarisnya, semakin sedikit. Dunia pertanian hidup segan mati tak mau. Berbagai bantuan yang mengalir ke desa tak pernah tepat sasaran. Dan kebutuhan warga untuk mendapatkan pelayanan semisal mengurus akta kelahiran, akta tanah, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), atau Jamkesmas tak pernah memuaskan. Hampir di setiap kelompok anak muda yang berkumpul itu muncul keluhan buruknya kinerja pamong desa dalam melayani warganya.

Menjelang larut, saat saya mengunjungi sekumpulan anak muda di bagian timur desa, sekelompok anak muda yang tergabung dalam organisasi “Komunitas Masyarakat Sokawangi” (KMS) sedang seru-serunya mendiskusikan keadaan desa selama beberapa tahun terakhir. Teguh Hadi Susanto, salah satu pendiri organisasi ini, menuturkan bahwa selama dua tahun KMS bekerja membangun solidaritas dan kerja-kerja nyata dalam menghidupkan semangat kebersamaan sesama warga desa. Namun ia mengeluhkan tiadanya tanggapan positif dari pamong desa. Meski tanpa tanggapan pamong desa, dalam dua tahun para pemuda secara pelan-pelan menciptakan sistem keamanan desa mandiri, mengambil inisiatif untuk membetulkan lampu penerangan desa yang rusak, mendirikan pos ronda yang bisa menjadi ajang pertemuan dan komunikasi antar pemuda, menyelenggarakan acara peringatan kemerdekaan RI, hingga mensosialisasikan pentingnya menjaga sungai tetap bersih dan tak tercemar limbah pupuk kimia.

Sementara itu menurut pemrakarasa KMS, Trigandi Imamuddin, organisasi yang telah bekerja dua tahun terakhir ini punya kelemahan berupa keanggotaan yang tidak jelas. Ia mencontohkan banyaknya anggota KMS yang memakai nama samaran di grup FB, adanya orang luar desa yang masuk ke dalam grup, dan lemahnya tindak lanjut dari usulan orang-orang di grup dalam kegiatan KMS. Lebih lanjut ia mengusulkan agar keanggotaan organisasi ini harus jelas demi membangun rasa tanggungjawab di antara mereka.

Kritik terhadap kinerja organisasi ini juga dilontarkan oleh Joko Dwi Hantoro. Lelaki yang setiap harinya bekerja sebagai sopir di Surabaya ini menyoroti ketidakjelasan program dari para pengurus KMS selama satu tahun ini. Ketua umum organisasi yang memiliki pekerjaan padat di KMS dan komunikasi yang tidak intens di antara pengurus menjadi salah satu faktornya. Ia mengusulkan agar dalam waktu dekat segera diselenggarakan pertemuan para anggota KMS dengan memanfaatkan kesempatan banyaknya para pemuda yang pulang kampung.

Sementara itu, Suyoto yang sehari-hari berprofesi sebagai MC dalam setiap acara pertunjukan dangdut menceritakan besarnya solidaritas dan kepedulian sesama warga dalam setiap isu-isu yang berkembang di desa. Namun ia menyayangkan kurang tanggapnya organisasi dalam mewadahi setiap bentuk solidaritas tersebut. Ia mencontohkan banyaknya warga Sokawangi yang berada di perantauan untuk menyumbang ketika KMS mengadakan kegiatan.

Perbincangan yang berlangsung hingga menjelang pagi itu membuahkan beberapa kesepakatan. Pertama, mereka akan melakukan pertemuan pada tanggal 18 Juli 2015 dengan agenda pergantian pengurus dan membuat program yang betul-betul tepat sasaran. Kedua, dalam pertemuan itu mereka juga akan memperjelas status keanggotaan. Ketiga, menjalankan fungsi kritik dan pengawasan yang lebih kuat terhadap setiap kebijakan dan pelaksanaan kebijakan desa.

Keputusan mendirikan Kooperasi Pemuda

Rencana penyelenggaraan musyawarah para pemuda Sokawangi itu kemudian menyebar ke berbagai kelompok pemuda desa di hari lebaran. Sembari saling mengunjungi satu sama lain, undangan rapat baik lewat surat maupun sms mulai beputar di kalangan pemuda desa. Pada malam tanggal 18 Juli 2015, puluhan pemuda dari berbagai dusun di desa itu berkumpul di rumah Suyoto. Poin-poin penting yang dibicarakan di malam menjelang lebaran disosialisasikan kepada para pemuda yang tidak ikut dalam pertemuan pertama.

Persoalan yang menjadi perdebatan di antara anggota KMS sebelum melangkah menuju penataan kembali organisasi — baik kepengurusan, program kerja, maupun pengelolaan organisasi — adalah belum mundurnya secara resmi pengurus lama. Menurut Trigandi Imamuddin, Abdurrahman Julianto yang menjabat Ketua umum, sudah menyatakan mundur dari organisasi sejak beberapa bulan lalu. Namun pernyataan itu dianggap belum valid sebelum ada surat pengunduran diri secara langsung dari yang bersangkutan atau pengurus lainnya. Akhirnya, rencana untuk menyusun kepengurusan baru ditunda sampai ada surat atau pernyataan resmi yang bisa disaksikan oleh para peserta rapat.

Dalam agenda kedua yang berkenaan dengan status keanggotaan, perdebatan seru muncul berkenaan dengan mekanisme apa yang bisa mengikat orang dalam keanggotaan sebuah organisasi sosial-budaya semacam KMS. Yang menarik dalam diskusi ini adalah usulan pendirian kooperasi. Trigandi Imamuddin mengusulkan berdirinya kooperasi karena beberapa alasan. Pertama, kooperasi akan bisa mengikat warga desa baik yang berada di desanya maupun di perantauan lewat sistem iuran pokok dan iuran wajib. Yang kedua, kooperasi pemuda ini bisa bekerja sebagai lembaga keuangan yang meringankan bagi anggotanya manakala mereka sedang mengalami kesusahan finansial. Ia mencontohkan banyak di antara anggota yang sering susah mencari ongkos transport ketika akan merantau ke Jakarta, Surabaya, Bandung, atau bahkan Kalimantan. Ketiga, dengan adanya kooperasi, secara bertahap para pemuda bisa memikirkan rencana usaha di kampung halamannya sendiri yang bisa dikelola bersama. Hanya lewat mekanisme inilah, katanya, kemandirian desa bisa diwujudkan dan secara bertahap arus urbanisasi ke kota-kota besar bisa berkurang.

Karsadi, salah satu warga desa yang menjadi pemimpin Gerakan Pemuda Irak (Ikatan Rakyat sebelah Kuburan), menyetujui pendirian kooperasi namun mempertanyakan lebih jauh kriteria keanggotaan kooperasi pemuda ini nantinya. Lewat berbagai pertimbangan, rapat ini kemudian melahirkan empat kriteria keanggotaan kooperasi, yaitu: (a) Orang Sokawangi yang ber-KTP orang Sokawangi, (b) Orang lahir di Sokawangi tapi sudah ber-KTP di luar Sokawangi, © Orang luar Sokawangi yang menetap di Sokawangi meski tidak ber-KTP di Sokawangi, dan (d) orang yang tidak lahir di Sokawangi yang sudah ber-KTP Sokawangi. Dalam menyikapi usia minimal keanggotaan Kooperasi sebagaimana yang dilontarkan oleh Kusdi, forum rapat ini memutuskan bahwa anggota paling muda berusia 15 tahun. Siswoyo Renggos, salah satu peserta musyawarah meyakinkan peserta rapat bahwa pemuda sudah berusia 15 tahun bisa menjadi penggerak program-program KMS di lapangan sekaligus difungsikan sebagai generasi yang nanti bisa melanjutkan tongkat estafet organisasi di masa depan. Dalam musyawarah ini para peserta menyepakati bahwa iuran pokok tiap anggota sebesar Rp.20.000,00 dan iuran wajib sebesar Rp.10.000,00 dengan pertimbangan bahwa orang yang tertarik untuk menjadi keanggotaan kooperasi akan banyak. Kalau pun terjadi perubahan jumlah nominal iuran wajib akan dilakukan dalam rapat anggota tahunan kooperasi.

Dalam musyawarah kedua tanggal 20 Juli 2015 yang dilaksanakan di rumah Siswoyo Renggos, para peserta musyawarah mengesahkan pengunduran diri Ketua Umum dan pengurus lama serta melahirkan kepengurusan baru. Tegar Arif Thofhan, alumni UMS dan mantan aktivis kampus, terpilih sebagai ketua umum didampingi Joko Dwi Hantoro dan Ahmad Bukhori sebagai wakil ketuanya. Komposisi kepengurusan organisasi ini menarik karena bisa memadukan antara mereka yang terdidik secara formal sampai di Universitas, pemuda desa yang tak memiliki pendidikan formal cukup namun memiliki pengalaman kerja mumpuni, dan para pemuda berusia belasan tahun.

Menurut Ketua Umum terpilih dan Joko Dwi Hantoro, organisasi ini akan diarahkan pada dua kerja besar. Pertama, bagaimana KMS bisa menjadi motor dalam gerakan sosial di desanya sendiri, melakukan pendidikan ekonomi-politik dalam rangka membangun tingkat melek ekonomi dan politik yang tinggi di antara anggota, dan memperkuat sendi-sendi kehidupan seni-budaya di desanya. Yang kedua, bagaimana organisasi ini secara bertahap bisa menjadi motor kegiatan ekonomi di desa lewat usaha kooperasi. Secara cerdik rapat ini memutuskan bahwa organisasi tidak boleh dibawa ke dalam percaturan politik praktis seperti pemilihan bupati atau gubernur meski pun tetap menjalankan fungsi pembangunan kesadaran politik di antara anggotanya.

Gerakan Pemuda Sokawangi: Dua wajah Kooperasi

Dalam rapat ketiga yang diselenggarakan di rumah Khambaly, KMS menunjukkan arah gerakan rakyat di pedesaan yang menjanjikan. Agenda rapat berupa pembuatan program-program kegiatan KMS ini mengingatkan kita pada dua wajah kooperasi sebagaimana yang diutarakan oleh Mohammad Hatta. Yang pertama adalah kooperasi sosial-politik, dan yang kedua adalah kooperasi ekonomi.

Dalam wajah pertama, organisasi ini menjadikan kursus politik, hukum, dan workshop seni sebagai program utamanya. Program ini bertujuan untuk memberikan pendidikan politik-ekonomi, hukum, dan seni-budaya terhadap para pemuda dan masyarakat. Materi kursus politik dan ekonomi ini berhubungan dengan berbagai pengetahuan politik dan ekonomi yang jadi kebutuhan langsung warga desa seperti tata-kelola pemerintahan desa yang baik benar, sosialisasi UU Desa, bagan-alur pengurusan surat-surat, tata-cara keterlibatan aktif warga desa dalam penentuan kebijakan desa, pendidikan kooperasi, hingga mendorong munculnya kemandirian ekonomi desa. Kursus politik-ekonomi ini wajib dijalankan minimal satu (1) tahun sekali. Pendidikan hukum juga menjadi perhatian mereka seiring sering terjadinya kriminalisasi dan pemanfaatan kasus-kasus hukum oleh aparat penegak hukum sendiri. Sementara lokakarya seni secara otomatis akan berjalan dinamik mengingat sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan di bidang seni dan budaya di desa ini cukup berlimpah. Program lokakarya ini salah satunya ditujukan dengan mempopulerkan musik dangdut Pemalangan yang telah lama digarap oleh Siswoyo Renggos teman-temannya.

Wajah sosial dari organisasi ini tampak lewat penguatan solidaritas warga lewat kerja bakti untuk membersihkan atau memperbaiki fasilitas desa, donor darah, santunan keluarga fakir-miskin, orang cacat, dan yang sedang sakit hingga pengumpulan dan penyaluran zakat kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Salah satu ruang yang bisa dimanfaatkan dalam gerakan sosial ini adalah adanya rekening organisasi yang bisa menerima donasi dari

Dalam pandangan Joko Dwi Hantoro, salah satu tokoh pemuda, berbagai kegiatan sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik KMS di tingkat desa ini ditujukan untuk menekan birokrasi dan pengelolaan desa yang sampai sekarang tak pernah transparan pada warganya. Jika selama ini pergunjingan tentang kinerja pamong desa yang amburadul

[caption id=”attachment_3611" align=”aligncenter” width=”960"]

Foto: KMS[/caption]

hanya dilakukan dalam di ruang belakang, kini para anggota organisasi ini bisa menuntut pihak-pihak yang selama ini tak bisa melayani kepentingan warga ke institusi pemerintah di atasnya seperti pihak Kecamatan, Inspektorat Kabupaten, atau bahkan Provinsi.

Sementara itu, wajah kooperasi ekonomi tampak jelas dari iuran anggota, mekanisme simpan-pinjam yang dilakukan oleh kooperasi pada anggotanya, dan usaha-usaha lain yang dilakukan oleh kooperasi. Warga desa yang sebagian besar banyak merantau ke kota-kota besar ini tak akan lagi menghadapi keluhan tiadanya ongkos untuk merantau karena fasilitas simpan pinjam yang disediakan oleh kooperasi. Untuk menjaga kestabilan keuangan dan mengantisipasi macetnya pembayaran cicilan, kooperasi ini mensyaratkan para peminjam di kooperasi untuk mendapatkan 3 orang yang menjadi penjamin. Jadi ketika sang peminjam tak memenuhi kewajibannya, para penjamin inilah yang akan menutupi cicilannya. Ada pun sanksi bagi peminjam adalah tidak boleh melakukan peminjaman selama jangka waktu tertentu.

Satu minggu berinteraksi dengan para pemuda desa, mengikuti berbagai acara dan menghadiri pertemuan demi pertemuan, saya percaya gerakan rakyat di pedesaan semacam inilah yang bisa memunculkan optimisme tentang tata-kehidupan desa yang diidam-idamkan banyak orang. Mereka telah menanam benih gerakan rakyat di pedesaan sejak tiga tahun terakhir. Pelan tapi pasti, mereka akan merebut daulat rakyat yang selama ini hanya menjadi mitos belaka. Masih dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan mimpi daulat rakyat itu. Bagi mereka yang selama ini gembar-gembor tentang kondisi pedesaan di Indonesia yang semakin hancur-lebur, kenapa tak segera turun dan bekerjasama dengan para pemuda progresif ini?[]

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)