Menguak Fenomena Marjinalisasi Guru: Sebuah Refleksi Kritis

Literasi.co
Literasi
Published in
7 min readDec 2, 2017

Peringatan Hari Guru Nasional yang setiap tahun bertepatan pada tanggal 25 November nyatanya tak lebih dari sebuah perayaan sarat omong kosong belaka. Bagaimana tidak, hari yang seharusnya dimanfaatkan sebagai momen reflektif guna menentukan ulang sikap penyelesaian terhadap beragam permasalahan yang melanda para pendidik negeri, ironisnya hanya berakhir menjadi tagar selamat Hari Guru Nasional dan janji-janji recehan penguasa di media massa. Hanya sedikit dari kita yang menyempatkan waktu untuk menelaah secara evaluatif-kritis terkait nasib guru hari ini.

Demi mengisi kekosongan tersebut, kali ini penulis beritikad memaparkan sedikit uraian terkait krisis yang menimpa golongan para pendidik negeri ini. Semoga, tulisan sederhana ini dapat bermanfaat sebagai catatan reflektif bagi kita dalam memutuskan sikap dan langkah pendidikan kita selanjutnya.

Guru dan Problem Marjinalisasi

Secara terminologi politik, marjinalisasi dapat berarti suatu proses pentunadayaan yang dilakukan negara terhadap warganya, baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Marjinalisasi dimungkinkan atau terjadi ketika regulasi yang ada tidak mewakili segenap aspirasi dari setiap elemen masyarakat. Dalam hal ini guru termasuk sebagai golongan yang sejauh ini mengalami problem marjinalisasi.

Problem marjinalisasi guru dapat kita lacak sejak zaman Orde Baru. Penyeragaman pakaian dinas, keharusan hanya ada satu organisasi guru (PGRI), pemberian arahan tugas secara indoktriantif, kurikulum dan literatur yang serba sentralistis, sampai metode pembelajaran yang disamakan, telah membentuk pola pikir guru sekaligus mengekang kebebasan guru untuk berkreasi dalam mengabdikan perannya.

Peran PGRI sebagai mesin politik Orde Baru yang berperan memarjinalisasi guru pun memiliki andil besar. Dalam kesejarahannya, di era Orde Baru PGRI merupakan organisasi satu-satunya yang diberikan otoritas sebagai organisasi guru formal. Hal ini berimplikasi secara politis terbatasnya kebebasan guru untuk memilih wadah organisasinya. Tak berhenti sampai di sana, keberpihakan PGRI pada pemerintah Orde Baru makin kental terasa. Semenjak mengalami perubahan bentuk organisasi dari serikat pekerja menjadi organisasi profesi pada 25 November 1973, PGRI mulai membatasi gerak setiap guru yang tergabung dengan memberlakukan Kode Etik guru Indonesia. PGRI juga dengan terang-terangan menunjukkan wataknya yang partisan. Banyak guru yang dimutasi karena menolak mendukung Golkar, dengan memilih partai selain Golkar (PDI dan PPP). Bukannya pembelaan untuk membebaskan guru yang dimutasi, PGRI justru melegitimasi tindakan represif itu.

Pasca reformasi sampai hari ini pun nyatanya tak banyak merubah keadaan. Hal ini tak lain disebabkan perubahan paling jauh pasca reformasi di bidang pendidikan hanya berupa penyerahan otonomi kepada beragam jenjang institusi pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum yang termanifestasikan dalam kebijakan otonomi daerah. Selebihnya, perubahan pada sektor lain seperti ekonomi-politik dan sosio-kultural belum mendapat perubahan signifikan.

Imbasnya, kondisi ekonomi-politik pasca Orde Baru yang masih dihegemoni oleh kalangan pemodal, turut andil dalam menentukan orientasi pendidikan sampai hari ini. Pemandangan tersebut dapat kita temukan hari ini. Guru yang pada Kurikulum 2013 lebih dilimpahkan keleluasaan menentukan model pembelajaran, pada kenyataanya tidak diarahkan untuk membentuk para cendekiawan yang akan mengabdi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat. Sebaliknya, guru difungsikan perannya sebagai pencetak ulang buruh-buruh profesional.

Lantas, apa kemudian guru patut menjadi pihak yang dipersalahkan? Mempersalahkan guru sebagai faktor dari kemunduran pendidikan sudah jelas merupakan bentuk dari kegagapan mencerap realitas yang hadir. Apabila kita artikulasikan melalui epistemologi Pierre Bourdieu, dalam sistem pendidikan, guru hanyalah agensi yang bertugas mengoperasikan kerja sesuai dengan logika sistem yang berkait kelindan dengan sistem masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari fenomena tersebut, kesadaran dan perilaku guru hanyalah parole atau cerminan dari realitas sistem yang terhubung dengan corak masyarakat kapitalisme yang mengultuskan pasar bebas (langue). Sistem pendidikan kita yang telah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan para pemodal pasar, telah berimplikasi pada watak birokrasi dan kurikulum pendidikan yang akan memenuhi tujuan dari relasi tersebut melalui guru sebagai agensinya.

Pada tahap ini, sistem pendidikan akan berimplikasi pada proses dehumanisasi, guru dan peserta didik. Peserta didik mengalami dehumanisasi sebab guru sebagai agensi dari sistem pendidikan melanggengkan kekerasan simbolik demi mencetak peserta didik yang sesuai dengan kriteria pasar. Hal yang sama terjadi pada guru yang telah dialienasi sistem dari dirinya sendiri, serta direduksi perannya menjadi sebatas agensi reproduksi dari sistem pendidikan masyarakat kapitalisme.

Marjinalisasi guru tak hanya terjadi secara politis, tapi juga ekonomi dan kultural. Secara ekonomi, marjinalisasi terjadi akibat kesejahteraan guru tidak terpenuhi. Pasca reformasi, kenaikan tunjangan fungsional guru terealisasi pada tahun 2000 yakni rata-rata di atas Rp. 200.000 untuk SD-SMTA dan Rp. 50.000 untuk guru TK. Sebelumnya, marjinalisasi secara ekonomi telah terjadi selama lebih dari 55 tahun terhadap guru yang telah mengabdikan dirinya mencerdaskan anak bangsa dengan mengabaikan nasib kesejahteraan mereka. Sampai hari ini, problem kesejahteraan guru secara ekonomi masih melanda. Warta yang dirilis Antara dengan tajuk PGRI: kesejahteraan guru masih banyak masalah, mengutip statement Unifah Rasyidi, Ketua Umum PGRI, yang menyatakan menurut data pokok pendidikan (Dapodik), guru yayasan dan PNS ada sekitar 53,4 %, dan sisanya guru honorer. Hal ini setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa kesejahteraan guru secara ekonomi masih belum banyak mendapat perhatian.

Sedangkan data lain yang dilansir OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Gaji guru di Indonesia berada di peringkat 30 dari 30 negara yang disurvei beberapa tahun lalu. Dengan gaji rata-rata USD 2.830 per tahun, guru di Indonesia belum bisa hidup dan memenuhi keburuhan primernya dengan layak

Namun, persoalan yang dihadapi oleh guru di negeri ini tidak hanya bermuara pada persoalan ekonomi semata. Dengan kata lain, menaikan gaji guru setinggi langit tidak akan menjamin perbaikan kualitas secara langsung. Ini disebabkan marjinalisasi guru tidak hanya terjadi secara ekonomi saja, mealinkan juga kultural. Marjinalisasi guru secara kultural dapat diamati dengan rendahnya citra guru di masyarakat. Profesi guru tidak lagi dipandang memiliki peran yang dihormati, disegani, diidam-idamkan setiap anak, dan dimpi-impikan setiap orang tua. Sebaliknya, guru seringkali disetarakan derajat keluhuran ilmunya dengan para penjual jasa lainnya seperti pengacara, dokter, arsitek dan lain-lain. Hari ini, menjadi guru tidaklah menjadi cita-cita utama, melainkan cita-cita sampingan. Padahal, menurut kesejarahannya, kemerdekaan Indonesia dapat terealisasi dengan hadirnya guru yang mendidik cendekiawan-cendekiawan bangsa. Hal ini menunjukkan, sampai hari ini, masyarakat negeri ini sangat minim belajar dari sejarah yang membidani kelahiran bangsanya sendiri

Selain permasalahan citranya di masyarakat, marjinalisasi secara kultural yang dialami guru juga berkaitan dengan persoalan kualitas. Kualitas seorang guru dapat dinilai dari beragam aspek, seperti wawasan, kemampuan pedagogis, sosial, dan kepribadian. Namun, nyatanya kualitas guru negeri inipun rupanya tengah mengalami keterpurukan. Malas, minim literasi, dan tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi menjadi beberapa contoh stereotype yang melakat pada diri guru di Indonesia.

Data yang dilansir UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 memperlihatkan fakta yang lebih memprihatinkan. Pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan salah satu komponen penting pendidikan yaitu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Menyimak data tersebut tentu menjadi sebuah ironi tersendiri terkait kondisi guru di Indonesia hari ini.

Penyebab marjinalisasi kultural yang disebabkan oleh rendahnya kualitas guru dapat kita lacak apabila menilik minat literasi masyarakat Indonesia secara umum. Data Duta Baca Perpustakaan Republik Indonesia yang pernah dilansir baru-baru ini menyebutkan minat baca masyarakat di Indonesia baru mencapai 0,01% buku per tahun, terpaut jauh dari Jepang dengan 15–18% per tahun, dan Eropa dengan 25–27% per tahun. Literasi adalah salah satu kunci untuk mengakses ilmu pengetahuan dan pengembangan nalar kritis pada diri indvidiu. Rendahnya minat literasi umumnya masyarakat Indonesia setidaknya dapat memberikan kita gambaran bahwa guru di Indonesia pun memiliki kecenderungan demikian.

Selain kurangnya keterbacaan, kualitas pendidikan yang rendah turut menjadi faktor pendukung lainnya. Apabila menilik data UNESCO sebelumnya, pemeringkatan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih menempati urutan ke-10 dari 14 negara berkembang, menjadi cerminan pendidikan pencetak guru di Indonesia masih belum memiliki kualitas menjanjikan.

Penutup

Sejak era Orde Baru hingga kini, persoalan marjinalisasi guru menjadi persoalan klasik yang solusinya belum juga menemui titik terang penyelesaian. Hal yang menjadi penyebabanya ialah guru tak hanya bermasalah kesejahteraan penghidupannya, atau termarjinalisasi secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan kultural.

Oleh karena itu marjinalisasi guru tak dapat direduksi menjadi permasalahan gaji semata, namun juga citra, kualitas, serta peran guru dalam pembangunan negeri. Apabila kita tarik gambaran secara lebih makro, maka fenomena marjinalisasi guru juga amat erat kaitannya dengan kualitas pendidikan kita hari ini.

Memahami persoalan marjinalisasi guru yang saling berkait-kelindan, maka solusi yang seharusnya hadir tak melulu soal peningkatan mutu lewat sosialisasi pentingnya literasi bagi guru, maupun kenaikan gaji semata. Lebih dari itu, meneruskan agenda reformasi multi sektor guna merombak ulang sistem pendidikan, beserta sektor lainnya seperti ekonomi-politik dan sosio–kultural pun harus terus dilangsungkan.

Persoalan marjinalisasi guru yang berimbas dari sistem pendidikan kita yang dihegemoni pemodal mengakibatkan bangsa ini tak punya blueprint dan orientasi mandiri. Ini tentu jelas di pemandangan kita yang menyaksikan pendidikan hari ini yang menjalankan fungsinya mencetak manusia-manusia sesuai dengan kriteria pasar. Sehingga, guru yang dicetak oleh pendidikan kita seringkali tak ubahnya buruh profesional pencetak buruh lainnya.

Sebelum mengakhiri tulisan sederhana saya dapat menjadi pengingat bagi setiap pembacanya untuk Hari Guru Nasional yang masih saja dirundung awan hitam ini, untuk bersama-sama merefleksi orientasi pendidikan serta nasib guru-gur bangsa ini yang merupakan salah satu tonggak krusial pembangunan negeri.***

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK), Universitas Pendidikan Indonesia, juga Front Nadhliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) cabang Bandung Raya.

Kepustakaan

Bourdieu, Pierre.& Passeron. Jean-Claude. 1990. Reproduction in Education, Society and Culture. London-Newsbury Park-New Delhi: SAGE Publication.

___,___. 2000. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: REaD

Book.

Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: Lkis

Ningtyas, Eka. 2015. Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power. Yogyakarta: Jurnal Poetika. Vol III.

Baca: PGRI: Kesejahteraan guru masih banyak masalah (www.Antaranews.com)

Baca: Catatan Anak Pengajar: Refleksi Hari Guru dan Apa Kontribusi Kita? (www.jawapos.com)

Baca: Mengkritisi Kompetensi Guru (www.detik.com)

Baca: Najwa Paparkan Data Soal Rendahnya Minat Baca Indonesia (Tirto.id )

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)