Museum Sangkar untuk Bapak: Catatan Ringkas tentang Kumpulan Cerita ‘Penjagal Itu Telah Mati’ (Bagian II)

Literasi.co
Literasi
Published in
11 min readDec 17, 2015

[caption id=”attachment_4112" align=”aligncenter” width=”400"]

ILUSTRASI: MOH. DZIKRI HENDIKA[/caption]

Reportase tentang Proses dan Pemosisian Fakta Sejarah sebagai Fiksi

Dalam pengantarnya, setelah membaca empat belas cerita pendek karangan Gunawan Budi Susanto dalam buku Penjagal Itu Telah Mati, Soesilo Toer mengutarakan:

“Saya bukan sedang berpikir tentang membaca cerita pendek, melainkan berpikir menelusuri reportase proses atau proses tentang… itu sendiri, melihat sendiri, mengalami sendiri seperti peristiwa 1948 di Blora….” (“Antara Tragedi, Karma, dan Nestapa”, hal. xvi)

Perspektif “reportase tentang proses” itulah yang mengantarkan Soesilo Toer pada pandangan bahwa cerita-cerita pendek karangan Gunawan Budi Susanto tak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Cerita-cerita itu merupakan rangkaian proses pertumbuhan kesadaran diri dan penemuan kesejatian hidup dari Sang Pengarang dalam menghadapi masa lalu dan menyiapkan diri menghadapi ketidakpastian masa depan.

“‘Nyanyian Penggali Kubur’ adalah tragedi, ‘Penjagal Itu Telah Mati’ adalah karma, dan Ibu Terus-menerus Bungkam’adalah nestapa yang membuat Gunawan lahir baru dengan pencerahan yang menerangi batin bawah sadarnya. Inilah norma yang layak dibaca untuk direnungkan sebagai bagian dari syarat kemanusiaan.” (“Antara Tragedi, Karma, dan Nestapa”, hal. xvii)

Agak menyimpang dengan pandangan Soesilo Toer, saya justru melihat cerita-cerita karangan Gunawan Budi Susanto masih dalam koridor fiksi yang patuh pada norma-norma sastra. Pandangan ini terutama tak bisa dilepaskan dari latarbelakang biografis sang pengarang yang pernah menghabiskan 13,5 tahun dari masa hidupnya di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro. Benar bahwa cerita-cerita Sang Pengarang memiliki visi pembebasan diri ala kaum Buddhis dari trauma sejarah yang mengungkungnya hingga sekarang. Benar pula bahwa cerita-cerita yang terkumpul dalam buku Penjagal Itu Telah Mati merupkan usaha pembebasan diri Sang Pengarang dari tragedi sejarah yang masih memiliki konsekuensi logis hingga ke peristiwa-peristiwa masa kini dan masa nanti. Namun, sebagai orang yang terdidik secara kritis dalam tradisi kritik sastra, Gunawan Budi Susanto, secara sadar maupun bawah sadar, berusaha memenuhi norma-norma sastra dalam penulisan cerita tanpa kehilangan inovasi dalam menuangkan cerita-ceritanya. Persis di sinilah saya kira strategi literer Gunawan Budi Susanto mengagetkan diri saya serta mengingatkan saya pada diktum yang sering diutarakan Carlos Fuentes. Sadar bahwa sejarah telah dipalsukan sedemikian rupa oleh rezim otoriter-birokratik-militeristik Orde Baru, Gunawan Budi Susanto kemudian menggunakan strategi lain untuk menuturkan sejarah tandingan dari versi sejarah resmi ciptaan Orde Baru,yakni lewat media cerita. Mungkin hanya dengan ini ia akan bisa meyakinkan pembaca sebagaimana Carlos Fuentes meyakinkan cara terbaik orang menemukan sejarah yang telah dikacaukan oleh rezim kekuasaan otoriter: “Hanya lewat cerita orang bisa membayangkan sejarah sebenarnya seperti apa.”

Gunawan Budi Susanto mencoba menempatkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu bukan lagi sebagai fakta sejarah, melainkan sebagai sebuah fiksi. Itulah sebabnya solilokui tokoh aku maupun rangkaian peristiwa dari tokoh-tokoh penuh nestapa akibat rezim otoriter-birokratik-militeristik Orde Baru yang bisa dikonfirmasi secara langsung pada tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh sang penulis diniatkan sebagai sebuah fiksi. Simaklah, misalnya, apa yang diungkapkan oleh aku si pencerita yang hadir secara indah dalam cerita “Ibu Terus-menerus Bungkam”, terutama pada sisi dimana sang pencerita melakukan kritik terhadap dunia para penulis sastra Indonesia masa kini yang lebih mengutamakan popularitas dan keberlimpahan finansial alih-alih membanggakan kualitas literer penulisnya. Dengan menempatkan aku si pencerita sebagai seorang penulis novel yang memiliki tautan erat dengan trauma sejarah 1965, ia berkata:

“Bukan, aku bukan hendak mencari popularitas. Sampeyan tahu itu. Aku juga tak hendak mencari keuntungan finansial. Aku pun, sampeyan percaya atau tidak, tak punya pretensi menulis karya spektakuler secara literer. Menjadi seniman, menjadi sastrawan, atau lebih tepat menjadi novelis, bukan bagian dari hasrat hidupku.… Aku menulis sejarah kelam keluarga kami semata-mata agar kelak lebih mudah berterima ketika anak-anakku membaca.… Aku tak mau mereka tak mengenali sejarah keluarga mereka, seburuk dan sekelam apa pun.” (“Ibu Terus-menerus Bungkam”, hal. 19–20)

Membaca bagian yang dikutip di atas membuat ingatan saya melenting pada karya Orhan Pamuk yang berjudul Snow. Meski tokoh utama dalam novel ini adalah Ka, Pamuk seperti membangun humornya sendiri dengan memasukkan tokoh Orhan yang mudah diidentifikasi sebagai dirinya. Kejadian yang serupa juga terjadi di novel My Name is Red ketika ia memasukkan nama ibunya sebagai salah satu tokoh dalam novel sangat ambisius yang mengisahkan tentang senjakala kecemerlangan dunia seni-budaya Turki di abad ke-16 dan pasang naiknya kebudayaan Barat yang memperkenalkan perspektif dalam teknik seni lukis. Selain Pamuk, penulis Tiongkok yang beberapa tahun lalu diganjar hadiah nobel, Mo Yan, juga memiliki kebiasaan memasukkan nama orang yang akrab dalam kehidupan pribadi pengarang ke dalam cerita-ceritanya. Bila Pamuk dan Mo Yan mengekstrapolasikan tokoh-tokoh nyata dalam kehidupan pribadi mereka sebegitu rupa, Gunawan Budi Susanto seperti menantang pembaca untuk tak hanya melihat fakta-fakta keras keluarganya sebagai fiksi, tetapi nyelonongnya biografi asli sang penulis juga harus diperlakukan sebagai fiksi, bukan kisah senyatanya.

Preseden fiksionalisasi diri sang penulis dalam ceritanya ini muncul kembali dalam cerita “Luka Itu Terperam Dalam-Dalam” (hal. 106). Tokoh aku si pencerita — setelah berhasil memperoleh pencerahan batin secara personal dengan cara memindahkan seluruh pergulatan pikirannya ke dalam bentuk cerita — menjelaskan posisi atau kedudukan serta tujuan penulisan cerita-ceritanya kepada para pembaca.

“Cerpen saya memuat sedikit saja fakta yang kami atau orang-orang yang kami kenal alami sebagai basis penceritaan. Semua saya ungkap dari sudut pandang korban: yang dikalahkan dan terus menerus disalahkan. Saya tak mengumbar penderitaan, saya tak menjaring iba dari siapa pun. Mula-mula saya bercerita untuk diri pribadi. Lalu berkembang sebagai upaya membasuh luka, menghilangkan dendam dan kebencian bagi keluarga kami.…” (“Luka Itu Terperam Dalam-Dalam”, hal. 106)

Dari Warisan Sangkar Burung Bapak hingga Menyambut Isi Bokor Kencana:

Jalan Berliku menuju Rekonsiliasi dengan Masa Lalu

Kutipan yang diambil dari salah satu bagian cerita “Penembang Malam” sengaja saya letakkan di bagian paling atas tulisan ini sebagai ikhtiar dalam merangkum keseluruhan cerita yang dibukukan dalam Penjagal Itu Telah Mati. Dengan demikian, saya berusaha “menulis ulang” seluruh cerita dalam buku ini dalam satu narasi yang utuh. Itulah sebabnya saya cenderung menganggap Penjagal Itu Telah Mati bukan sebagai kumpulan cerita, melainkan sebagai sebuah novel dengan pembagian bab-bab yang bisa berdiri sendiri sebagai sebuah cerita pendek. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh pengalaman membaca AMoveable Feast — kumpulan cerita pendek tentang Hemingway sendiri selama ia menetap di Paris pada 1920-an, yang bisa kita baca sebagai sebuah novel dengan tokoh Hemingway dan para penulis kelompok Paris yang berputar di sekeliling Gertrude Stein dan Sylvia Beach dan toko buku Shakespeare and co. — dan Dubliners karya Joyce yang pada hakikatnya sebuah karya utuh yang secara simbolik bercerita tentang orang-orang Kota Dublin.

Dalam hal ini, kebiasaan sang tokoh penembang malam dalam cerita “Penjagal Itu Telah Mati” yang setiap malam membuat sangkar sembari menembang itu menjadi pelatuk bagi berlahirannya tragedi 1965 dan berbagai macam konsekuensi yang mengikuti diri dan keluarganya. Tak hanya menjadi pelatuk bagi lahirnya berbagai hal buruk yang menimpan diri dan keluarga korban, ia akhirnya juga mengantarkan anak keturunannya pada jalan kebahagiaan dan kesentosaan. Bagaimana hal itu dimungkinkan? Beginilah kira-kira paparannya.

Bagi orang Jawa atau pembaca yang akrab dengan mistisisme Jawa atau Buddhis, tindakan tokoh Ripan dalam cerita “Penembang Malam” yang setiap malam menghabiskan waktu dengan membuat sangkar burung sembari menembang bukan hanya dimaknai sebagai kegiatan menghabiskan waktu karena tak bisa memejamkan mata di tempat tidur. Seperti yang dikatakan oleh Mbah Dirgo, dalam laku membuat sangkar sembari menembang itu, Ripan sekaligus melakukan semadi, tenggelam dalam permenungan tentang hidup yang dijalaninya lewat pendekatan diri pada Sang Hyang Tunggal, Tuhan Yang Maha Esa. Tembang, wirid, atau mantra adalah media yang biasa dipakai oleh orang-orang yang ingin membersihkan batin dan kehidupannya demi impian penyatuan diri dengan Yang Maha Kuasa. Dalam ajaran Buddhis, terutama mereka yang meyakini mukjizat sutra Raja Agung Avalokitesvara, laku yang dilakukan Ripan dengan menembang sembari membuat sangkar burung itu demi menyingkap “sandi alam suci” atau yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan unen-unen “ngerti sakdurunge winarah” (mengerti sebelum diberitahu). Dalam penyatuan diri dengan Sang Hyang Tunggal lewat tembang itu barangkali Ripan mendapatkan percikan atau gambaran masa depan diri dan anak-cucunya kelak. Kalau Soesilo Toer mengatakan tentang karmadalam pengantar di awal buku, maka lewat laku hampir tiap malam itulah Ripan melaksanakan darma semampunya untuk menghindarkan derita yang jauh lebih besar bagi anak dan cucunya di masa depan.

Darimana asal-mula bencana itu sendiri tak diketahui oleh Ripan yang merupakan ayah sang tokoh aku. Hanya ketika geger 1965 meluas kemana-mana dan semua orang yang dianggap terlibat dengan PKI ditanggapi, Ripan mengerti sampai batas mana ia mesti memainkan peran di dunia ini. Momen-momen selama ia berusaha melakukan penyatuan diri dengan Sang Hyang Tunggal melahirkan kepercayaan diri pada dirinya ketika ia dan istri serta anaknya yang paling kecil ditahan:

“Tidak, Mas Dirgo, saya tidak takabur. Saya tahu, saya melawan kekuatan tak kasat mata yang begitu luar biasa menentukan mati-hidup kita. Namun mereka buka Gusti Allah, Mas.… Saya mau mati, asal istri tetap hidup.” (“Penembang Malam”, hal. 77)

Dan hari kematian Ripan ditentukan ketika ia dibon atau diculik dari tahanan dan dibawa keluar kota. Tak ada yang tahu dimana persisnya ia dibunuh. Namun, sejak itulah, sang istri, tokoh aku dengan kakak dan adiknya, serta saudara dan tetangga yang dianggap sehaluan dengan mereka mengalami derita, trauma, dan dendam tak terperi sembari hidup dalam badai tragedi 1965 dan lika-liku kehidupan yang mereka jalani sesudah peristiwa berdarah itu. Inilah hidup yang di kemudian hari disimbolisasikan oleh Ripan dalam laku membuat sangkar burung. Hanya bedanya, tokoh-tokoh yang ada dalam “Penjagal Itu Telah Mati” tidak hidup di sangkar burung nyata, namun dalam sangkar ingatan dan sejarah yang membuat mereka terpenjara selama puluhan tahun. Tokoh aku sendiri, misalnya, sampai cerita ini berakhir tak bisa melupakan peristiwa ketika dirinya dibentak-bentak tentara penjaga sembari mereka memasukkan makanan yang dibawa Mbok Nah ke dalam dua drum yang biasanya dipakai sebagai wadah aspal. Adik lelakinya, Om Bandrio, sampai sebelum mengisahkan siapa dirinya yang sebenarnya kepada anak dan istri sendiri, selalu dihantui tentang kenangan semasa di penjara.

“Bayangan ibu dibentak-bentak dan ditampar menumbuhkan kemarahan, kebencian, dendam tak berkesudahan. Pada siapa? Pada tentara, pada semua yang berbaju loreng, yang selalu berwajah bengis dan gampang memberualkan ludah dari mulut bacin mereka setiap saat.” (“Akhirnya Om Bandrio Pun Bicara”, hal. 96)

Derita dan trauma ini tak hanya dialami oleh keluarga tokoh aku, tetapi dialami pula oleh sepasang manusia yang berhasil selamat dan terus bertahan hidup setelah tragedi Oktober 1965. Tokoh perempuan dalam cerita “Tak Kau Dengarkah Suara Moetiah” mengakui bahwa “setelah dilepas dari kamp tahanan, bahkan mendengar bunyi ban motor meletus di jalanan pun sudah membuatku gemetar dan meringkuk di sembarang tempat” (“Tak Kau Dengarkah Suara Moetiah”, hal. 142). Orang tak mengira bahwa kekejaman yang serupa akan terulang pada Mei 1998, ketika seorang perempuan keturunan Tionghoa yang kakeknya juga lenyap dengan status korban 1965 mengalami tragedi seperti banyak perempuan di akhir 1965 hingga tahun-tahun 1970-an. Mei Hwa mengenang bahwa

“Setiap orang yang menjenguk ke kamar perawatan bersikap baik padaku. Namun aku ketakutan setiap kaliada lelaki, entah siapa, mungkin dokter, memasuki kamarku. Setiap kali berteriak ketakutan, sesaat kemudian aku tak tahu lagi apa yang terjadi.…” (“Mei Hwa”, hal. 60).

Sejak pecahnya peristiwa itu hingga sekarang, sebagian besar korban bahkan tak berani bercerita tentang pengalaman mereka selama tahun-tahun penuh bahaya itu. Dalam kata-kata Mbah Reso, ketakutan itu dikarenakan “saat itu seolah-olah setiap celah di dinding mampu menyimpan dan melaporkan perbuatan atau ucapan setiap warga negara yang bisa saja tak berkenan di hati sang jenderal” (“Aku Belum Tahu di Mana Kubur Bapak”, hal. 24).

Penderitaan, trauma, dan dendam tak terperi itu membuat tokoh-tokoh yang menjadi anak keturunan atau yang berkelindan di seputar anak keturunan Ripan sang penembang dan pembuat sangkar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membantu hanya dalam keheningan atau memantul-mantul di tengkorak kepala mereka. Adik sang tokoh aku, Om Bandrio, bertanya pada angin atau kegelapan malam atau pada nuraninya sendiri atas sikapnya dalam menyikapi orang-orang yang menaruh cap buruk dan menjauhi ia dan keluarganya.

“…apakah kita harus memusuhi mereka, memusuhi semua orang yang menjauhi kita? Apa yang harus kita lakukan untuk membuktikan kita tidak bersalah? Membuktikan orang tua kita tidak bersalah?” (“Akhirnya Om Bandrio Pun Bicara”, hal. 97)

Pertanyaan serupa juga dimunculkan oleh sang tokoh aku ketika ia ingin mengorek keterangan dari ibunya, mantan guru dan anggota Gerwani yang mengalami penyiksaan fisik mengerikan sehingga tak mampu mengisahkan masa-masa penahanan itu hingga akhir cerita.“Namun kenapa ibu tak bisa mengisahkan masa lebih kemudian dengan ketegaran yang sama, dengan kegarangan yang sama, bahkan dengan kebencian yang sama sekalipun seperti kebencian pada Jepang, seperti kebencian pada Belanda?”

Tokoh aku, seorang jurnalis yang juga memutuskan untuk menulis cerita-cerita tentang masa lalu keluarganya dengan cara menelusuri luweng kebenaran yang gelap dan bertebing curam demi harapan mendapatkan mata air yang bisa menyegarkan jiwa diri dan keluarganya sampai pada kesimpulan bahwa “aku memang masih terpenjara masa lalu, masih tersandera sejarah kelam keluarga kami, dan karena itu tak bisa membedakan mana riil, nyata, dan kasatmata, dan mana igauan, harapan, dan impian” (“Tamu dari Masa Lalu”, hal. 39). Pengakuan ini tak ada bedanya dengan pengakuan calon ibu mertuanya.

“Kini, ketika tak lagi di dalam bui, sesungguhnya aku tetap terpenjara. Terpenjara dalam tubuhku, terpenjara dalam rumah peninggalan suamiku, terpenjara dalam ingatanku pada kekelaman masa lalu.” (“Calon Mertuaku Ingin Menjadi Burung”, hal. 120)

Selama proses menelusuri luweng kebenaran yang gelap, lembab, dan bertebing curam itu, sang tokoh aku dan saudara-saudaranya secara sadar atau tidak sadar melakukan tindakan masokis seperti tak tidur hingga subuh atau terang tanah, menyakiti fisik mereka dengan berkelahi, atau bahkan mengurung diri di dalam rumahnya sendiri selama bertahun-tahun. Lewat petaka nestapa, hujatan, dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itulah mereka — dalam istilah Soesilo Toer — lahir baru dengan pencerahan yang menerangi batin bawah sadarnya. Itulah sebabnya, ketika Om Bandrio akan membuka misteri hidup yang telah menyiksanya puluhan tahun, tokoh aku berujar dengan tegas bahwa: “Kita memang harus membuka perkara itu. Harus kita bicarakan, biar semua belajar, hidup tak selicin celana yang baru diseterika” (“Akhirnya Om Bandrio Pun Bicara”, hal. 94–95). Hal ini didasari pertimbangan bahwa: “Cuma kita yang bisa membasuh luka, mengobati diri, dan melenyapkan rasa sakit itu perlahan-lahan. Bukan orang lain” (“Akhirnya Om Bandrio Pun Bicara”, hal. 98–99).

Munculnya kesadaran diri semacam ini, dalam pandangan saya, hanya bisa lahir ketika tokoh aku dalam “Penjagal Itu Telah Mati” melakukan tafsir kreatif atas laku hidup yang dulu dijalani oleh sang bapak lewat kebiasaan menembang dan membuat sangkar pada malam hari. Sebagai korban yang mengalami proses menyakitkan sebelum menemukan mata air yang segar begitu menelusuri sampai dalam luweng kebenaran sejarah tempat orangtua dan mereka yang senasib dengannya dibenamkan, tokoh aku menyiarkan temuan-temuannya kepada publik, termasuk mereka yang menjalani nasib seperti dirinya. Ketika ia diundang ke Kota K untuk berbicara tentang peristiwa tragis 1965 dan kemudian diajak untuk menemui keluarga S yang mengalami nasib seperti dirinya, ia menuturkan “bahwa membuka diri, mengisahkan masa lalu yang kelam bisa mengurangi beban penderitaan” (“Luka Itu Terperam Dalam-Dalam”, hal. 102). Ia memiliki keyakinan bahwa

“Makin kerap bercerita dan berbicara kian ringan hati saya. Saya pun belajar memaafkan. Namun saya tak menganggap tragedi 1965 patut dilupakan atau disangkal. Pemerintah wajib membuka kasus itu secara jujur dan ksatria, menyatakan siapa salah siapa benar, lalu merehabilitasi siapa pun yang diperlakukan secara tidak semestinya melewati batas-batas keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.” (“Luka Itu Terperam Dalam-Dalam, hal. 106)

Di titik inilah, tokoh aku tak lagi mempersoalkan kebungkaman ibunya setiap kali ditanya tentang masa-masa sejak 1960-an hingga 1970-an. Ia merasa menemukan pembebasan dirinya dari kekangan masa lalu dengan memutuskan bahwa

“Setiap petak tanah di mana pun di negeri ini adalah kuburan bapakku.… Penghargaanku pada tanah, rasa hormatku kepada setiap dan semua penggarap tanah, para petani, pekebun, adalah penghargaan dan penghormatan pada kubur bapakku.” (“Tamu dari Masa Lalu”, hal. 32)

Jalan inilah yang semula tidak ia sadari ketika menyimak cerita Mbah Dirgo tentang sosok sang bapak yang tiap malam membuat sangkar. Setelah zaman berganti dan orang-orang yang dulu dianggap terlibat dengan kasus 1965 bisa menghirup sedikit udara kebebasan, Mbah Dirgo memutuskan tetap merawat sangkar buatan almarhum bapak tokoh aku. Dalam pandangan Mbah Dirgo,

“Aku senang sekali ketika dia memberiku sebuah sangkar. Itulah sangkar terindah yang pernah kupunyai. Sampai sekarang sangkar itu masih kurawat, meski aku tak lagi memiara seekor burung pun.” (“Penembang Malam”, hal. 68)

Babak baru kehidupan tokoh aku dan keluarganya — dan demikian pula dengan tetangga, sahabat, atau orang-orang yang senasib dengannya — dimulai. Ia dan keluarganya bakal membangun cerita baru. Dalam “Calon Mertuaku Ingin Menjadi Burung”, tokoh aku berujar bahwa ia bakal membangun “cerita yang tak perlu muram, seperti ketika kami mampu menikmati kegembiraan-kegembiraan kecil saat mendengar cericit burung yang terbang dan hinggap dari dahan ke dahan di pepohonan” (“Calon Mertuaku Ingin Menjadi Burung”, hal. 117). Cerita-cerita selanjutnya, yang bakal lahir dari tokoh aku yang juga seorang jurnalis dan penulis cerita, bisa diibaratkan dengan pembangunan museum sangkar untuk bapaknya. Atau ia akan mengikuti kebiasaan sang bapak, dengan menghabiskan malam-malamnya yang hening dengan membuat sangkar dengan menembangkan kidung sebagai sebuah laku semadi. Namun, bukan sangkar burung yang memiliki pintu yang dikunci. Sangkar burung buatannya adalah sangkar burung yang memiliki dua atau lebih pintu sehingga burung-burung yang masuk ke dalamnya bisa keluar lagi dengan bebas.

Kini, ia berharap saat sedang membuat museum sangkar yang tiada lain berisi sangkar-sangkar yang bisa menjadi sarang burung sejati sembari menembang itu, Dewa yang sedang melanglang jagat turun dan menyerahkan isi bokor emasnya pada diri dan keluarganya!

[Bersambung…]

--

--