Negara, Adat dan Pendisiplinan Ulayat Nagari Sumatera Barat

Literasi.co
Literasi
Published in
8 min readMar 18, 2017

[caption id=”attachment_4958" align=”aligncenter” width=”940"]

Ilustrasi oleh Dzikri Hendika[/caption]

Pengantar

Tanah ulayat merupakan unsur dasar kepemilikan komunal dalam ber-adat. Ulayat tidak bisa dinilai hanya dari aspek bagaimana ia menunjang ekonomi masyarakat, melainkan sebagai simbol sosial, budaya dan kepercayaan yang ada di dalam masyarakat adat (Wignjsoebroto, 1995). Peran strategis ulayat adalah sebagai harta kekayaan yang keadaannya bersifat tetap/abadi serta fakta hubungan antara orang/persekutuan dengan hak ulayat nya masing-masing dan dikelola berdasarkan norma-norma adat yang sudah turun-temurun dipertahankan oleh adat. Di Nagari hak ulayat dikelola oleh ninik mamak sebagai representasi adat Minangkabau. Ninik mamak memiliki kewenangan dalam menentukan dan mengatur pembagian tanah ulayat kepada suku-suku di bawah naungannya. Tanah ulayat tersebut dikelola secara komunal dan berdasarkan nilai-nilai adat Minangkabau serta hasilnya untuk menunjang perekonomian masyarakat-masyarakat antar suku di nagari.

Tulisan ini akan menjelaskan perubahan-perubahan kepengaturan hak ulayat nagari yang dilakukan oleh negara melalui Undang-undang, kebijakan, dan pendisiplinan masyarakat guna memperkuat legitimasi negara dalam mengkontrol kekayaan adat sejak dari periode kolonial sampai reformasi. Perubahan-perubahan pengaturan hak ulayat nagari secara sederhana disajikan dalam Gambar 1.

[caption id=”attachment_4957" align=”aligncenter” width=”940"]

Gambar 1. Perubahan-perubahan Pengaturan Hak ulayat Nagari[/caption]

Pendisiplinan Ulayat oleh rezim Negara dalam Nagari

Seiring hadir nya negara dalam nagari dengan berbagai macam pola-pola pendisiplinan dan kontrol terhadap aspek-aspek kedaulatan negara termasuk tanah dan kontrol masyarakat melalui norma-norma yang diregulasi oleh negara. Terjadinya penjajahan atas suatu negara pada hakikatnya bertujuan merebut aset-aset adat khususnya hak ulayat. Tidak hanya kelompok besar seperti negara, kelompok kecil bahkan individu selalu muncul keinginan kuat untuk memperoleh tanah dengan berbagai macam cara (Kurnia, 2010). Sejarah telah membuktikan, masuknya pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia tak lain berawal dari perebutan tanah-tanah di Nusantara yang umumnya produktif, pada saat itu muncul tuan-tuan tanah dari kalangan bangsa Eropa dengan mendesak hak-hak atas tanah Bumiputera.

Melalui domeinverklaring yang dimuat dalam Pasal 1 Agrarische Besluit (AB. №118 Tahun 1870), pemerintah kolonial mengklaim seluruh tanah di Hindia Belanda, baik hak atas tanah perseorangan ataupun persekutuan hukum adat sebagai tanah milik negara, sejauh tak dapat dibuktikan eigendom-nya (kepemilikannya) (Kurnia, 2010). Kolonial memainkan dominasi nya melalui pendisiplinan administratif berbentuk undang-undang yang dipaksakan kepada masyarakat untuk mengikutinya (Wignjsoebroto, 1995). Dampaknya, hak ulayat yang saat itu umumnya terbengkalai, atau dibiarkan tak tergarap karena memang direncanakan untuk aset perekonomian bagi keturunan, jauh lebih mudah untuk diklaim sebagai kepemilikan negara bagi pemerintah Belanda. Kepengaturan ini berdampak pada hilangnya tanah ulayat nagari pada masa itu yang tidak memiliki bukti kepemilikan administratif, karena kepemilikannya hanya diatur dalam undang-undang adat nan ampek sebagai dasar pembagian tanah ulayat yang kewenangannya diatur oleh ninik mamak. Hukum-hukum formal kolonial seperti Agrarische Besluit menggeser posisi hukum adat nan ampek yang dianggap sebagai kepengaturan informal dalam bentuk negara. Rezim kolonial masa itu juga mendekati tokoh-tokoh adat nagari dalam hal ini penghulu dan ninik mamak untuk diintegrasikan ke dalam negara guna memperkuat legitimasi otoritas kontrol masyarakat Minangkabau atas rezim kolonial (Wignjsoebroto, 1995).

Rezim kolonial runtuh, kedaulatan kembali kepada masyarakat pribumi dan memerdekakan diri dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menjamin kebebasan masyarakat yang tersampaikan di dalam UUD 1945. Momen ini membuat nagari juga terlepas dari kontrol sentralistik rezim, untuk sementara masyarakat adat dapat menikmati hak ulayat yang kembali ke pangkuan ninik mamak. Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria (UUPA) dan melalui ketentuan Pasal 3 hak ulayat itu diakui eksistensinya sepanjang kenyataanya masih ada. Dalam penjelasan umum UUPA poin 2 ditegaskan bahwa hubungan Negara dan hak ulayat, bahwa negara mengemban kepemilikan pasif dan tidak sepenuhnya melepas kontrol tanah kepada masyarakat. Namun, negara bukanlah dikonsepsikan sebagai pemilik aktif, karena jika demikian akan bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada negara yang merdeka dan modern (Harsono, 1974). Artinya, tanah ulayat masih perlu melalui proses administratif untuk kemudian diakui kepemilikannya. Dengan kata lain, rezim menerapkan pola kontrol administratif dan menerapkan unifikasi hukum formal dan hukum adat ke dalam negara untuk mengkoordinir adat agar tetap dibawah naungan negara (Kurnia, 2010).

Pada era Orde Baru, unsur Orde Lama dibersihkan dari pemerintahan nagari, corak nagari kemudian diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan rezim penguasa yang sentralistis. Rezim kemudian mengeluarkan kebijakan melalui UU №5/1979 yang mengubah pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa. Perubahan nagari ke bentuk desa bukan sekedar perubahan nama, melainkan norma-norma, orientasi dan kekayaan nagari diselaraskan dan diintegrasikan ke dalam negara. Rezim Orde Baru adalah pengulangan pola dominasi negara dalam menguasai dan mengintegrasikan adat pada rezim kolonial. Pada tahun 1984, negara melalui Keputusan Mendagri Nomor 27 Tahun 1984 Pasal 4 yang mengarahkan Kepala Desa menjadi penguasa dan otoritas tunggal dalam mengontrol dan memanfaatkan wilayah desa naungannya. Berlakunya keputusan tersebut juga mengubah pengelolaan hak ulayat yang awalnya dikelola oleh nagari menjadi dikuasai oleh negara dalam pemanfaatannya (Wignyodiputro, 1983), demikian juga rezim Orde Baru memberikan kesempatan pada investor untuk memanfaatkan sumber daya masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan jati dirinya, karena dalam masyarakat Minangkabau hak ulayat merupakan aset yang menandakan mereka adalah orang Minang. Sejak era ini, para investor dengan bebas atas seizin negara, dan menggunakan militer sebagai perlindungan, dapat memanfaatkan tanah ulayat untuk dibuat perusahaan besar dan perkebunan berbasis industri tanpa melibatkan masyarakat Minangkabau (Soemarjono, 2011). Penguasaan hak ulayat oleh negara memicu konflik dalam relasi nya dengan masyarakat Minangkabau akibat hak ulayat yang merupakan peninggalan leluhur adat Minangkabau yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat kembali dirampas oleh rezim dan jaringan-jaringan kekuasaannya.

Runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 menjadi momentum pembaharuan bagi distribusi otoritas ke Negara dan masyarakat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan peluang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang pada Orde Baru dilemahkan legitimasinya. Kebijakan ini pun direspon oleh Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional nomor 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat yang secara resmi dikembalikan ke adat dengan pengelolaannya pada pemimpin adat (Warman, 2006). Peraturan tersebut menyatakan bahwa hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu dan merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya (bukan milik perorangan). Selanjutnya ditegaskan bahwa subyek hak ulayat tersebut adalah persekutuan masyarakat hukum adat terkait, baik persekutuan berdasarkan teritorial, genealogis ataupun campuran (Soemarjono M. S., 2005). Bila mana seseorang tampil seakan-akan sebagai subyek hak ulayat, maka demikian bukanlah subyek hak, melainkan petugas masyarakat hukum adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari persekutuan masyarakat hukum adat. Demikian pula fungsi petugas negara yang pada hakikatnya diberi pelimpahan wewenang dari semua warga atas hak menguasai negara.

Ketentuan ini direspon oleh bangkitnya gerakan masyarakat nagari yang ingin menghidupkan kembali sistem nagari dan otoritas pengelolaan hak ulayat di dalamnya. Pada tahun 2000, Provinsi Sumatera Barat memberikan respon terhadap UU Desentralisasi dengan membentuk Peratutan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Dengan dikembalikannya bentuk pemerintahan terendah kembali ke bentuk nagari, melalui ketentuan tersebut ditegaskan pula wilayah dan batas nagari beserta hak ulayat yang dikembalikan pengelolaannya kepada adat. Sehingga, untuk tahap awal sebanyak 250 dari 543 daerah di Sumatera Barat telah memulai pemerintahan berbentuk nagari beserta penerapan ketentuan hak ulayat. Meskipun telah kembali bernagari, nagari tidak semena-mena dalam memanfaatkan kebebasan yang telah diberikan oleh pemerintah kabupaten. Karena untuk membatasi kekuasaan dalam pengelolaan hak ulayat, tanah masih perlu memenuhi syarat-syarat administratif seperti perlu didaftarkan didalam Badan Pertanahan Kabupaten dengan dalih agar tidak diklaim dalam kepemilikan oleh oknum-oknum yang semena-mena (Soemarjono M. S., 2005).

Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan seluas-luasnya dan toleransi terhadap pengelolaan nilai lokal yang berkembang di daerah-daerah. Atas respon terhadap kebijakan tersebut dikeluarkan pula keputusan negara melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal baik konteks nasional maupun daerah. Kebijakan ini diterapkan oleh negara dengan tujuan untuk pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia dimana diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam negara maupun luar negara. Atas kebijakan ini, negara membuka seluas-luasnya kesempatan bagi para investor untuk menanamkan modalnya dalam skala lokal maupun nasional (Kurnia, 2010). Merespon kewenangan lebih luas pada otonomi daerah dan sekaligus memancing investasi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengesahkan Perda Propinsi Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Perda tersebut merupakan acuan oleh pihak terkait dalam penanaman modal, sehingga dapat menimbulkan kepastian hukum dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh investor di Sumatera Barat dan sekaligus menekan potensi konflik.

Namun konflik terus bertumbuh. Akibat dikeluarkannya kebijakan tersebut, sejak 2008 di Sumatera Barat telah terjadi 218 konflik tanah ulayat dengan luas 119.299 hektar yang melibatkan perkebunan sawit. Rata-rata ada 10–20 konflik tanah setiap tahunnya di Sumatera Barat dengan peningkatan 30% pertahun (Soemarjono M. , 2011). Selanjutnya, dampak lain dari perda tersebut mengakibatkan tanah ulayat dimaknai sebagai perebutan ruang kontestasi antara negara, perusahaan, ninik mamak dan masyarakat. Ada beberapa pola konflik yang timbul akibat perebutan tanah ulayat tersebut. Pertama, menguatnya kewenangan ninik mamak dalam mengelola adat dan tanah ulayat menimbulkan benturan otoritas antara negara yang bekerjasama dengan perusahaan untuk menanamkan modal di tanah ulayat namun mendapatkan penolakan dari ninik mamak karena merasa memiliki hak dalam menerima maupun menolak pembangunan. Pola kedua, negara dan perusahaan berusaha mendekati ninik mamak untuk kemudian mengintegrasikan ninik mamak kedalam kesepakatan agar jaringan kekuasaan ini memiliki otoritas penuh dalam mengelola tanah ulayat. Seringkali, ninik mamak menyepakati keterlibatan ini tanpa melalui forum adat, sehingga akhirnya masyarakat memberikan reaksi penolakan dan menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap tokoh adat era kontemporer (Kurnia, 2010).

Relasi Negara dan Ulayat Nagari

Di Sumatera Barat, berbeda dengan hak menguasai nagari atas tanah ulayat yang dari semula tak perlu didaftarkan, dengan dalih sebagai hak kepemilikan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional №9 Tahun 2015 membuka kesempatan untuk sertifikasi atas tanah ulayat sebagai hak milik komunal atas nama anggota masyarakat hukum adat, pengurus koperasi atau unit desa/nagari dan kepala adat sesuai dengan keputusan (Nurdin, 2015). Kebijakan ini dapat berakibat mudah terhapusnya hak ulayat. Pada satu sisi benar, bahwa kepastian hak atas tanah ulayat akan terjamin dengan adanya sertifikasi, namun pada sisi lain akan mempermudah terjadinya peralihan hak ulayat jika subyek hal tertera tidak mempunyai tanggung jawab komunal (Nurdin, 2015).

Bila peralihan hak atas tanah ulayat itu terjadi, satu sendi utama adat matrilineal berarti telah runtuh. Dalam sistem kekerabatan matrilineal, pola hubungan mamak jo kamanakan (mamak dengan kemenkan) sangat penting dan nyaris sejajar dengan hubungan orangtua dengan anak. Kedua hubungan itu saling melengkapi tanpa satu sama lain dapat dikalahkan. Ungkapan adat menyatakan “Anak dipangku, Kemenakan dibimbing. Anak dipangku jo pancarian, kamanakan dibimbiang jo pusako.” Inti ungkapan adat tersebut adalah bahwa seorang ayah di Minangkabau tidak terbatas kepada anak, melainkan juga kemenakan. Bila anak harus dibesarkan dengan harta pencaharian ayah, maka kemenakan dibesarkan dengan harta pusaka yang dalam hal ini termasuk tanah ulayat. Ungkapan adat tersebut menggambarkan keterhubungan masyarakat nagari dengan ulayat-nya sebagai harta yang diwariskan untuk beberapa generasi adat Minangkabau. Namun, relasi negara dan nagari dalam hak ulayat yang dapat dilihat melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional №9 Tahun 2015 mengabaikan ketentuan nilai-nilai adat tersebut (Nurdin, 2015).

Dalam beberapa periode ini terlihat bahwa ketidaktulusan negara dalam mengimplementasikan pengakuan konstitusional hak-hak adat seperti ulayat terlihat dalam pembatasan-pembatasan kewenangan yang dilakukan dalam pengaturan-pengaturan turunan dari ketentuan perundang-undangan maupun peraturan menteri-menteri. Meskipun semakin kesini pengaturan terhadap ulayat semakin memberikan kewenangan terhadap adat untuk pengelolaannya namun, proses unifikasi adat kedalam negara masih terus dilakukan salah satunya dengan cara mengintegrasikan hukum adat ke dalam hukum modern negara, hal ini merupakan alasan dasar agar kontrol sumberdaya tetap tersentralistik. negara melalui pendisiplinan-nya hadir untuk mengatur sedemikian rupa kepemilikan ulayat tersebut. Ketentuan-ketentuan yang mengatur ulayat pun sifatnya tidak tetap, berubah-ubah menyesuaikan kepentingan negara, melalui ketentuan-ketentuan hukum modern seperti undang-undang, peraturan menteri dan peraturan daerah mengenai ulayat, yang masih cenderung membatasi kekuasaan adat dalam mengelola ulayat mereka sendiri.

Daftar Pustaka

Harsono, B. (1974). Undang-undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan dan Pelaksanaanya. Jakarta: Jiid 2.

Kurnia, W. (2010). Hukum Agraria dalam masyarakat majemuk: Dinamika interaksi hukum adat dan hukum Negara di Sumatera Barat. Jakarta: KITLV.

Nurdin, Z. (2015). Dilema Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Investasi di Sumatera Barat pada Norma dan Immplementasi. Jurnal Media Hukum .

Soemarjono, M. (2011). Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soemarjono, M. S. (2005). Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Warman, K. (2006). Ganggam Menjadi Hak Milik. Padang: Andalas University Press.

Wignjsoebroto, S. (1995). Dari hukum kolonial ke hukum nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Wignyodiputro, S. (1983). Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)