Penggoreng yang Bagus dan Turun ke Urutsewu (Bagian II)

Literasi.co
Literasi
Published in
4 min readJun 29, 2015

[caption id=”attachment_3516" align=”aligncenter” width=”600"]

Foto: Salah satu sesi dari Bengkel Menulis.[/caption]

Oleh Muhammad Yasir1

Setelah pertemuan Bengkel Menulis GLI berakhir, semua orang bertepuk tangan. Bukan karena euforia, tapi karena semua peserta sudah sah menjadi anggota GLI. Semua karya peserta pun diapresiasi. Cara mereka — fasilitator dan anggota GLI lainnya — mengapresiasi karya dari semua peserta terbilang unik. Menurut saya. Begini jika saya runutkan acara tersebut; Setiap peserta membacakan karyanya. Baik yang esei, cerpen, dan puisi. Acara tersebut tidak semeriah acara apresiasi pada umumnya, karena bukan kemeriahan yang dicari. Namun, bagaimana cara menghargai karya orang lain. Itu yang membuat acara tersebut menjadi menarik. Saya pun tertarik untuk mengikuti jejak langkah GLI. Maka dari itu, sampai sekarang saya masih berkutat dalam lingkaran diskusi atau apapun yang dilakukan oleh GLI.

GLI adalah alat penggoreng yang bagus:?Mungkin saudara-saudara bertanya-tanya, mengapa saya mengatakan GLI adalah alat penggoreng yang bagus. Untuk itu, saya akan mencoba menjelaskannya secara singkat;

Sebuah organisasi hampir semuanya sama. Yaitu, membutuhkan massa. Dan setiap organisasi memiliki cara yang berbeda dalam mencari massa. Nah, yang menjadi pembeda GLI dengan organisasi lainnya adalah cara mencari massa-nya. Dan itu sudah saya ceritakan pada tulisan saya sebelumnya. Mungkin saudara-saudara bisa membacanya di tulisan itu. Dalam tubuh GLI sendiri, terdapat orang-orang yang tampaknya mengerti sejarah dan cara bergerak — setidaknya itu yang saya pahami. “Berpisah dari rakyat adalah bahaya.” Itu adalah kalimat-kalimat yang sering saya dengar dari anggota GLI. Dan saya semakin tertarik untuk berproses di GLI.

Tujuan saya mungkin sederhana; agar tahu bagaimana mereka yang tertindas, seluk-beluk permasalahan, segala tetek-bengek, dan bagaimana cara bergerak yang lebih tertata. Dari GLI juga, saya bisa melawan diri saya sendiri — kemalasan membaca buku. Memang tidak mudah melawan diri sendiri. Tetapi, seorang teman memberikan sebuah formula yang jitu kepada saya. Formula tersebut seperti ini; biasakan membaca buku teori satu jam saat bangun tidur di pagi hari dan membaca satu jam di sore hari. Mungkin formula ini bisa saudara-saudara jalankan. Dan harus serius menjalankannya.

Buku pertama yang saya baca, tepatnya novel, adalah Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Setelah membaca Tetralogi Pulau Buru ini, semakin bertambahlah kegelisahan saya. Karena dalam buku tersebut berderet permasalahan-permasalah yang sebelumnya tak terpikirkan oleh saya.

Terjun langsung ke Urut Sewu

“Percuma jika kau menulis puisi yang berdasar pada kegelisahan sosial, hukum, keadilan, dan semacamnya, tetapi kau tidak turun langsung ke jalan dan melihat bagaimana keadaan mereka yang ditindas dan mereka yang dirampas haknya. Percuma jika kau berhenti hanya sampai di sini.” Ucapan itulah yang menjelma menjadi setan yang selalu menghantui saya, sehingga akhirnya saya mengambil sikap untuk ikut berjuang bersama mereka — orang-orang GLI.

Apa sebenarnya yang terjadi di Urutsewu? Mari, akan saya bawa saudara-saudara ke duduk perkara dengan catatan, tulisan di bawah hanya sebagian kecil yang bisa saya utarakan pada tulisan ini.

Urutsewu adalah sebutan untuk suatu wilayah di Jawa Tengah, yang mana sebagian wilayahnya adalah daerah pantai. Cukup panjang dan berpotensi. Nah, sayangnya, sebagian wilayahnya — 500 meter dari bibir pantai ke pemukiman warga yang mayoritas petani — diklaim oleh kacang ijo hidup, bahwa, tanah itu adalah milik negara dan mereka memiliki hak untuk memakai sebagian wilayah tersebut sebagai tempat latihan. Latihan apa? Tidak jelas.

Awalnya — sebelum adanya klaim — kacang ijo hidup itu membuat sebuah pernyataan bahwa, mereka hanya meminjam. Namun, lama-kelamaan mereka mengklaim wilayah itu adalah milik negara dan mereka merasa bertambah kuat dengan adanya klaim dukungan negara. Padahal, sebagian wilayah tersebut milik warga. Dan warga memiliki akta atau surat tanah yang menunjukan bahwa sebagian besar wilayah tersebut adalah milik warga. Saking tingginya hasrat untuk memiliki hak orang lain, kacang ijo hidup tersebut membentengi wilayah yang mereka klaim itu dengan pagar beton berkawat — dulunya hanya berupa patok dari kayu. Demikian menurut seorang tokoh dari Urutsewu yang saya jumpai.

Tidak hanya mengklaim wilayah, peluru mereka juga pernah mengenai warga — entah bagaimana itu bisa terjadi, saya kurang mengetahuinya dan saya lupa tanggal dan tahun terjadinya. Yang jelas peristiwa itu terjadi di bulan April.

Di sana, warga dilarang menanam pohon atau mendirikan tambak udang di wilayah yang sudah diklaim milik kacang ijo hidup. Jika ada yang berani melanggar, kacang ijo hidup tidak akan segan-segan untuk menghancurkannya.

Ironis betul nasib warga di sana. Sempat sesekali saya meneteskan air mata. Saya bukan orang yang cengeng. Hanya saja waktu itu, saya terkejut, bahwa ada peristiwa yang semacam ini terjadi.

Setelah turun langsung ke Urutsewu tersebutlah, kegelisahan saya semakin menjadi. Kegelisahan semakin menghantui saya. Hingga kemudian saya mengabadikannya dalam satu puisi yang saya tulis di Urutsewu. Judulnya ‘Kedaulatan Petani dari Urutsewu’.

Memang beda jika kita menulis hanya mengikuti imajinasi dengan turun langsung ke jalan. Itulah yang saya alami. Mungkin tidak sebagian besar seorang pemula mengalami seperti apa yang saya alami. Atau bahkan mereka yang paham dengan dunia tulisan sekalipun.

Pengalaman pertama menyaksikan bagaimana orang tertindas dan bertemu langsung dengan si penindas, membuat jiwa saya tergetar. Percaya atau tidak, itu kembali kepada saudara-saudara. Saudara-saudara bisa membuktikan langsung tentang apa yang saya tuliskan di sini. Dengan cara; saudara terjun langsung ke Urutsewu. Saya ucapkan terima kasih untuk GLI.

1 Peserta Bengkel Menulis GLI Angkatan ke-7

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)