Puthut EA: Nanti Saya Kerja Apa? Maka Ia Belajar Menulis dengan Serius

Literasi.co
Literasi
Published in
12 min readNov 3, 2014

Tulisan ini disarikan oleh Bosman Batubara dari hasil diskusi pada sesi Proses Kreatif pada 8 Oktober 2014 di Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI) Angkatan VIII.

[icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:17px’]3 November 2014

Petualangan dan Percobaan Menulis

Puthut EA, demikian namanya, seorang penulis yang produktif. Dalam kurun waktu 1999–2007, dia menulis lebih dari 120 cerpen yang sudah dibukukan dalam 7 buku. Publik mengenalnya sebagai cerpenis, meskipun dia sendiri lebih senang disebut sebagai penulis. Karena, pada dasarnya Puthut bukan hanya menulis cerpen, namun juga banyak buku yang dihasilkan dari berbagai penelitian. Kadang-kadang ada orang yang bertanya, kok Puthut sekarang sudah tidak menulis cerpen? Justru di sinilah letak penjelasannya, tahun-tahun belakangan ini dia memang tidak menulis cerpen yang dipublikasikan di media massa, namun sebagai seorang penulis, dia terus menulis buku.

Ketika diundang mengisi proses kreatif Bengkel Menulis GLI angkatan VIII pada awal Oktober 2014, Puthut tidak datang dengan segepok informasi yang mau dijejalkan kepada para peserta bengkel. Sebaliknya, dia memulai diskusi dengan bertanya, apa masalah-masalah yang dihadapi oleh para peserta dalam menulis cerpen?

Dari jawaban pesertalah diskusi berkembang. Salah seorang peserta Dhani, menjawab bahwa dia kesulitan membangun penokohan dan konflik dalam sebuah cerpen. Diskusan yang lain, Imam, menyatakan bahwa kesulitannya adalah membuat cerpen yang benar-benar cerpen. Maksudnya, Imam merasa kadang-kadang cerpen-cerpennya terlalu luas dan panjang.

Merespon itu, bagi Puthut pada dasarnya cerpen termasuk genre sastra kontemporer. Sampai sekarang tidak ada sebuah definisi yang menyatakan seberapa panjang atau seberapa pendek agar sebuah tulisan sah disebut cerpen. Kalau membaca cerpen-cerpen karya Gabriel Garcia Marquez misalnya, mereka sangat panjang. Demikian juga cerpen Ernest Hemingway. The Old Man and the Sea karya Hemingway disebut orang sebagai novelet. Meskipun sebenarnya dia bisa disebut juga sebagai cerpen yang panjang. Jadi, seorang penulis boleh menyebut karyanya apa saja.

Persoalan muncul ketika penulis mau mengirimkan karyanya ke media massa. Sebagai contoh, Media Indonesia, ruang cerpennya sekitar 1000–1500 kata. Kondisi-kondisi seperti itu yang membuat seorang penulis cerpen harus menyesuaikan tulisannya.

Bagi Puthut, menulis cerpen dan novel adalah dua hal yang berbeda. Menulis cerpen dia ibaratkan seperti berlari sprint 100 m. Sementara menulis novel seperti maraton. Kedua-duanya memiliki elemen yang sama, yaitu berlari. Menulis cerpen dan novel sama-sama mensyaratkan elemen penokohan dan alur. Tetapi keduanya memiliki taktik, syarat, dan pengendalian yang berbeda.

Dalam cerpen seorang penulis akan membedakannya dengan perspektif. Misalnya, apakah pakai perspektif orang pertama tunggal (aku) atau pakai ketiga tunggal (dia). Perspektif ini sangat penting. Dan seseorang tidak akan pernah paham kalau tidak mengalami sendiri proses penulisan. Langkah yang paling baik untuk masuk ke petualangan ini adalah dengan mencoba. Percobaan bisa dimulai dari tema-tema sederhana yang dekat dengan kita, misalnya pengalaman datang pertama kali ke Yogyakarta (bagi yang berasal dari luar Yogya).

Dari petualangan dalam percobaan itulah seorang penulis akan menemukan apa perbedaan perspektif dalam cerita. Dan selanjutnya, dia bisa memilih. Kalau misalnya ada sebuah tema, maka dengan strategis si penulis akan mampu menentukan bercerita dengan perspektif seperti apa.

Menulis adalah masalah persistensi. Ketekunan. Jadi yang pertama yang dibutuhkan untuk menjadi penulis bukanlah kecerdasan. Ada satu cerita bagus dalam proses belajar dari Eisntein. Suatu ketika, ada orang yang tidak bisa memecahkan permasalahan matematika, orang tersebut mengadu pada Eisntein. Jawaban Eisntein sederhana, dia menyarankan orang itu untuk membeli lem dan memasangnya pada kursi. Maksudnya, agar orang tersebut terus-menerus mencoba dan menghadapi permasalahannya. Dalam teori menulis, kondisi mentok dengan ide ini mungkin akan disebut dengan “writing block”. Namun Puthut tidak sepakat kalau seorang yang baru belajar menulis sudah menyebut kementokan seperti itu sebagai writing block. Karena pada dasarnya, writing block itu cuma ada untuk orang yang sudah selesai dengan teknik menulis.

Jadi, Puthut menyarankan kepada peserta Bengkel Menulis, kalau misalnya Anda mengalami mentok tadi, maka dia harus ditungguin hingga berhasil melewati permasalahan itu. Caranya bisa dengan meninggalkan pekerjaan Anda dalam waktu yang singkat, katakanlah 10 menit, setelah itu kembali lagi dilanjutkan. Sebab, sekali pekerjaan meninggalkan tulisan yang belum jadi ditolerir, maka besar kemungkinan kebiasaan itu akan terbawa ke belakang. Bisa jadi nanti seseorang membuat draft cerpen sebanyak sepuluh dalam satu bulan, tapi tidak ada satupun yang selesai. Dan ini tidak baik buat penulis. Sekali, dua kali, lama-lama akan menjadi kebiasaan meninggalkan tulisan yang tidak jadi. Jadi inilah salah satu tantangan terbesar penulis: menyelesaikan tantangan yang muncul dari dalam proses menulis itu sendiri. Tidak usah dulu berbicara soal baik dan buruk sebuah karya, karena itu ada dalam bagian apresiasi karya. Kalau sudah mahir, barulah berbicara bagaimana mengapresiasi karya.

Lantas bagaimana dengan konflik dalam sebuah cerita? Pada intinya semua keterampilan sastra atau bercerita itu adalah menyajikan peristiwa. Jadi kalau sebuah klimaks konflik diletakkan di depan, juga tidak masalah. Justru itu akan bagus untuk mengikat pembaca. Kalau di awal dia sudah terlebih dahulu diletakkan di depan, mengikat pembacanya, maka tinggal melanjutkannya.

Namun kebanyakan orang membangun konflik secara bertahap. Andai kita misalkan sebuah cerita ibarat tembok dengan batu-batanya, maka batu-bata itu bisa dianggap sebagai peritiwa. Dalam bercerita, mengurai sebuah tembok, bisa saja dimulai dari atas, langsung ke klimaks konflik. Atau sebaliknya, bisa saja dengan cara “membangun” tembok, dimulai satu lapis demi satu lapis dari bawah. Dan cara kedua inilah yang umum dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah. Jadi teknik membuka cerita dengan menyampaikan klimaks konflik di depan, sebenarnya lebih menantang. Meski sebenarnya, dalam sebuah cerita konflik bisa saja tidak dibangun atau dinaikkan, namun diturunkan.

Sebagai contoh. Ada peristiwa seseorang memecahkan gelas. Itulah potret klimaks. Lalu, diurai. Apa yang terjadi sebelum seseorang memecahkan gelas? Peristiwa-peristiwa apa yang mendahuluinya?

Dengan demikian seorang penulis tidak perlu terpaku pada pakem. Tetapi, sebagai modal awalnya, seorang penulis harus tahu apa itu konflik, harus tahu peta persoalannya. Itulah penegetahuan dasar. Selanjutnya adalah membuka pelan-pelan lapisan konflik itu.

Tenggelam dalam Dunia Tulis-Menulis

Seorang penulis pada awalnya adalah seorang pembaca. Kalau ada seorang penulis yang tidak suka membaca, maka agak anomali. Ada seorang filmmaker, tapi tidak suka menonton film, maka itu agak aneh. Puthut sendiri, suka membaca sejak kecil. Dan seperti biasa normalnya, ia lantas tenggelam dalam dunia fiksi. Dan kemudian ingin melakukan apa yang dilakukan orang terhadap dirinya. Lalu ia menulis.

Dia sudah mulai menulis di media massa sejak SMP. Ketika kuliah, dia justru berhenti menulis. Barulah setelah lulus kuliah, Puthtut menulis lagi. Namun kali ini sudah berbeda dengan waktu kecil. Ketika kecil,menulis murni berekspresi. Ketika mau lulus, Phutut muda sudah berhadapan dengan pertanyaan hidup: nanti saya kerja apa? Maka ia belajar menulis dengan serius. Ini adalah motivasi campuran seorang Puthut EA. Kuliah di Fakultas Filsafat UGM dan hampir tidak lulus, dia sadar bahwa dia akan susah mendapatkan pekerjaan. Jadi, mumpung masih ada sisa-sisa masa lalu yang dapat dipanggil. Maka jadilah dia seorang penulis. Menurut pengakuannya, dia lama hidup dari menulis di koran, salah satunya dengan menulis cerpen. Namun, sekali lagi, penulis. Bukan sastrawan.

Ada perbedaan. Puthut lebih senang menyebut orang seperti Pram sebagai penulis, bukan sastrawan. Bukan berarti ia meremehkan profesi sastrawan. Bahwa dirinya menulis cerpen agak banyak, pernah menulis novel, dan kemudian orang menyebutnya sastrawan, bagi Puthut EA itu terserah orang. Dengan demikian ia bisa menjawab tekanan sosial dari pertanyaan orang kalau ditanya mana karya terbaru. Tinggal menjawab singkat, banyak. Bukan sastra tapi.

Baginya sama saja apa pun bentuk tulisannya. Intinya kan bagaimana mengikat orang. Semakin lancar seseorang menulis, maka akan semakin mudah pembaca terikat di dalam tulisannya. Semakin banyak seorang penulis membuat magnet di dalam tulisannya, maka akan semakin banyak orang yang akan menempel di sana. Jadi sama saja antara fiksi dan non-fikis, elemen-elemennya saja yang berbeda.

Dirinya sendiri menjadi penulis cerpen karena termakan mitos yang berkembang dalam lingkarannya sewaktu masih kuliah. Ceritanya, di kantin Filsafat UGM dulu berkembang mitos bahwa seseorang sah sebagai penulis kalau sudah menulis di KOMPAS. Itu yang dia dengar dari orang-orang di kantin. Sekarang dia menyadari bahwa itu salah. Namun, satu hal yang dia akui dalam proses menulis di media massa adalah, adanya proses kurasi di sana. Setidaknya ada orang yang menyeleksi sebuah tulisan sebelum diputuskan dipublikasikan.

Bandingkan misalnya kalau seseorang menulis di blog pribadi, tidak ada proses kurasi sebelum sebuah tulisan dipublikasikan. Sangat masuk akal memang seorang redaksi sastra di media massa memiliki selera sendiri. Itu tidak bisa dipungkiri, dan tak perlu. Dari situ Puthut EA menyarankan agar organisasi seperti GLI dengan medianya Literasi.co juga memiliki sebuah ruang sastra. Ada proses kurasi cerpen di sana. Jadi membuat sebuah sistem. Pengisinya bisa para anggota GLI sendiri. Mungkin ini adalah salah satu perubahan zaman, bahwa generasi sekarang sudah bisa membuat sistem sendiri. Ini tentu saja berbeda dengan zamannya Phutut masih belajar menulis.

Dalam belajar menulis, dia menyarankan orang memulainya dengan cerpen atau esei. Di sini tak maksud menyepelekan bentuk karya tulis lain seperti puisi. Namun, dalam cerpen dan eseilah ada elemen-elemen menulis yang struktural. Yang metodologinya bisa terpegang.

Dalam cerpen, kalau seorang penulis gagal membuat penokohan, alamat gagal itu tulisan. Membangun konflik, itu jelas cara seorang penulis belajar. Jadi, strukturnya jelas. Selain itu, kalau ada penugasan, cerpen bisa relatif dibuat dengan cepat. Tidak seperti novel yang cenderung butuh waktu lebih panjang. Lewat cerpen akan terlihat, bagaimana orang membangun cerita, membangun karakter, dan thesa. Jelas. Kalau diibaratkan main gitar, jelas kunci-kunci apa yang harus dimainkan. Jadi, kalau berdiskusi soal seni, tidak langsung menghunjam ke permasalahan selera.

Meski begitu, bukan berarti Puthut menganaktirikan puisi. Karena dia mengaku juga suka membaca puisi. Yang susah adalah memakainya dalam proses belajar menulis. Dalam puisi, seorang penyair tidak wajib menyertakan elemen seperti penokohan. Meskipun ada elemen istimewa dalam puisi, seperti elemen puitik. Namun ini sangat susah untuk dijadikan sebagai metode belajar.

Tulisan Itu Seperti Bayi

Seorang penulis yang belajar sebaiknya jangan menyimpan tulisan seperti menyimpan kenangan terhadap mantan. Karena, kalau bukan untuk dibaca, lantas untuk apa seseorang menulis? Ya, tidak usah menulis saja. Kalau sebuah tulisan jadi, dia seperti bayi. Ya harus hidup, menemui pembacanya. Biarkan dia dikritik oleh orang. Kalau dia berguna, maka dia akan menemukan dunianya sendiri. Tapi, kembali lagi, itu hak personal seseorang.

Dalam prosesnya seorang penulis selalu melakukan editing. Yang jadi masalah adalah, kalau penulis tidak tahu kapan sebuah cerita sudah selesai, atau dirasa selesai. Kalau itu terjadi, itu sama halnya dengan menggantung tulisan. Jadi sebaiknya penulis harus punya prinsip, bisa mengawali, maka harus bisa mengakhiri. Anda seorang kreator, harus bisa menghentikan itu. Karena setiap medium ada batasnya. Penulis tidak bisa membiarkan tulisannya tanpa batas. Ini adalah hal lain yang harus dimiliki oleh seorang penulis, mengetahui kapan tulisannya sudah selesai. Dan sebenarnya ini bukan melulu permasalahan penulis. Perupa pun memiliki kecenderungan seperti itu, merasa bahwa karyanya belum jadi. Dengan kata lain, kalau seorang penulis tidak menghadapi situasi seperti ini, itu justru janggal.

Lalu, apa ukuran sebuah tulisan sudah selesai? Di sini seorang penulis berhadapan dengan elemen lain dalam tulisan bernama closing. Di sisi lain, opening adalah pintu yang membuat penulis bertemu dengan pembacanya dan mempersilakan mereka masuk. Ada masanya si penulis juga harus mengakhiri, melakukan penutupan. Esei juga demikian, ada opening, ada closing. Closing yang bagus ibarat orang habis makan dan tidak glege’an, tidak bersendawa. Atau, kalau makan ditutup dengan minum kopi. Closing yang menarik tergantung tema. Kalau esei, closing bisa berupa konklusi, bisa mengundang pertanyaan, atau justru memancing orang untuk menulis lagi. Jadi kita bisa menyatakan bahwa closing bisa berbeda, namun kita bisa bersepakat bahwa closing itu penting.

Phutut tidak mau terlalu menghabiskan waktu untuk berdiskusi soal judul tulisan. Memang benar, judul adalah hal pertama yang dilihat orang dari sebuah tulisan. Pemberian judul adalah sebuah strategi bagi seorang penulis. Karena judul seperti casing. Namun kalau sebuah tulisan memiliki judul bagus, namun isinya jelek, seorang pembaca laki-laki bisalah menganggapnya sebagai momen bertemu cewek cantik, namun si cewek tidak pernah mau sama si lelaki. Judul juga adalah bagian dari strategi pasar. Karena biasanya di toko buku, yang dilihat orang adalah judulnya, sampulnya, endorsement-nya, atau nama penulisnya. Karena biasanya di toko, buku-buku dibungkus dengan plastik. Kalaupun dibuka, tidak mungkin seorang calon pembeli membacanya di toko.

Namun pada akhirnya seorang pembaca tetaplah terikat pada nama seorang penulis. Mula-mula dia membaca karya seseorang, dia merasakan itu bagus, dan dia akan mencari karya orang tersebut. Katakanlah, bagi Phutut, meskipun judul karya Pram cuma Subuh, namun nama Pram itu sendiri adalah jaminan mutu. Sebaliknya, ada buku yang judulnya bagus, namun isinya ternyata bahwa si penulis levelnya baru penulis status di facebook.

Dalam proses mencari inspirasi, bagi Puthut seorang penulis pastilah menulis berdasarkan pengalamannya. Bisa saja seorang penulis mendengar cerita orang lain dan menjadikannya inspirasi. Tetapi, proses bercerita itu sudah menjadi pengalaman si penulis. Jadi sumber inspirasi bisa bermacam-macam, bisa dari buku, pengalaman, film, dan seterusnya. Yang susah adalah menjadikan semua itu menjadi sebuah karya tulis.

Dalam dunia tulis-menulis kita bisa menemukan berbagai jenis, seperti fiksi fantasi, sejarah, sains, dan lain-lain. Semua bentuk itu membutuhkan data dan sumber informasi. Puthut mengakui bahwa beberapa cerpennya berdasarkan penelitian, baik penelitiannya sendiri, maupun penelitian orang lain yang dia baca. Dalam fiksi ini sah, tak perlu ada pengutipan. Karena realitas penelitian sudah diubah menjadi realitas fiksi. Namun dalam esei, ada etika pengutipan.

Dalam petualangan menulis fiksi Puthut merasa lebih akrab dengan cerpen. Karena itu novelnya berbentuk potongan-potongan dengan cerita yang berkesinambungan. Itulah metode menulis novel yang dia rasa aplikatif untuk dirinya, meski dia sadar metode itu belum tentu aplikatif untuk orang lain.

Cerpen-cerpen Puthut tersusun dengan sistematis dan logis. Ini karena dia membajakan diri menguasai elemen-elemen dasar dalam cerpen. Misalnya membangun karakter harus benar-benar dicicil. Tidak dimuntahkan dalam satu paragraf. Di satu paragraf, si tokoh membanting pintu. Di paragraf lain, dia berlari mengejar angkot.

Dalam menulis, Nusantara sangat kaya dengan gaya tutur. Kita belajar itu saja, ditambah dengan pengalaman masing-masing orang, sudah sangat berlimpah. Sangat kaya. Bisa dengan cara membaca karya sepuluh orang cerpenis terkemuka Indonesia misalnya, Subuh karya Pram, Saksi Mata karya Seno Gumira, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo, Bawuk, Sri Sumarah, dan Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam, Orang-Orang Bloomington karya Budhi Darma, dan banyak lagi.

Seiring waktu, seorang penulis akan menemukan karakternya. Belajar dengan membaca karya para maestro cerpen Indonesia, bisa diikuti dengan mencontoh gaya mereka. Tidak ada yang salah dalam mencontoh. Perlahan seorang penulis akan menemukan gayanya sendiri. Logikanya simpel, kalau Anda menyontek gaya seorang maestro, pindah ke maestro yang lain, maka lama kelamaan akan terlihat dalam karya Anda. Karakter Anda, emosi, dan cara melihat persoalan, akan muncul dengan orisinil. Hal seperti ini tentu saja, bukan sebuah proses yang singkat.

Satu Hari Satu Cerpen

Kepada para pemuda yang belajar menulis dia menyarankan untuk berusaha menulis satu hari satu cerpen. Berdasarkan pengalamannya, dia menghabiskan waktu belajar berbulan-bulan dengan disiplin seperti itu. Dia percaya, orang muda bisa dilatih. Belajar. Sebuah cerpen, kalau proses menulisnya lancar, digarap kurang dari satu jam. Atau bisa dengan membikin skema yang lebih sistematis dan terstruktur. Maksudnya, setiap tiga hari sekali misalnya, selalu ada orang yang menyetor cerpennya untuk dijadikan bahan diskusi. Jadi orang tidak gagal menjadi besar hanya karena tidak menemukan tempat bergulat.

Sastra, bagi Puthut, tidak bisa dilepaskan dari politik. Dengan demikian, orang yang berpolitik lewat sastra, harus dihormati. Karena itu adalah pilihan sikap. Secara pribadi Phutut tidak pernah menolak itu. Sama dengan jurnalisme sebagai alat politik. Organisasi sebagai alat politik. Penerbitan. Sah. Memang, ada orang yang bilang, sastra harus imun atau netral dari politik. Phutut tidak mau menolak itu, tapi dia menyebut bahwa itu terlalu menjauhkan kita dari realitas sosial. Manusia pada dasarnya hidup dalam relung yang penuh dengan kelindan relasi sosial. Dalam dunia sastra, realitasnya adalah ada orang atau jaringan yang mengatakan sastra itu netral, tapi melakukan politisasi sastra. Dia hanya memberikan sedikit catatan bahwa itu tidak fair. Ya sudah diakui saja. Itu normal.

Yang perlu dipersoalkan bagi Phutut adalah apakah kontennya politis atau tidak. Itu yang harus dikejar dalam studi bedah isi. Karya Pram seperti Bumi Manusia, menurut Phutut, Marxis sekali. Ini terlihat misalnya dari cara si tokoh melihat persolan, bagaimana Minke digeser dari yang tidak politis menjadi menghamba modernitas. Penyair seperti Thukul, bukan hanya isinya, orangnya juga berpolitik. Dan dalam telaahannya, sejarah kesusastreran kita adalah sejarah pertarungan politik.

Dalam menulis, Phutut sangat fleksibel. Tidak ada azimat. Misalnya, ini diketahui ketika salah seorang peserta diskusi menanyakan apakah sebuah cerita konsepnya sudah selesai di kepala, baru kemudian dipindahkan ke laptop, atau sambil menulis sembari memikirkannya? Bagi Phutut sama saja. Dua-duanya bisa dan boleh. Meski untuk tulisan yang berbasis penelitian, biasanya memang konsepnya sudah selesai di kepala terlebih dulu. Terutama soal perspektifnya. Ada juga tulisan yang simultan. Ada pengetahuan tentang sebuah tema, ditulis dulu, dan sambil jalan berpetualang dalam tulisan yang sedang digarap. Baginya tantangannya justru di situ, menyelesaikan sebuah tulisan yang idenya pada dasarnya belum solid, baru agak-agak sedikit terpegang.

Cerpen-cerpen Phutut dilahirkan oleh situasi. Maksudnya, ketika dalam situasi belajar menulis, dia menulis cerpen banyak sekali. Menulis hanya untuk belajar. Setelah selesai, dibuang. Karena baginya menjadi penulis itu adalah tekad. Diakuinya, kondisi sewaktu dia belajar menulis memang sudah berbalik. Pekerjaan banyak. Sekarang dia sibuk berbisnis dan riset sosial. Mulai dari usaha warung makan sampai kedai kopi. Mulai dari riset cengkeh, kopi, tembakau, sampai bencana.

Secara personal Phutut sangat menyukai kumpulan cerpen dengan judul Orang-Orang Pasar Senen karya Misbach Jusa Biran. Karena ditulis dengan jenaka. Kebanyakan cerita di Indonesia ditulis dengan nada yang murung. Jadi Misbah adalah salah satu pengecualian.

Dalam salah satu cepennya berjudul Sambal Keluarga, Puthut berusaha menyampaikan kondisi dalam sebuah keluarga dimana dia bisa merepresentasikan permasalahan Indonesia. Membuat satu miniatur persoalan Indonesia dalam ceritanya. Ini artinya, bahanmenulis tidak melulu dari koran, bisa didapatkan dari analisis sosial.

Dari sekian banyak karyanya yang sudah dipublikasikan, ternyata Phutut sangat menyukai cerpen dengan judul Ibu Pergi ke Laut, yang dipublikasikan di KOMPAS sebagai respon terhadap tsunami Aceh. Karena peristiwa tsunami itu sendiri adalah sebuah tragedi besar. Pada waktu itu dia bahkan tidak kuat nonton tivi dan menyaksikan adegan-adegan peristiwa tsunami. Ingin menulis, namun tak sanggup. Karena itu, begitu dia berhasil menuliskan cerpen Ibu Pergi ke Laut, Phutut merasa lepas. Mungkin itulah kebahagiaan seorang penulis.[]

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)