Suara Kerusakan Dari Selatan

Literasi.co
Literasi
Published in
5 min readFeb 3, 2018
Ilustrasi oleh Gegen Muhammad

“Na na na na na, na na na na na …. ~”

Pagi itu Soen terbangun setelah mendengar irama sebuah lagu. Nada yang sangat tidak asing di telinganya. Setelah mengusap-usap matanya, ia mencoba mengingat-ingat potongan nada lagu yang ia sangat yakin bahwa ia tahu.

Na na na na na, na na na na na …. ~”

Nah! Aku ingat sekarang!” pekiknya dalam hati. “ Ini adalah lagu bernada mandarin, lagu kesukaan nenekku yang sering diputarnya sembari ia memasak.”

Ni men wo ai ni you duo shen wo ai ni you ji fen*,” begitu potongan liriknya. Lagu yang juga menjadi andalan pamannya ketika berkaraoke di rumah. Karena sudah lama tidak mendengar senandung lagu-lagu mandarin, Soen serasa di rumah. Sudah bertahun-tahun ia tak pulang ke tanah kelahiran dan ia merindukan rumahnya. Ia berada di Selatan Kota Yogyakarta sekitar Pantai Glagah, tepatnya wilayah yang sedang menjadi sasaran perampasan oleh pihak yang berkuasa. Soen ikut tinggal disalah satu rumah yang masih bertahan dan tidak ingin menjual tanahnya untuk pembangunan bandara baru Yogyakarta.

Ia terbangun dengan rasa penasaran akan siapa yang menyanyikan irama lagu mandarin tersebut. Lagu ini membuat ia teringat dengan sosok neneknya, lagu yang lumayan melekat pada orang-orang berdarah oriental. Yang membuatnya semakin terheran-heran adalah di tempat sejauh ini, ia mendapati seseorang yang mengetahui lagu mandarin. Karena rasa penasaran yang sudah menggebu-gebu, ia berjalan ke arah dapur di mana sumber suara itu berasal, namun ketika tinggal beberapa jejak sampai di sana, suara itu berhenti. Ia hanya mendapati Ibu pemilik rumah sedang sibuk dengan sayur-sayurnya.

“Ah mungkin hanya khayalanku saja,” pikirnya. “mungkin aku sudah terlalu lama di perantauan dan merindukan segala rona rumah.”

Ia pun berjalan menuju kamar kecil tidak jauh dari dapur. Ketika ia berada di dalam kamar kecil dan membasuh mukanya dengan air, tiba-tiba irama nada itu terdengar lagi “na na na na na, na na na na na …..” Sontak ia langsung menjulurkan kepalanya keluar dan ia pun terkejut, ternyata suara itu nyata dan berasal dari Ibu. Dari balik dinding kamar kecil itu, ia terdiam dan menikmati suara Ibu dengan senyum-senyum kecil di wajahnya. Dan setelah merasa cukup menikmati senggaman Ibu, ia keluar dari kamar kecil dan duduk tepat di samping Ibu yang sedang sibuk dengan sayurnya.

“Sini Bu, saya bantu.” Ucapnya.

“Wah, sudah bangun kamu? Gak perlu, ini sudah selesai,” jawab Ibu sambil memasukkan sayuran ke dalam keranjang.

“Iya Bu, di sini dinginnya sampai ke tulang-tulang. Oh ya, tadi itu lagu mandarinkan, Bu? Judulnya yue liang dai biao wo de xin?”

“Lah kok kamu tahu lagu itu?”

“Saya yang justru bingung kok Ibu bisa tahu lagu itu. Lagu itu lagu kesukaan nenekku, lagu yang selalu ia putar setiap pagi ketika ia mulai memasak. Di tempatku berasal hampir rata-rata orang berdarah oriental pasti mengetahui lagu itu. Ibu sendiri tahu lagu itu dari mana?”

Sambil tertawa Ibu itu menjawab, “Woalah begitu, pantasan kamu tahu ya. Ibu sendiri tahu waktu dulu ketika Ibu masih muda. Ibu bekerja di negeri orang, negeri yang orang-orangnya berkulit kuning. Makanya sampai sekarang Ibu masih bisa bahasa Mandarin dan Inggris.”

“Serius Bu?!” Soen terkejut, seakan tidak percaya. “Berapa lama Ibu di sana?”

“Hampir separuh umur Ibu habiskan di sana. Ibu bekerja untuk keluarga, untuk membangun rumah ini, untuk sekolah anak Ibu juga. Itulah mengapa Ibu tidak akan mau menyerahkan rumah ini untuk dijadikan bandara. Sudah sejak kecil Ibu tinggal di sini, tanah ini pemberian orang tua Ibu. Segala kenangan sudah terbangun di sini, termasuk semua usaha membangunnya. Membangun mesti banting tulang, sekarang mereka datang dengan enteng ingin menghancurkan yang sudah susah payah dibangun. Di sini apa yang kami tanam tumbuh, apa yang kami butuhkan tinggal kami petik, kami sudah sejahtera tanpa bandara.”

“Jadi bagaimana pendapat Ibu tentang semua ini?”

“Ya, tentu saja tidak benar. Mereka itu orang-orang terpelajar, tapi tidak tercermin sama sekali. Apa benar di sekolah diajarkan untuk merampas hak orang lain? Mencari nafkah di tanah tempat mata pencaharian orang lain? Mereka membangun, kami yang buntung. Kesejahteraan tak melulu menyangkut soal pembangunan. Masa karena pesawat berputar-putar waktu mau mendarat di bandara sana kami yang harus dikorbankan? Belum lagi cara-cara kotor yang mereka gunakan untuk mengusir kami.”

“Cara kotor yang seperti apa, Bu?” tanya Soen.

“Lihatlah dek, beberapa bulan lalu masih banyak yang berjuang mempertahankan tanahnya. Uang dek, uang. Memang uang mampu berbicara banyak. Satu per satu gugur seperti pohon-pohon yang ditumbangkan. Lihatlah sekarang tinggal berapa yang tak mampu dibeli dengan uang. Mereka melakukan segala cara agar kami beranjak dari tempat tinggal kami, mereka mencabut paksa aliran listrik yang tiap bulan kami bayar tepat waktu. Mereka mengeruk jalan-jalan masuk yang dibangun dengan uang pajak yang kami bayarkan. Tak ada satupun aparat yang membela kami, bukankah mereka ada untuk melindungi dan melayani masyarakat? Di sini keterbalikannya; melayani dan melindungi yang ber-uang saja. Seperti sudah kehilangan hak-hak menjadi warga negara di negeri sendiri. ‘Kan mereka yang merampas punya orang lain sama saja seperti para penjajah dulu? Tak punya harga diri dan tak punya malu. Tapi lebih parah mereka ini, merampas dan mengambil milik saudara sendiri, saudara setanah air. Mereka yang merusak alam akan mendapat akibatnya sendiri, sudah berapa banyak pekerja yang mati yang mereka tutup-tutupi?! IBU BUMI WIS MARINGI, IBU BUMI DILARANI, IBU BUMI KANG NGADILI. Nah, tadi kamu mau bantu Ibu kan? Sekarang kamu hidupkan api dari kayu bakar buat kita masak ya.” Kata Ibu mengakhiri kata-katanya.

“Baiklah Bu.” Jawab Soen sambil berjalan ke pojokkan dapur untuk mendapatkan kayu bakar.

Tidak lama berselang terdengar suara alat berat yang sedang membersihkan puing-puing rumah yang telah mereka hancurkan. Suara kerusakan dari Selatan. Suara yang membangunkan orang-orang yang sedang tidur, suara yang memecah kedamaian para petani, suara yang membawa kabar duka tentang reformasi agraria yang dijanjikan.

“Nah, jangan kau dan teman-temanmu seperti itu,” kata Ibu sambil tersenyum menunjuk ke arah suara alat berat tersebut. “Jangan kalian gunakan ilmu yang kalian dapat untuk merusak atau membantu perusakan. Kalian yang lebih berpendidikan dan berilmu, mestinya kalian yang lebih tahu.”

Soen mengangguk dan tersenyum kepada Ibu. Ia hanya bisa terdiam mendengar kata-katanya, hal-hal itu tidak pernah diberikan guru-guru dan dosen-dosennya. Ia merasa bersalah tak mampu melakukan banyak hal untuk membantu Ibu. Ia tahu yang mereka lawan adalah orang-orang besar, yang di mana sudah pasti orang besar memiliki kuasa, dan di mana ada kuasa, di sana sudah pasti uang berbicara banyak. Makin besar kuasanya, makin besar pula uangnya. Tak mudah memang melawan orang-orang seperti itu, apalagi hanya orang-orang kecil. Tetapi Soen hanya bisa membantu semampunya dan melawan sekuat-kuatnya. Soen ingat kata-kata Ibu “IBU BUMI WIS MARINGI, IBU BUMI DILARANI, IBU BUMI KANG NGADILI.”

*yue liang dai biao wo de xin di populerkan oleh Teresa Teng

catatan: cerita ini terinspirasi dari ibu posko 26, yang mampu menggunakan bahasa Mandarin, Inggris dan juga Arab

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)