Teatrikal Tragedi Penembakan Petani 2011; Setrojenar Melawan Lupa

Literasi.co
Literasi
Published in
3 min readApr 22, 2015

*Oleh Amanatia Junda dan Dewi Widyastuti

Mereka dirampas haknya,

Tergusur dan lapar,

Bunda relakan darah juang kami,

Tuk membebaskan rakyat,

(Penggalan lirik Lagu Darah Juang)

Empat tahun berselang sejak intimidasi TNI AD di Urutsewu mencapai puncaknya. 16 April 2011 silam, media massa berbondong-bondong menunjukkan perhatiannya pada sebuah desa di kawasan pesisir selatan Kebumen. Pers menyebut tragedi siang bolong di Desa Setrojenar tersebut sebagai “bentrokan” antara Petani dan Militer. Namun, yang terjadi di lapangan adalah pihak militer menggunakan tendangan, pukulan, dan tembakan terlebih dahulu untuk membungkam suara perlawanan rakyat. Potongan demi potongan adegan pada hari naas itu direkonstruksi ulang. Aksi teatrikal warga Setrojenar menjadi penutup Mujahadah 16 April 2015.

[caption id=”attachment_3347" align=”aligncenter” width=”676"]

Dok: Amanatia Junda[/caption]

Peristiwa penyerbuan dan pengepungan pada Tragedi Penembakan Petani 2011 menyebabkan enam petani dikriminalisasi dengan tuduhan pengrusakan dan penganiayaan, serta harus menjalani hukuman penjara. Korban lainnya terdiri dari tiga belas orang luka-luka, enam diantaranya mengalami luka tembakan peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet dan peluru timah. Sedangkan kerugiaan materiil juga dialami warga dengan rusaknya dua belas motor milik warga dan perampasan HP, kamera dan data digital.

Enam petani yang dikriminalisasi sudah terbebas dari kurungan. Meski kerugian materiil telah diabaikan, kasus Penembakan Petani Urutsewu belum diusut tuntas. Trauma dan semangat perlawanan yang telah mengeras terus bergejolak di setiap Peringatan 16 April. Di sepetak lapangan desa, berhadapan langsung dengan gedung Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD, warga menggelar tikar dan mendirikan tenda. Mujahadah berlangsung khidmat. Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi dan anak-anak memanjatkan doa bersama seraya mencoba mengais kembali persatuan rakyat.

[caption id=”attachment_3348" align=”aligncenter” width=”789"]

Dok: Amanatia Junda[/caption]

[caption id=”attachment_3350" align=”alignleft” width=”389"]

Dok: Amanatia Junda[/caption]

Solidaritas dari luar Setrojenar pun berdatangan. Pada 2014, Aliansi Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu (Esbumus) menampilkan arak-arakan budaya yang sukses menjahit beragam kesenian di lapangan. Tahun ini, kehadiran Teater Si Anak Fisip Universitas Soedirman dan mahasiswa HMI Purwakarta melanjutkan solidaritas yang telah terjalin. “Kami datang jam tiga pagi. Daripada malamnya istirahat sehabis demo di kampus, takutnya nanti kebablasan tidur. Jadi niatnya memang berangkat gasik — cepat,” ujar Aji, salah satu pegiat teater yang ikut membuka awal rangkaian pertunjukan.

Untuk pertama kalinya warga Setrojenar menampilkan adegan teatrikal. “Ide awal dari Pak Kiai Imam. Cuma idenya mau adain (adegan) perusakan motor terus dipenjara, tapi saat itu belum tahu arahnya, bentuk teatrikal atau gimana. Latihannya cuma satu malam, sedangkan untuk narasinya saya tulis dulu di rumah beberapa hari sebelum pentas,” tutur Muklas, narator pentas siang itu.

Tari pacul dan tandur dengan iringan Lir-Ilir membuat warga mengerumuni sudut kiri panggung. Warga tampak terlihat antusias. Sorak-sorai terdengar meriah. Dengan persiapan yang sangat singkat pentas rakyat tersebut terbilang sukses. “Itu saya gumun — heran. Orang seperti Mas Rohmadi, Mas Sanur mempunyai jiwa seni yang begitu hebat. Bahkan kalau dilihat dari fisiknya, sepertinya tidak ada. Jadi, langsung muncul begitu saja,” komentar Kholid, sang sutradara, sambil tertawa.

“Selain itu, karena semua orang yang pentas tadi ya kesehariannya seperti itu, ya yang cangkul, ya yang nanam,” tambah Anto. Apalagi sebagian besar pemain tersebut adalah mereka yang terlibat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri Tragedi 2011.

Setelah dibuka dengan tarian dari para petani, tak lama kemudian, suara letupan petasan menyentak, mengingatkan langsung pada desingan peluru. Serdadu-serdadu menyerang, merusak pohon-pohon singkong yang telah ditanam.

Dor! Dor! Dor!

Serdadu menembak, mengejar dan meringkus petani. Sepeda motor yang berderet ditendang dan dirusak. Suasana riuh. Kengerian terpancar di wajah para penonton. Musik telah berganti. Lagu Darah Juang mengalun pilu, membuat ngilu siapa pun yang mendengar. Kaum Ibu mengusap airmata. Trauma dan memori kolektif atas insiden berdarah menguar kembali. Para petani yang tertangkap dijebloskan ke kurungan bambu. Para istri menghambur dari balik jeruji, menangisi suami-suaminya yang terkurung. Kiai Imam Zuhdi pun berada di antara petani, di dalam penjara buatan, menyanyikan lagu dangdut yang telah ia ubah liriknya menjadi syair nestapa petani Urutsewu.

“Kalau kali ini mujahadah lebih sederhana dibanding tahun lalu, tapi tetap efektif. Bahkan aku melihat beberapa ibu mencucurkan airmatanya. Artinya, bahwa teater atau bentuk teatrikal itu adalah refkesi — bagian integral dari sikap masyarakat Urutsewu sebagai bentuk perlawanan. Perlawanan kultural ini setidaknya ada di dalam konteks Peringatan 16 April di Setrojenar. Tadi aku melihat salah seorang korban penembakan sambil menggendong anaknya menangis lihat teater itu,” cerita Aris Panji, anggota FPPKS yang bertugas mendokumentasikan rangkaian acara mujahadah.

[caption id=”attachment_3353" align=”aligncenter” width=”448"]

Dok: Amanatia Junda[/caption]

[caption id=”attachment_3354" align=”aligncenter” width=”454"]

Dok: Amanatia Junda[/caption]

Adegan teatrikal diakhiri dengan kemenangan petani. Diiringi musik dangdut, warga menari bersama. Di tengah lapangan yang gegap-gempita, itikad melawan lupa tumbuh subur. Di antara luka yang belum mengering, tekad perjuangan untuk mengambil kembali hak-hak rakyat masih terus membuncah.

*Reporter adalah anggota Aliansi Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu (Esbumus).

[icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:17px’]22 April 2015

--

--

Literasi.co
Literasi

Media Kooperasi yang diinisiasi oleh Gerakan Literasi Indonesia (GLI)