Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna — Fasisme, Modernisme, Lirisisme (bagian I)*
dan aku harus kembali ke halaman belakang dari leher dan kepalamu.
tak pernah ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, kataku …
tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur, katamu
(“Di Halaman Belakang”)
pohon jambu itu patah bersama buahnya yang baru tumbuh.
aku sempat melihat buahnya yang masih kecil berwarna
hijau tua, mengingatkanku pada kesepian yang berjalan
dari sejumlah nama yang pernah hilang
(“Pohon Jambu yang Patah”)
Aku tidak pernah mengenang rambutku lagi setelah memakan buah mangga itu,
dan sisa kulit mangga di pisau. Cerita-cerita kecil tentang ramalan, cinta dan rejeki.
Masa kanak yang jatuh dari sepeda. Cerita yang membuat cerita lagi agar kita
tidak merasa tua … Kita membersihkan meja makan yang tak ada
meja makan itu, memburu mata sampai halaman belakang
seperti mengusir anjing tetangga yang meminta minum …
Kita naik sepeda lagi, mencari musim mangga di halaman belakang,
di halaman masa kanak-kanakmu.
(“Naik Sepeda di Musim Buah Mangga”)
Puisi, bagi Afrizal Malna, tidak lahir dari pena penyair di ruang kontemplatifnya yang dingin dan sunyi, dari perpustakaan tempat ia mengolah berbagai khazanah dari pengetahuan dunia, melainkan dari sepetak ruang di halaman belakang rumah. Di ruang itulah, puisi lahir dari campur-aduk peristiwa-peristiwa: seorang keluarga yang kehabisan beras dan air mineral, dan terpaksa memasak mie dan telur ceplok untuk sarapan paginya (“Bangkai Sapi dalam Telur Dadar”), pohon-pohon yang ditebang dan burung-burung yang ditembak; eksekusi mayat tanpa nama (“Halaman Belakang Bulan Januari”), seorang paman yang mampus dihabisi ramai-ramai oleh massa (“Atap Bahasa yang Runtuh”), atau anjing tetangga yang diusir dari sebuah pesta musim mangga di masa kanak-kanak (“Naik Sepeda di Musim Buah Mangga”) — kejadian-kejadian traumatik, kadang nostalgis, yang kalang-kabut berlintasan dalam ingatan penyair.
[caption id=”attachment_4759" align=”aligncenter” width=”225"]
Afrizal Menertawakan Indonesia. Ilustrasi: Moh. Dzikri Hendika[/caption]
Di sana, halaman belakang tak selamanya merujuk secara geografis pada sebuah ruang di belakang rumah, yang sering kali berbatasan dengan tembok dan pagar orang lain, tapi juga pada apa saja yang ada di belakang punggung kita: sesuatu yang ingin dilupakan, tapi terus membuntuti; segala hal yang tak mengenakkan, menyakitkan, atau menjijikkan, tapi terus menguntit, menghantui langkah-langkah kita ke depan:
ada sebuah gerobak yang mengikutiku dari belakang. sudah tiga hari ini. sudah dua jam yang lalu. gerobak itu kelihatan sedih, membawa sayur-sayuran dari pasar. bau cabe dan daun bawang menusuk hidungku …
kini, sudah 100 tahun lamanya gerobak itu mengikutiku. sudah 100 tahun punggungku berbau cabe dan daun bawang. gerobak itu tak pernah tua. sosoknya tak berubah, tetap seperti diriku saat usiaku masih kanak-kanak, tetap menganggap tangan itu adalah bagian dari tubuh tuhan yang dipasang pada manusia. gerobak itu tak tahu kalau aku sudah mati, 30 tahun yang lalu. diriku seperti kolam yang melihat bayang-bayangku berenang di dalamnya. tidak, bukan kolam renang, tetapi gerobak itu.
(“Sebuah Gerobak, Dia Bilang”)
Membaca puisi Afrizal, adalah mengeja apa yang telah ditinggalkan, disisihkan, di halaman belakang. Inilah penyair yang sepanjang lebih dua dekade kepenyairannya menulis segalanya dari halaman belakang, dari sebuah ruang demarkasi antarmanusia, di mana segala kemungkinan terburuk bisa terjadi: dari pertemuan hingga cekcok, dari sapaan hingga pertikaian. Barangkali benar, seperti kata orang, Afrizal adalah penyair urban yang paling konsisten menjelajah ruang urbannya. Ia menjelajah ruang-ruang yang tak tersentuh di pekatnya kemiskinan di pinggiran ibu kota, makin sempitnya lahan, dan kehidupan yang makin berjejalan berbagi, berebut, dan berkonflik di antara manusia-manusianya.
Terlepas dari betapa “profetik”-nya penggambaran Afrizal atas ruang-ruang ini,** dan kesungguhannya yang mengagumkan dalam menggali detail-detail ini, tidak seperti banyak kritikusnya yang mengganggap latar urban sebagai satu-satunya sudut pandang dalam membacanya, saya melihat, sajak-sajak Afrizal bergerak dalam latar yang lebih luas, di halaman belakang yang lebih majemuk. Di sini, jika Emha Ainun Nadjib pernah berujar tentang Indonesia sebagai kampungku, puisi-puisi Afrizal bahkan telah meninggalkan dikotomi kota/kampung, dan mengantisipasi berbagai perubahan kultural, sosial, dan politis yang meluruhkan pembagian-pembagian itu. Semua itu campur-aduk sedemikian rupa dalam puisinya, dengan cara tak terduga dan membingungkan, demi menunjukkan kekalutan, rasa frustasi, kemarahan, dan kemustahilan yang membayangi Indonesia hari ini.
Ada tiga halaman belakang yang terselip di setiap puisi Afrizal, dan saya temukan berceceran dalam sajak-sajaknya: fasisme Orde Baru, modernisme, dan lirisisme — ketiga “hantu besar” yang menyisip dalam pergulatan puitiknya. Ketiganya berusaha merepresentasikan situasi Indonesia dalam masa lalu dan kekiniannya, dalam ranah-ranah politis, kultural, dan estetis yang menjadi pertanyaan besar bagi penyair ini. Di sini, kita bisa membaca keberhasilan dan kegagalan Afrizal dalam memberikan jawaban atas tanda tanya besar itu, harapan, tapi juga frustasinya — yang barangkali menggambarkan pula sebagian kondisi sastra versus realitas eksternalnya hari ini.
Atap Bangsa yang Runtuh
(atau Mengapa Setiap Orang Ingin Menjadi Fasis)
Dalam sebuah sajak dari awal kepenyairannya, “Panorama Kematian Ayah 1”, Afrizal pernah menggambarkan suatu kejadian tentang kematian seorang ayah, yang secara tak terduga mengguncang sebuah republik.
Hari ini, rumah jadi mereka yang berlalu. Aku ingin mengirim karangan bunga ke seluruh pesawat TV, seperti mengirim Hiroshima ke dalam catatanmu. Tetapi seperti mikrofon terkapar, pada hari itu pula ia dengar kabar kematian ayah …
Aku naik ke alat-alat pengeras suara, dan menemukan dia yang mati. Aku naik ke gudang media massa, gedung parlemen, laboratorium biokimia, dan menemukan dia yang mati.
Ayah, bapak seorang anak, pemimpin keluarga, pagi itu mati, mendadak; dan kematiannya sontak menimbulkan kesedihan, tapi sekaligus euforia, hingga seseorang berkata — seperti membaca sebuah press release:
“Pada dia yang mati, yang dengan kematiannya, telah menghubungkan bagian-bagian waktu yang hilang, kami, kami makamkan ayah kami. Wabah kematian ayah, telah mengembalikan lagi semua yang akan pernah hilang.”
Tak ada yang lebih tepat memetaforkan kekuasaan negara, kecuali kata “ayah”, figur paternal yang menggambarkan kesatuan antara kekuasaan, kebenaran, dan otoritas. Tujuh tahun sebelum Orde Baru runtuh, atau 18 tahun sebelum Soeharto meninggal, puisi itu telah mengimpikan bahwa suatu saat, “Ayah” (dengan ‘A’ kapital), Pusat takhta di jantung kekuasaan itu, akan ambruk, tumbang, dan “semua yang akan pernah hilang” kembali. Ayah-Oedipal itu tak lain adalah Soeharto, atau Orde Baru itu sendiri (karena keduanya nyaris tak dapat dibedakan), Sosok yang secara esensial menggambarkan hasrat fasis negara untuk mengebiri “anak-anak”-nya, para warganya.
Inilah fasisme yang menghantui puisi Afrizal. Dalam puisi-puisi itu, jika suatu saat Ayah harus mati, itu bukan karena Ayah itu sendiri jahat, atau tak cukup baik mengemong anak-anaknya, tapi karena Ayah terlalu lama bicara; ia terlalu suntuk berkata-kata hingga yang lain harus bungkam. Maka, Ayah pun menjadi fasis; dan fasisme ini, bagi Afrizal, bermula dari mikrofon dan pengeras-pengeras suara yang mengepung seantero negeri: kematian Ayah adalah kematian mikrofon:
Dan mereka bermigrasi di antara usungan-usungan mikrofon: Memindahkan jenazah ayah, seperti memindahkan kesedihan, dari wabah kematian lain di luar sana.
Suara Ayah adalah “suara-suara ganjil” yang menciptakan “mitos-mitos kecemasan” pada warganya (“Mitos-mitos Kecemasan”). Suara yang mengharuskan seia-sekata, dan membuat warga negeri ini “mengucap diri dengan bahasa asing”. Kecemasan ini ternyata begitu merasuk ke dalam, tergambar dari “spiker yang menatapku dari jendela …dengan jalan-jalan penuh mikrofon, spiker, dan karbon-karbon terbakar” (“Spiker di Jendela Kereta”). Seperti imajinasi Orwellian, kita seperti melihat “negeri 1984” terjelma sempurna di sana: negeri yang tiap inci dindingnya penuh spiker yang berteriak keras mengabarkan “kemajuan”, “pembangunan”, dan “keberhasilan” negara, sembari menyembunyikan gerundelan, rintihan, teriakan, dan keluhan manusia-manusianya di balik tembok.
Di sini, Afrizal mengimpikan — dan kenyataannya terjadi — bahwa suatu saat, mikrofon itu “pecah”, dan bukan hanya manusia, tetapi juga benda-benda dan tubuh (“tanganmu penuh cerita”) dapat berbicara dan memiliki bahasanya sendiri.
Kota hujan dan malam kini jadi benda-benda, pada tanganmu penuh cerita. Mereka tak ingin lagi jadi siapa pun di situ. Mikrofon yang pecah telah mengunjungi kota-kota, seperti pembicara 1 cm di lehermu. Tak ada lagi kata yang bisa mengganti dirimu. Mikrofon yang pecah kemudian menyemburkan pembaca, di antara pengeras suara, 1 cm yang lalu, memisahkan kata dari kenangan.
Personifikasi “Ayah”, yang di masa Orde Baru disimbolkan dalam ideologi ABS (Asal-Bapak-Senang), tak lengkap tanpa personifikasi lawan-gendernya, “ibu”, yang-lain daripada Ayah, di mana kehadiran Ayah seakan tak lengkap tanpanya. Tetapi berbeda dengan “kehadiran” Ayah yang menyebar di mana-mana, dan menjelmakan otoritasnya dalam benda-benda (mikrofon, spiker, radio, dst.), dalam puisi-puisi Afrizal, “ibu” hadir dalam suasana minor: terpencil, dengan suara yang nyaris sayup tak terdengar. “Ibu” jarang tampil sendiri sebagai keutuhan pada dirinya; ia terasa kuat hanya ketika ia hadir sebagai pendamping bagi Ayah, atau, meminjam Derrida, sebagai suplemen bagi superego Ayah, dalam satu keutuhan “keluarga”: “Ayah-ibu”. Di sana, “ibu” mendapat arti kehadirannya hanya ketika ia bersanding dengan otoritas “agung” Sang Bapak:
Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu bahasa”.
(“Keluarga Indonesia dalam Ambulan”)
“Ibu” tak dapat berbicara kecuali dengan bahasa Ayah, “hidup dengan satu bahasa” sesuai petunjuk-Nya. Itu karena “ibu”, meski pelengkap, suplemen bagi kehadiran Ayah, tetap tak seperti Ayah, tak akan seperti Ayah. “Ibu” hanyalah pendewasaan dari seorang gadis kecil yang dulunya membutuhkan perlindungan Ayah:
Di bawah kursi, ibuku seperti gadis kecil, menyimpan permen dalam mulutnya. Padahal itu bahasa yang disembunyikannya, sejak menyaksikan: anaknya kupu-kupu plastik, komik seharga 15 ribu dalam kantong-kantong itu, dalam bahasa seperti itu.
(“Kesibukan Melarikan Diri”)
Di sini, fasisme bekerja dengan menaturalisasi semua perbedaan dan potensi perpecahan, perlawanan, dan ketegangan, dengan menggabungkan paternalisme patriarkis dengan imajinasi tentang “keutuhan” yang terus dibina dan dijaga, melalui penanda yang amat menyehari dan dekat dengan kulit dan tubuh kita: “keluarga”. Imajinasi familial itu menciptakan imajinasi “organik” tentang bangsa sebagai satu keutuhan — dan adakah yang lebih fasis dibanding “arkhe-organisme” ini: imajinasi tentang bangsa sebagai “tubuh” yang tunggal, satu unit political body?
Ketika disintegrasi, dengan lepasnya Timor Leste, menimpa Indonesia selepas reformasi, dan ancaman tentangnya terus-menerus menghantui republik, seakan terdapat pembenaran bagi harapan Afrizal, bahwa suatu saat, entah kapan, bahkan sejak saat ini, tubuh-bangsa itu akan menyadari bahwa dirinya tak akan benar-benar utuh, bahwa “rumah-bangsa” ini dibangun dari bahasa yang retak, dari atap bahasa yang (sewaktu-waktu dapat) runtuh. Bangsa adalah sebuah “keluarga Indonesia dalam ambulan”, yang selalu dalam kegentingan, yang normalitasnya dijaga dengan kecemasan terpendam, tapi tak diakui.
Orde Baru telah guling, Soeharto telah hempas dari muka bumi, dan kini orang bernapas dalam iklim kebebasan dan demokrasi; tanda tanya yang tertinggal di kaki puisi Afrizal pun muncul: masihkah penting berbicara tentang fasisme? Bukankah negara, yang dulu kukuh dan menjadi satu-satunya aktor, kian maya dan menjadi boneka dari tangan-tangan tak terlihat di baliknya?
Tak ada jawaban persis dari puisi-puisi Afrizal, kecuali bahwa dalam sajak-sajak terbarunya, ia kembali mengangkat kecemasan-kecemasannya yang lama, antipatinya pada suara “Ayah Besar” yang telah hilang, terlihat dari penggunaan kata-kata “mikofon”, “pidato”, atau “gergaji”, idiom-idiom lama dari puisi Afrizal di tahun 1990-an. Perbedaannya, pada puisi-puisi 1990-an, suara-suara yang ditampilkan cenderung monologal (dengan segala kemajemukan perspektifnya); pada puisi pasca-reformasi, suara-suara itu meruyak tak terkontrol dari sekian banyak aktor yang tidak jelas, begitu bising, kacau, dan gaduh.
Jam 4 siang nanti, Mono, Mogan, Budi, tenda-tenda perubahan, kesenian yang terbongkar mendengar teriakannya sendiri, jam 11 siang, Andre, Lili, Bunda, panggung untuk cinta dan kemarahan, Mualim, Labbes, Ibau, Tamba, jam 6 sore, kemana Garin pergi, kemana Sitok pergi. Busro, Lulu, Indra, Romi, ada isu dari telpon, teror lima ratus perak, paranoia-paranoia yang terus membuat politik dari singkong goreng, seni, seni yang hidup di dalam bacot, jam 9 malam nanti, kemana Jabo pergi, Fahmi membuat Padamu Negeri di sana. De Rantau berteriak taik …
(“Reformasi Jam 1 Siang dan Telur Asin”)
Hayo, sobek, pecahkan, bakar. Jangan. Hancurkan, bunuh, ayo, bubarkan. Tak ada lagi waktu. Pecat. Adili. Tembak mati. Siksa. Jangan. Ayo. Culik. Stop! Jangan memaksa. Tanganmu seperti beton trotoar. Jangan pake besi. Sudah! Kemanusiaanmu kayak telur asin busuk. Mereka penjahat. Goblok. Anjing. Kecoa. Betisnya penuh cacing dan sosis. Kaca matanya emas. Dalam arlojinya ada lima negara. Termasuk negaramu sendiri. Babi. Mulutmu tidak pake es batu. Buka lemarinya. Buka. Jangan! Ada kuda lagi melahirkan. Asbak. Pot-pot kembang. Kabel listrik. Semua anjing lapar sedang menggonggong. Seluruh HP berbunyi seperti pantat panci di atas kompor. Hayo bakar. Pintunya ada di situ. Mana? Itu toilet, goblok. Ini apinya. Stop. Jangan. Hentikan. Leherku salah urat. Hei, mereka melarikan diri. Tidak! Mereka masih berkuasa, kok. Siapa sih mereka? Mereka yang menguasai seluruh kata di sini. Jadi, kita sudah mati, toh? Kok masih tanya? Hayo, makan permen karet ini. Di pojok situ. Awas ada semut. Ada malaikat. Ada ibu-ibu sedang mencuci. Awas ada orang sedang mencukur. Ada sungai. Ada hujan. Awas. Ada orang sedang demo. Mari kita mengheningkan cipta buat para pahlawan. Gali kuburnya. Lho siapa yang sedang mandi nih? Emak, saya pulang telat. Tutup lemari itu. Ada periwitan sedang terbakar, memeriksa seluruh gigi dan bau busuk.
(“Babi di Jendela Mobil”)
Semua ingin ikut ambil bagian, bersuara, mendapat tempat, dalam parade demokrasi. Semua ingin didengar, dan merasa berhak didengar. Tapi hal itu sebaliknya menegaskan, secara paradoksal, bahwa setelah kematian “Ayah Besar”, setelah kekosongan dan perkabungan atas Pusat-yang-telah-tiada, setiap orang hendak mengisi kekosongan itu dan menggantikan peran sang Ayah Besar, menjadi Ayah-ayah Kecil bagi sebuah Republik yang baru kehilangan figur panutannya. Dengan kata lain, meminjam ungkapan Félix Guattari, “setiap orang ingin menjadi fasis” (everybody wants to be a fascist): setiap orang ingin menjadi Ayah bagi Republik-nya sendiri: setidaknya jika tak berhasil memfasisi orang lain, dengan menjahili kebebasannya, ia memfasisi dirinya sendiri, dengan menanamkan norma-norma yang diciptakannya sendiri, untuk memperkuat keyakinannya pada kebenaran dirinya (indoktrinasi-diri).
Maka, meski Soeharto telah tiada, aksi fasis Ayah Besar tetap muncul di zaman demokrasi, dalam bentuk yang kian beragam, dengan kebutuhan yang tetap membara pada peran paternal sang Ayah: dalam organisasi keagamaan fundamentalis yang merasa diri sebagai “polisi moral” bagi masyarakat; dalam etnosentrisme yang memuja “putra daerah” sebagai panutan politik; dalam kegandrungan masyarakat kontemporer pada “pengkhotbah” spiritual, “dai”, “motivator”, atau “penasihat” psikologis, dan seterusnya. Dalam kosakata lain, apa yang terjadi saat ini, ketika demokrasi menjadi satu-satunya norma pasca-runtuhnya fasisme totalitarian, sesungguhnya adalah fasisme yang telah mengalami displacement; fasisme yang bertransformasi bentuk, namun dengan roh yang sama, suatu fenomena yang diistilahkan dengan ironik oleh Jonah Goldberg sebagai “liberal fascism”, fasisme yang berbiak justru dalam rezim liberal yang dulu menumbangkannya. Suatu fasisme yang mengklaim diri paling toleran, namun sesungguhnya paling toleran di antara yang intoleran: demokrasi liberal menoleransi siapa saja sejauh tidak mengganggu stabilitasnya, tapi tak akan segan menghabisi dan memerangi apa pun yang berpotensi mengancamnya (terorisme, dst.).
Dihadapkan pada kondisi itu, sikap Afrizal tampak ambigu. Di satu sisi, ia memilih pasif dan menahan diri dari ikut ambil bagian dalam suasana itu:
Kenapa aku harus datang ke rumahmu, memberi nasehat, membubarkan bank-bank, membenamkan bursa saham ke dasar laut, memadamkan api di dalam bantal.
(“Pidato-pidato dari Bantal Berasap”)
Di sisi lain, ia tetap menyimpan amarah, rasa kesal, dan hasrat untuk turut serta dalam setiap perubahan yang terjadi, meski dengan risiko menjadi fasis:
Revolusi akan datang dari sebuah belahan batu, dari sebuah ledakan di jantung rakyat. Para perempuan turun ke jalan, bernyanyi dengan api yang menyembur dari rahimnya. Matahari pagi memancar dari tangannya. Anak-anak mengubah negara menjadi taman bermain. Kebusukan negara telah sampai ke dalam tenggorokan rakyat. Teriakan akan datang dari pagi buta, dari pohon pisang yang meledak. Dari leluhur yang membuka lagi jejak-jejak hujan, bau kehidupan yang menyembur dari lorong-lorong air. Dan memulai lagi segalanya dari sebuah kata tempat orang belajar kenapa kupu-kupu memilih taman, kenapa pohon pisang memilih pinggiran sungai. Dan wajahmu, wajahmu yang seperti kuda busuk itu, penuh dengan cairan ludah anak-anakmu sendiri.
(“Keributan dalam Pohon Pisang”)
Di titik ini, Afrizal tak menunjukkan sikap yang tegas, selain berteriak dari halaman belakang “demokrasi”. Saya catat, hanya ada dua identifikasinya yang cukup eksplisit mengenai apa yang harus dilakukan saat ini: pertama, kembali kepada massa sebagai pelaku perubahan:
“Aku adalah massa! Massa yang lahir dari atap-atap rumah yang bocor, dari tembok-tembok yang terbongkar
(“Aku Terbang Bersama Kipas Angin”)
Dengan kata lain, pada solidaritas kolektif kaum marjinal; dan kedua, dengan mengafirmasi-diri, meski dengan nada bergurau dan setengah kurang yakin, sebagai seorang komunis:
aku kan seorang komunis yang tersisa di bingkai kanvasmu, waktu estetika penuh dengan teriakan abad yang lalu
(“Pesta Mr. Art”)
Tampak, ada kebuntuan dalam emansipasi politis Afrizal. (bersambung)
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
* Esai untuk diskusi buku puisi Afrizal Malna, Pada Bantal Berasap [penerbit Omahsore, Jakarta] di Depok pada 2010, kemudian dimuat di majalah Horison, edisi Agustus 2010. Terima kasih kepada Damhuri Muhammad yang memungkinkan esai ini lahir.
** Juli 2008, masyarakat dikejutkan oleh berita pembunuhan berangkai oleh Ryan, yang membantai dan membunuh 10 orang, dan memutilasi beberapa di antaranya. Ryan mengubur para korbannya di halaman belakang rumahnya di Jombang, Jawa Timur. Setahun berikutnya, Juni 2009, seorang bayi ditemukan tewas karena aborsi yang gagal, dan dikubur di halaman belakang rumah ibunya, di Bogor. Halaman belakang seolah memiliki tempat tersendiri dalam menggambarkan mimpi buruk, trauma, dalam kehidupan sehari-hari urban — tema penting dalam sajak Afrizal.