Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna — Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian III-Habis)*

Literasi.co
Literasi
Published in
8 min readAug 24, 2016

[caption id=”attachment_4760" align=”aligncenter” width=”768"]

Afrizal Menertawakan Indonesia. Ilustrasi oleh Moh. Dzikri Hendika.[/caption]

Anti-lirisisme dan Terorisme Struktur (atau Mengapa Afrizal Tak Pernah Menjadi Nirwan Dewanto)

Tapi bagaimanapun, Afrizal pertama-tama tetaplah seorang penyair. Dan, seberapapun puisi-puisinya tajam menyorot bau busuk dari balik kursi-kursi politik negeri ini, ia bukanlah seorang sosiolog atau pengamat politik. Begitu juga, betapapun puisinya menandai satu gejolak postmodern terpenting dalam budaya kita, ia bukan filsuf atau teoretikus budaya. Ia adalah penyair yang menulis dari rahim puitika Indonesia.

Dan, justru, hal paling menarik dari puisi Afrizal, yang telah diperagakannya selama dua dekade lebih ini, adalah upayanya untuk terus-menerus melakukan perlawanan melalui puisi, terhadap puisi itu sendiri.

Afrizal-lah yang pertama kali menggedor-gedor kepala kita untuk mempertanyakan kembali seluruh persepsi kita tentang bahasa, yang telah kita bangun dengan mapan. Puisi, sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian tertinggi dalam bahasa karena di dalamnya penyair bebas memakai strategi literer yang tak mungkin dipakai dalam bahasa sehari-hari, menciptakan metafor-metafor mengejutkan, dan merangsang pembacanya untuk bernalar lain dalam menafsir kehidupan. Namun, Afrizal datang dan mengobrak-abrik seluruh persepsi itu. Ia mengubah puisi menjadi medan yang sama sekali berbeda, menggoyahkan konvensi yang telah dibangun dan disepakati bersama.

“Anti-Kristus” dalam perpuisian Indonesia ini, kalau boleh saya menyebutnya, datang dengan mempertanyakan dua fondasi yang menjadi tonggak dari konsepsi puitika kita, yakni struktur dan aku-lirik. “Struktur” menyangkut apa yang kita konsepsikan sebagai kerangka dalam puisi, tulang yang membuat puisi menjadi sebuah bacaan yang kokoh dan bermakna; sedangkan “aku-lirik” adalah cermin kehadiran suara penyair, yang menyambungkan puisi kepada penulisnya, yang membuat puisi dapat dimengerti dalam relasi representatif tertentu dengan diri penyairnya.

Sejak kita mengenal kata “struktur” dari strukturalisme Paman Saussure, kita tahu bahwa struktur adalah sebuah aturan tersembunyi dalam bahasa, yang diam-diam mengatur kita, dan tanpa disadari, terus kita patuhi agar sebuah proses pemahaman menjadi mungkin. Maka, tanpa sadar, kita dipaksa menaati aturan itu agar segala yang kita tulis, baca, dan dengar dapat dimengerti, dan agar “sirkuit pemahaman” yang berlangsung antar-pembicara dapat berjalan dengan mulusnya.

Namun, bagi Afrizal, “struktur” tetaplah aturan dan sebuah Hukum. Dan, sebagai hukum, ia menciptakan formalisasinya sendiri yang menyingkirkan keliaran-keliaran manusia, menghukum yang tak patut, dan menyembunyikan kekerasannya sendiri. Sebagaimana setiap “lembaga hukum”, di balik “hukum”, terdapat jeruji penjara bagi mereka yang berbuat kriminal: hukum adalah ketertiban yang dijaga dengan kecemasan dan ketakutannya sendiri.

Jalan bertambah kelam, dalam bahasamu seperti itu. Berbaju resmi. Orang bertambah tahu, di mana ketakutan harus disimpan. Seperti tanah yang menyimpan bau tubuhmu.

(“Kesibukan Melarikan Diri”)

Di sini, membangun struktur dalam puisi, merupakan sebuah keganjilan yang tak dapat dimengerti oleh Afrizal. Jika puisi adalah cara penyair mencari pengucapan yang lain dari bahasa umum yang telah aus, dan keluar meloloskan diri dari rezim bahasa itu, maka membuat struktur dalam puisi hanyalah upaya menciptakan — meminjam salah satu judul sajaknya — “lorong gelap” lain dalam bahasa.

Maka, berbeda dengan para penyair liris yang berlomba-lomba mengejar keketatan struktur (seperti tampak baru-baru ini dalam puisi Nirwan Dewanto, misalnya), dan memuja kekompakan antarelemen dalam puisi sebagai “puncak” pencapaian estetis, Afrizal justru berkejaran untuk terus melepas elemen-elemen dalam puisinya hingga, sebisa mungkin, tak ada lagi struktur yang mengikat keseluruhan elemen tersebut.

Untuk itu, saya ingin mengangkat kembali satu sajak yang sempat dikutip di atas, “Keluarga Indonesia dalam Ambulan”, yang dengan caranya sendiri, menunjukkan kerja literer puisi Afrizal itu:

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Ayah dan ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu. Dialog terakhir telah dihafal: “hidup dengan satu bahasa”. Rambut palsu, lapangan basket, alat-alat kecantikan di meja: Bagaimanakah caranya membaca koran? — “Saya seorang lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu.” Ia pesan mie bakso, kacang rebus, dan sebuah garpu di meja.

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani, lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku — lalu karung diikat rapat.

Kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung pasir: sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan, lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu.

Sajak ini, dibaca secara konvensional, bukan sajak yang sama sekali indah, seperti diagungkan oleh liririsme yang membentang dalam puitika kita. Tak ada keindahan sama sekali di situ. Sajak ini benar-benar buruk dan mengecewakan, jika orang berharap mencari secuil struktur yang dapat memungkinkannya memahami keseluruhan logikanya.

Puisi ini mengundang rasa ingin tahu kita dengan pembukaan monolog-naratifnya yang datar dan merendah: “Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu”. Seakan terdapat latar bagi apa yang terjadi di “rumah itu”, di sana tertulis: “Ayah dan ibu sedang makan kacang di dapur”. Sampai di sini, orang masih mendapat gambaran logis dari peristiwa sekuensial itu: Rumah itu dihidupi oleh tiga manusia: “saya”, “ayah”, dan “ibu”.

Namun, ketika Afrizal menulis “Kamera telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu”, seketika narasi yang dibangun mulai buyar: penanda “kamera” menyiratkan bahwa “rumah” itu adalah sebuah panggung sandiwara yang sedang ditatap oleh mata orang ketiga (entah siapa). Itu berarti, “rumah” yang dirujuk dengan makna yang harfiah sejak awal (dengan penggambaran “ayah” dan “ibu”), langsung gugur, dan berubah menjadi metafor.

Diksi “kamera” yang tiga kali diulang dalam batang sajak ini, mungkin masih memiliki arti harfiah seperti umum dipahami, untuk menandai kehadiran media massa yang terus-menerus menyoroti “rumah” Indonesia itu. Ini dibuktikan oleh penanda lain yang terkait yang disebutkan dalam sajak ini: “koran”. Tetapi, ketika Afrizal menambahkan kata-kata “sejak 300 tahun lalu”, kita pun menjadi tak yakin dengan kesimpulan kita sendiri: 300 tahun lalu, Indonesia belum lahir, dan tak ada kamera di sini. Jika begitu, apa arti “300 tahun” itu? Tentu saja, angka ini tidak berhasrat menandai satu momen sejarah tertentu, tapi sekadar menunjukkan betapa “kamera itu telah terpasang sekian lama”.

Rentetan kalimat berikutnya makin menambah buyar struktur yang dibangun:

Rambut palsu, lapangan basket, alat-alat kecantikan di meja: Bagaimanakah caranya membaca koran? — “Saya seorang lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu.” Ia pesan mie bakso, kacang rebus, dan sebuah garpu di meja.

Ada kaitan antara “rambut palsu” dan “alat-alat kecantikan di meja”, sekalipun semua itu tak berhubungan dengan “lapangan basket”. Begitu juga, ada kaitan antara “mie bakso”, “kacang rebus”, dan “garpu di meja”, sekalipun semua itu tak berhubungan dengan seorang lelaki yang bertanya: “Bagaimanakah caranya membaca koran?”. Meski demikian, pernyataan lelaki itu (sang ayah dalam “keluarga Indonesia” itu), “Saya seorang lelaki, seperti bau hangus dalam rumah itu”, memberi kita sugesti yang mencekam kita, betapa lelaki itu sebenarnya telah aus, menua, dan tak dikehendaki lagi, seperti makanan yang hangus dalam rumah itu (baca: Soeharto).

Namun kendati memberi sugesti yang kuat, dan seolah struktur puisi ini kembali mulai terbangun, bagian berikutnya membuyarkan kembali konsentrasi struktur tersebut:

Saya tak bersalah telah lahir dalam rumah itu. Lalu kamera merekam guci-guci keramik, reproduksi patung- patung Yunani, lampu kristal dari Ceko, hujan, seperti dirinya yang mulai berlendir dalam ambulan. Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku — lalu karung diikat rapat.

Kamera kembali bergerak, menyoroti “guci-guci keramik, reproduksi patung-patung Yunani, lampu kristal dari Ceko”, yang membawa kita pada asosiasi logis bahwa rumah itu mewah, berisi barang-barang mahal dari luar negeri — citra Indonesia yang khas dan bangga dengan segala yang datang dari “luar negeri”. Namun, kata “hujan” dalam rangkaian itu seakan tak pas, terputus, dan tak sambung dengan barang-barang itu (Apa menariknya “hujan” sehingga harus disorot oleh kamera?). Kata-kata “seperti dirinya yang mulai berlendir dalam ambulan” juga tak jelas memetaforkan apa: “guci keramik”, “patung Yunani”, “lampu kristal”, atau “hujan”? “Lendir” lebih memiliki kedekatan logis dengan “hujan”, karena kedua-duanya cair, tetapi itu pun tak sambung, karena “hujan” adalah peristiwa alam yang indah, sedangkan “lendir” menjijikkan.

Suaranya seperti bantingan pintu dari kisah revolusi, tempat Amir Hamzah dipenggal — Aku mati kekasihku — lalu karung diikat rapat.

Tak jelas juga “suara” itu merujuk ke mana: pada “rumah” atau “lelaki” itu. Jika merujuk pada “rumah” — ini lebih masuk akal — ia pun ternyata dimetaforkan dengan sesuatu yang lebih spesifik darinya, “bantingan pintu”, sementara “pintu” hanya salah satu unsur dari “rumah” — suatu prosedur yang mungkin ganjil. Penyebutan “kisah revolusi” dan “Amir Hamzah” tampak sesuai dengan representasi sejarah yang kita ketahui (Amir Hamzah yang terbunuh, sebagai martir menjelang kemerdekaan Indonesia), dan “karung” menyiratkan suatu adegan kekerasan yang mengiringi kematian itu (Karung kerap dipakai dalam adegan pemenggalan korban). Tetapi, ketika Afrizal mulai menulis:

kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung pasir: sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan, lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu.

buyar kembali referensi yang dibangun: tubuh siapakah yang disusun dari karung-karung pasir itu? Tubuh “ayah”-kah, “rumah”, atau “kamera”? Tanpa kejelasan, ia justru menambahkan sebuah pasase lain yang seakan menyambung dan hendak merinci bagian sebelumnya: “sebuah bahasa yang datang dengan mobil-mobil ambulan, lapangan basket, dan TV yang digergaji untuk mencari rumah ibu”. Tapi tetap tidak jelas, bahasa itu ingin mengidentifikasi apa atau siapa: “lelaki” atau “rumah”? Kita dapat mengidentifikasi bahasa itu untuk memetaforkan “lelaki”, karena di sana tercantum kata tubuh (“kamera kemudian menyusun tubuhnya dari karung-karung pasir”), tetapi hal itu rasanya tak mungkin. Sebab, Afrizal sedang mempertanyakan kekuasaan “lelaki-yang-ayah” itu. Karenanya, bahasa itu kemungkinan adalah “rumah”, yang berkali-kali disorot “kamera” — memetaforkan kondisi Indonesia yang sedang genting (disimbolkan dengan “ambulan”), sarat kekerasan, dan rusak oleh kekuasaan yang ada (disimbolkan dengan “TV yang digergaji”).

Sekelumit pembacaan konvensional-struktural di atas, yang berhasrat pada keutuhan struktur dan kebulatan logika, akan sangat kewalahan menghadapi puisi-puisi Afrizal, idiom-idiomnya yang seolah tak bersambungan, dan prosedurnya yang ganjil dan tak masuk akal dalam menyusun metafor. Inilah cara membaca puisi anti-liris dengan perspektif liris, yang belum membebaskan diri secara radikal dari struktur, dan masih patuh pada ortodoksi teori sastra yang ada. Karena itu, pembacaan seperti ini hanya akan berujung pada penilaian buta, seperti klaim para pemangku lirisisme, bahwa sajak Afrizal “gelap”, dan karena “gelap”, maka ia “buruk”.

Afrizal telah menggeser jauh batas-batas konvensi yang kita terima dalam sastra. Puisinya bertujuan mendestruksi struktur itu sendiri, dan menunjukkan bahwa struktur itu pun rezim yang dapat membunuh puisi. Dalam kerja literernya yang “non-literer” ini, Afrizal lebih tampak sebagai “teroris struktur”, yang berusaha menunjukkan bahwa dalam bahasa yang kita pakai, selalu terdapat kemungkinan yang tak terduga, bom dari luar sistem bahasa itu sendiri, yang traumatik, tak terepresentasikan, namun kenyataannya terjadi dalam bahasa.

Trauma itu, kekerasan yang menghantui gramatika bahasa yang bersih dan suci, tak dapat ditangkap oleh ideologi lirisisme yang memuja simetri, kepadatan, dan koherensi bentuk. Karena itu, meski lirisisme sering berhasil menampilkan sajak-sajak yang kuat — suatu fakta yang tak dapat dibantah — penekanan mereka pada bentuk berisiko meredam keradikalan teks, dan terjatuh pada sejenis formalisme. Sementara, dalam beberapa puisi Afrizal, nyaris tak ada awal dan akhir: puisinya selalu terbuka, cair, dan heterogen, dengan “komposisi” dan “struktur” — jika kita masih dapat menyebutnya — yang dapat melebar ke mana-mana, bebas berbicara apa saja, dan mengangkat hal-hal yang tak terduga (tubuh dan benda) melalui teksnya.

Mungkin, belum banyak puisi yang dapat menghadirkan trauma atas bahasa sedalam dan semencekam Afrizal. Puisi-puisi mantra (ala Sutardji) menghadirkan energi bahasa dalam cara yang amat liar, namun tidak membawa kita menghayati, dengan cara traumatik, keliaran itu. Sebaliknya, puisi liris (ala Goenawan) bisa menghadirkan luka atau trauma bahasa tertentu, dengan caranya yang romantik, namun tidak liar, terlalu patuh pada ritme dan rancangan penyairnya, dan tidak berani menantang bahasa itu sendiri.

Kekhawatiran saya hanyalah satu: jika Afrizal terus-menerus menghadirkan kita pada trauma bahasa, bukankah ia berpotensi menghancurkan-dirinya sendiri, dan terjatuh dalam nihilisme absolut? Dengan terus melenyapkan “aku-lirik” dalam konstelasi tubuh dan benda-benda yang khaotik, bukankah ia sedang melakukan bunuh-diri dalam puisi?

Inilah kemungkinan terburuk dalam puisi Afrizal, “kebuntuan” yang terus menghantui puisinya. Dan, menghadapi kemungkinan itu, apa yang mungkin bisa kita, pembacanya, lakukan adalah terus membaca dan membaca-ulang puisi Afrizal, untuk menemukan secercah harapan yang tersisa pada bahasa, betapapun redupnya, dan mengais sisa-sisa suara, meski serak, bagi pembebasan yang belum selesai.[]

--

--